Site icon TAJDID.ID

Militer Masih Anggap Diri Lebih Kompeten, Siregar: Supremasi Sipil Harus Dijaga

Foto ilustratif by ChatGPT.

TAJDID.ID~Medan || Hubungan antara kepemimpinan militer dan sipil di Indonesia kembali menjadi sorotan. Shohibul Anshor Siregar, dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan Sekretaris Yayasan Advokasi Hak Konstitusional Indonesia (YAKIN), menilai militer hingga kini masih memandang dirinya lebih kompeten dibandingkan rekan-rekan sipil.

“Sejak perjuangan kemerdekaan, militer selalu menempatkan diri sebagai fondasi kekuasaan negara dan penjaga persatuan. Pola pikir itu menumbuhkan keyakinan bahwa mereka lebih efisien, lebih disiplin, dan lebih mampu menyelesaikan masalah dibanding sipil,” ujar Siregar, Jumat (26/9).

Menurutnya, kultur militer yang terbentuk dari pola latihan, strategi konfrontatif, dan eksekusi tegas sangat kontras dengan tata kelola sipil yang berjalan melalui kompromi, musyawarah, dan proses demokratis yang lebih lambat.

Siregar menyebut fenomena ini bukan khas Indonesia. Ia mencontohkan penelitian Samuel Decalo dalam Coups and Army Rule in Africa yang menunjukkan militer kerap membenarkan intervensinya dengan klaim memulihkan ketertiban dan melawan korupsi.

Namun sejarah, kata Siregar, membuktikan militer tidak bisa berdiri sendiri. “Perang Dunia I dan II menunjukkan kemenangan hanya mungkin dengan mobilisasi nasional yang melibatkan kekuatan ekonomi, sosial, dan diplomasi sipil. Paul Kennedy juga menulis dalam The Rise and Fall of the Great Powers, kemampuan militer sangat ditentukan oleh kekuatan sipil,” jelasnya.

Di Indonesia, warisan nasionalisme militer menurutnya masih kuat sejak era Sukarno hingga Orde Baru. Figur seperti Presiden Prabowo Subianto pun tetap membawa tradisi itu, dengan menekankan kemandirian pertahanan dan kebanggaan nasional.

“Retorika semacam itu efektif menarik simpati publik yang masih trauma dengan dominasi asing. Namun tantangan demokrasi adalah memastikan supremasi sipil tidak terkikis. Militer boleh kuat di bidang pertahanan, tapi jangan lagi menjadi penentu politik. Demokrasi hanya bisa matang kalau sipil benar-benar memegang kendali,” tegasnya.

Siregar juga mengingatkan ancaman eksternal seperti neoliberalisme global, pergeseran geopolitik, dan kebangkitan kapitalisme negara ala Tiongkok. “Indonesia harus hati-hati agar tidak terjebak dalam ilusi kemandirian yang sebenarnya masih bergantung pada pasar dan kekuatan asing,” ujarnya.

Ia menutup dengan peringatan: “Demokrasi kita masih menghadapi ancaman dari persepsi diri militer sebagai penjaga utama bangsa. Supremasi sipil harus terus dijaga, sementara militer dikembalikan pada fungsi profesionalnya. Jika tidak, sejarah bisa berulang.” (*)

Exit mobile version