Site icon TAJDID.ID

BSU untuk Korban Judi Online Salah Prioritas dan Abai Realitas Indonesia

TAJDID.ID~Medan || Kebijakan pemerintah memberikan Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada korban judi online dinilai mengandung kesalahan paradigmatik, berpotensi koruptif, dan mencerminkan kegagalan negara memahami kompleksitas masalah Indonesia.

Demikian dikemukakan Shohibul Anshor Siregar, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dalam analisis kebijakan yang disampaikan kepada Kompas, Kamis (10/7/2025).

Pelanggaran Prinsip Hukum

Siregar menegaskan, kebijakan ini melanggar konsistensi penegakan hukum. “Pelaku judi, meski disebut ‘korban’, tetaplah subjek pidana menurut KUHP dan UU ITE. Logika ini harusnya setara dengan penanganan pengguna narkoba: penindakan hukum, bukan pemberian santunan,” ujarnya.

Ia mempertanyakan alasan pemerintah tidak memprioritaskan pemberantasan otak intelektual judi online. “Kewibawaan negara terletak pada janji once is enough. bahwa kejahatan serupa tidak akan terulang. BSU justru mengirim sinyal kontraproduktif,” tegasnya.

Risiko Korupsi dan Pemborosan Anggaran

Menurut Siregar, program BSU untuk korban judi online rentan disalahgunakan:

Pertama, verifikasi ambigu. Tidak ada kriteria jelas membedakan korban dan pelaku aktif.

Kedua, potensi mark-up data. Mekanisme pendataan yang lemah membuka celah suap dan data fiktif.

“Ketiga, salah alokasi. Di tengah beban utang luar negeri dan program efisiensi, anggaran untuk BSU ini adalah pemborosan yang tak bertanggung jawab,” katanya.

Kegagalan Memahami Realitas Indonesia

Siregar menyoroti ketidakmampuan pemerintah membaca akar masalah secara holistik.

Pertama, buta keragaman geografis. Dijelaskannya, judi online di NTT atau Papua adalah gejala keputusasaan akibat minimnya akses ekonomi dan pendidikan. “Solusinya infrastruktur dasar, bukan BSU,” tegas Siregar.

Kedua, mengabaikan hierarki kebutuhan. “Ketika 22 juta orang rawan pangan dan stunting masih tinggi, fokus pada korban judi adalah missed priority,” ujar Siregar

Ketiga, abai sensitivitas sosio-kultural. “Di masyarakat religius, bantuan ini justru dianggap pembiaran negara terhadap kemaksiatan” sebut Siregar.

Keempat, lari dari tanggung jawab ketenagakerjaan. Menurutnya, negara lalai menangani 7,8 juta pengangguran terbuka, padahal Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945 menjamin hak atas pekerjaan.

Solusi Konstitusional

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, Siregar menawarkan solusi dengan mengalihkan anggaran BSU untuk; proyek padat karya di daerah tertinggal, pelatihan vokasi massal melalui Balai Latihan Kerja (BLK), dan penguatan UMKM berbasis potensi lokal.

“Ini wujud nyata tanggung jawab negara: ciptakan lapangan kerja, bukan beri santunan pada pelaku pidana,” tegasnya. (*)

Exit mobile version