Site icon TAJDID.ID

Rakyat Nelangsa, Wakilnya Pesta

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Pemred TAJDID.ID

 

Bayangkan, setiap kali matahari terbit dan tenggelam, seorang anggota DPR RI menerima Rp3 juta. Sementara di luar gedung megah Senayan, jutaan rakyat masih berjuang dengan gaji pas-pasan, bahkan ada yang tidak punya pekerjaan sama sekali.

Di saat rakyat sibuk menghitung receh untuk beli beras, telur, dan bayar listrik, para “wakil rakyat” berhasil menghitung slip gaji baru mereka: Rp3 juta per hari. Ya, per hari.

***

Belum lama ini, jelang perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-80 publik kembali dibuat heboh oleh kabar tentang kenaikan gaji anggota DPR menjadi 3 juta perhari.

Berawal dari pernyataan Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin yang mengungkapkan secara blak-blakan soal gaji bersih (take home pay) yang didapat anggota DPR setiap bulan bisa mencapai lebih dari Rp100 juta.

Hasanuddin mengatakan jumlah tersebut naik dari periode sebelumnya karena saat ini anggota DPR tak lagi mendapatkan rumah dinas. Menurutnya, fasilitas rumah tersebut diganti dengan tunjangan sekitar Rp50 juta.

“Kan, tidak dapat rumah. Dapat rumah itu tambah Rp50 juta. Jadi take home pay itu lebih dari Rp100 [juta], so what gitu loh,” kata Hasanuddin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/8).

Hal itu ia sampaikan sekaligus merespons pernyataan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin yang menyebut politikus sulit untuk mendapatkan uang halal.

Kabar kenaikan gaji anggota DPR ini tentu menampar rasa keadilan publik. Bagaimana tidak? Di tengah kondisi ekonomi yang kian sulit, harga kebutuhan pokok meroket, PHK terjadi di mana-mana, dan lapangan kerja kian sempit, para “wakil rakyat” justru memanjakan diri dengan angka fantastis.

 

Kontras dengan Realitas Rakyat

Kita ketahui, upah minimum di sebagian besar provinsi masih di bawah Rp3,5 juta per bulan. Artinya butuh sebulan penuh bekerja bagi buruh untuk menyamai “sehari” penghasilan anggota DPR.

Pengangguran meningkat, sementara generasi muda menghadapi fenomena first jobber crisis, sulit mendapat pekerjaan layak meski berpendidikan tinggi.

Belum lagi gelombang PHK massal masih terjadi, terutama di sektor industri padat karya dan digital.

Di sisi lain, anggota DPR yang tugas utamanya menyuarakan aspirasi rakyat justru terlihat makin jauh dari kenyataan hidup konstituennya.

Ironisnya, gaji fantastis ini dibungkus dengan alasan klasik: untuk menjaga marwah lembaga legislatif dan mencegah praktik korupsi. Padahal, publik tahu betul, kasus suap, gratifikasi, dan korupsi justru kerap menyeret anggota dewan. Lantas, jika gaji tinggi dijadikan alasan agar mereka “tidak nakal”, bukankah itu bentuk pelecehan logika?

Demokrasi akhirnya terasa mahal hanya bagi rakyat—karena yang dibayar dengan keringat dan pajak, bukan yang menikmati hasilnya.

Jika demikian, pertanyaan sederhana muncul: Apakah mereka masih pantas disebut wakil rakyat jika keseharian mereka jauh lebih mewah dari rakyat yang diwakilinya?

Apakah kenaikan gaji ini mencerminkan kinerja DPR yang memang makin berkualitas, atau justru makin sering absen, gaduh, dan penuh kontroversi?

 

Penutup
Rakyat boleh sabar, tapi jangan pernah dianggap lupa. Kenaikan gaji DPR di tengah jeritan ekonomi rakyat adalah potret ketimpangan yang semakin telanjang. Barangkali inilah saatnya publik mengingat: demokrasi bukan hanya soal kursi dan gaji, melainkan soal siapa yang benar-benar berpihak pada kehidupan rakyatnya. (*)

Exit mobile version