Site icon TAJDID.ID

Partai Tunggal?

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Baru-baru ini, Wakil Ketua Umum DPP Partai Geindra, Habiburokhman, melontarkan sebuah pernyataan menyambut baik usulan tak ada partai oposisi untuk ke depannya di Indonesia. Menurutnya, Indonesia memungkinkan tanpa oposisi, tak seperti di Amerika.

Hal itu disampaikan Habiburokhman menanggapi pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang berharap tak ada partai politik yang menjadi oposisi, ia berharap semua parpol bergabung dalam pemerintahan.

Atas pernyataan tersebut, begini tanggapan saya. Terserah siapa yang mengusulkan kepadanya atau kemungkinan dirinya sendirilah yang terobsesi untuk mendorong perubahan sistim pemerintahan Indonesia tanpa oposisi, tampaknya kader pentolan Partai Gerindra Habiburokhman jelas tak memperhitungkan secara cermat dampak ucapannya terhadap eskalasi politik pasca pemilu 2024.

Habiburokhman tak begitu menyadari, bahwa sebetulnya eskalasi gejolak sosial politik mengiringi sidang-sidang PHPU Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) dan dorongan eksternal (parlemen jalanan) yang terus menyuarakan penggunaan Hak Angket oleh DPR, adalah konsekuensi dari penerapan quasi pemerintahan tanpa oposisi selama pemerintahan Joko Widodo. Rakyat mengambil alih peran pengawasan. Itulah yang terjadi.

Tidak ada derajat memadai dari keberfungsian DPR sebagai institusi pengawasan, dan dengan hanya sedikit suara penentangan yang selalu ditenggelamkan oleh framing-framing media, pemerintahan Indonesia memang telah semakin menemukan diri dalam eskalasi kenyamanan tanpa oposisi.

Pemerintahan Indonesia yang diinginkan oleh Habiburokhman bukan corak demokrasi ala Amerika dengan keberadaan oposisi. Mungkin dengan menyebut Amerika sebagai yang dilihatnya sebagai contoh terburuk dalam demokrasi saat ini, ia sekaligus ingin menegaskan bahwa sistim partai tunggal model yang diterapkan di China jauh lebih baik.

Bersambung ke hal 2

Partai tunggal di China adalah Partai Komunis Tiongkok (PKT). PKT adalah partai politik yang berkuasa di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan menjadi satu-satunya partai politik yang diakui secara konstitusional di negara itu. PKT telah memegang kekuasaan sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.

Dalam praktiknya, Partai Komunis Tiongkok mengendalikan semua aspek kehidupan politik, ekonomi, dan sosial di China. PKT memiliki struktur hierarkis yang kuat dan terorganisir dengan hierarki partai yang ketat dari tingkat tinggi hingga tingkat dasar. Partai tersebut memiliki keanggotaan yang luas, dengan jutaan anggota yang terdiri dari berbagai lapisan masyarakat.

PKT memiliki peran dominan dalam pengambilan keputusan politik di China. Partai tersebut memiliki monopol atas kekuasaan politik dan mengendalikan sistem politik negara, termasuk pemerintahan, militer, dan lembaga-lembaga negara lainnya. PKT juga memiliki departemen dan komisi yang mengawasi berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk ekonomi, pendidikan, dan media.

Sistem politik China diatur oleh prinsip-prinsip sosialisme dengan karakteristik Tiongkok yang dipimpin oleh Partai Komunis. Meskipun ada struktur politik yang formal termasuk Kongres Rakyat Nasional sebagai badan legislatif tertinggi, dalam praktiknya PKT memainkan peran dominan dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam konteks politik China, partai tunggal menjadi sifat yang melekat dalam sistem politik negara. Pendekatan ini mencerminkan sistem politik yang berbeda dari sistem multipartai yang dianut oleh sebagian besar negara demokratis lainnya.

“The Single-Party Dictator’s Dilemma: Information in Elections without Opposition” (2011) adalah sebuah laporan penelitian yang ditulis oleh Edmund Malesky dan Paul Schuler. Laporan ini membahas dilema yang dihadapi oleh rezim otoriter satu partai dalam mengumpulkan informasi yang akurat tentang preferensi pemilih dalam pemilihan tanpa adanya oposisi yang signifikan.

Bersambung ke ha 3

Penulis menggunakan model teoritis untuk menganalisis situasi yang di dalamnya pemerintah otoriter terus mencoba memperoleh informasi tentang preferensi pemilih untuk mempertahankan legitimasi dan pemegang kekuasaan. Dalam sistem otoriter satu partai, tidak ada partai oposisi yang kuat atau independen yang dapat mengumpulkan dan mengkomunikasikan preferensi pemilih.

Dalam konteks ini, penulis menyoroti pentingnya informasi yang akurat dalam pengambilan keputusan politik yang efektif. Mereka mengidentifikasi tiga strategi yang mungkin digunakan oleh rezim otoriter untuk mengatasi dilema ini.

Pertama, Informasi resmi. Penulis mengemukakan bahwa pemerintahan otoriter dapat mencoba mengumpulkan informasi melalui survei resmi atau mekanisme lainnya yang dikendalikan oleh rezim. Namun, mereka mengakui bahwa informasi semacam itu tidak akurat atau bias karena pemilih tidak merasa bebas untuk mengungkapkan preferensi mereka.

Kedua, Informasi tak resmi. Rezim otoriter akan selalu mencoba mengumpulkan informasi melalui jaringan informan atau melalui intelijen politik yang dipengaruhi oleh rezim. Namun, informasi semacam itu juga bias dan tidak mewakili preferensi sebenarnya dari pemilih.

Ketiga, Keputusan berdasarkan keyakinan dan spekulasi: Dalam beberapa kasus, rezim otoriter memilih untuk membuat keputusan politik berdasarkan keyakinan atau spekulasi tanpa mengandalkan informasi yang akurat tentang preferensi pemilih. Namun, strategi ini dapat meningkatkan risiko kesalahan dan mengurangi legitimasi rezim.

Penulis menggarisbawahi bahwa dilema ini menunjukkan kelemahan struktural dalam sistem otoriter satu partai, informasi akurat dan representatif sulit didapatkan. Mereka menyarankan bahwa adanya oposisi yang kuat dan independen dapat membantu mengatasi dilema ini dengan menyediakan alternatif dalam mengumpulkan dan menyampaikan preferensi pemilih.

Dilema inilah yang dulu terjadi pada era Soekaarno dan Soeharto yang untuk kenyamanan rezim taruhannya persengketaan di antara warga negara harus ditingkatkan dan proyek sekuritisasi yang meluas untuk alasan keamanan sangat subur.

Fenomena yang diangankan oleh Habiburokhman dipotret begitu baik dan cermat dalam “Democracy’s Third Wave” yang ditulis Samuel P Huntington (1991). Ada aktor pembajak demokrasi yang mengkapitalisasi berbagai instrumen yang diklaim demokratis justru untuk merontokkan demokrasi itu sendiri.

Joko Widodo ingin dirinya menjadi penguasa abadi di Indonesia yang mula-mula atas alasan covid 19 ingin beroleh persetujuan politik untuk memperpanjang masa jabatan. DPR menginginkan insentif anti demokrasi berbalut procedural democracy itu juga mereka nikmati. Jika tak dilawan oleh rakyat, Joko Widodo, para Menteri dan semua anggota legislatif akan beroleh perpanjangan masa jabatan tanpa pemilu.

Kegagalan itu dialihkan ke wacana lain, Joko Widodo bermaksud maju pilpres sebagai wakil bagi Prabowo Subianto. Konstitusi menganggap itu tak dimungkinkan, karena batasan menjabat selama dua periode akan menghambat jalan keluar konstitusional sekiranya Joko Widodo yang mantan presiden dua periode akan otomatis menggantikan Presiden yang berhalangan tetap.

Seterusnya skenario pengajuan Gibran Rakabuming Raka menjadi jalan terakhir dan itulah yang sedang dipersengketakan secara nasional saat ini. Orang menganggap Gibran Rakabuming Raka sebagai “anak haram konstitusi” dan dalam sidang PHPU Pilpres di MK paslon 01 dan 03 sama-sama mengajukan petitum melakukan pemungutan suara ulang dengan terlebih dahulu mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka.

Bersambung ke hal 4

Harus diduga bahwa Habiburrahman tengah dirundung dilema serius pasca kunjungan Prabowo Subianto ke Xi Jinping. Faktor geopolitik selalu berpengaruh kuat untuk setiap perkembangan politik suatu negara, apalagi pemilu yang tengah dipersengketakan serius seperti saat ini di Indonesia.

Ucapan Habiburokhman karena itu harus dimaknai bahwa ketimbang beroleh dukungan Amerika (atau yang mungkin diketahuinya sudah terang-terangan tak mungkin mendukung), lebih baik menunjukkan kemutlakan bersandar pada dikte imperatif Xi Jinping.

Di dalam negeri hal ini akan bergaung terus dalam berbagai spekulasi. Di antaranya, Prabowo akan menerapkan kebijakan politik tangan besi ala tirai bambu dan serta-merta mensubordinasikan diri pada keniscayaan keperkasaan ekspansionisme loan to own Xi Jinping yang terkenal dengan One Belt One Road (Obor) yang belakangan berubah nama menjadi Belt and Road Inisiative (BRI) yang banyak menyengsarakan negara-negara “tercaplok” karena jeratan utang kepada Xi Jinping atasnama pembangunan infrastruktur.

Untuk membantu Habiburokhman membangun penalaran tentang risiko politik dan budaya yang meluas dari angan-angannya ada manfaatnya memberi temuan penelitian Malesky dan Schuler yang pada tahun 2011 juga menulis The Single-Party Dictatorship’s Comeback: Contemporary Trends in Vietnam’s One-Party State. Kedua penulis membahas perkembangan dalam sistem satu partai di Vietnam dan fenomena kembalinya pemerintahan satu partai.

Vietnam yang adalah negara dengan sistem satu partai, dengan Partai Komunis Vietnam (PKV) sebagai partai yang berkuasa. Mereka menyoroti perubahan dan tren kontemporer dalam sistem politik Vietnam yang menunjukkan kembalinya pemerintahan satu partai yang kuat.

Dalam artikel ini, penulis menyoroti beberapa faktor yang mempengaruhi konsolidasi dan dominasi PKV. Mereka membahas tentang kekuatan PKV dalam mengendalikan lembaga-lembaga negara, sistem politik, dan ekonomi di Vietnam. Penulis juga menganalisis strategi yang digunakan oleh PKV untuk mempertahankan kekuasaan dan menghadapi tantangan internal dan eksternal.

Selain itu, penulis membahas tentang dinamika internal dalam PKV, termasuk mekanisme kepemimpinan, kebijakan perekrutan, dan perubahan dalam struktur partai. Mereka juga membahas tentang peran media dan kontrol informasi dalam menjaga kestabilan pemerintahan satu partai.

Artikel ini menggambarkan pergeseran dan tren terkini dalam sistem politik Vietnam yang menunjukkan konsolidasi dan kembalinya pemerintahan satu partai yang kuat. Penulis menggarisbawahi pentingnya memahami dinamika politik dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemerintahan satu partai dalam konteks Vietnam. (*)

Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua Lembaga Hikmah Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut

Exit mobile version