Memukul Doa di Ruang Demokrasi
Karya : Nandy Pratama
Kurayakan opini yang sedang menari
Mengakhiri lolongan dari erangan kebahagiaan
Kumabukkan ucapanmu.
Tepat sejak kau layangkan kata termanismu
Apa gunanya rasi bintang di Jakarta ; bila ia tak mampu mengajari akal untuk berpikir
Apa gunanya otak bila kata-kataku sering dihalang dan ditenggelamkan dalam perasaan yang seringkali menyesatkan
Mungkinkah rasaku telah disemai oleh bangsa asing
Menyalakan kesuksesan di bawah kepedihan yang membara
Perlu kau tahu ; kini bukan aku saja yang berorasi
Bukan aku saja yang bernyanyi ; bukan aku saja yang menangis
Seringkali ku bermimpi tentang bagaimana jarak bisa menyatukan pelukan
Pelukan-pelukan yang tidaklah hanya sebuah tamparan untukmu
Di saat lelapnya tidurmu hanya menjadi penderitaan untukku dan untuk mereka
Bagaimana, tidak ?
ketukan palu demokrasi seakan-akan menjadi liar dalam percakapan yang entah harus kemana kuadukan
Pada palungku pula frasa UU Cipta Kerja seakan-akan ingin menolak getir kekosongan
yang menumbuhkan pertikaiaan menjadi gosong dalam isian kata “ kamu harus kerja 18 jam dalam seminggu “
banyak pasang mata yang seringkali bertanya-tanya “ mengapa banyak janji dalam pisau ?”
mengapa ada dusta kala aku dan mereka ingin pulang
menyelamatkan keluarga dari rasa kerinduan yang terus-terusan dibentak oleh waktu
Ternate, 04 Agustus 2023
Menerima Nestapa
Karya : Nandy Pratama
Waktu menengok setiap jejak yang tumpah
Melagukan rezeki hingga petang menyentuh bulan
memancarkan hasil keringat yang begitu tulus
walaupun semesta selalu meragukan nestapa
dua ; tiga wanita menghampiri tubuhku
mengintip dan bertanya-tanya
tentang kehadiran yang nampaknya begitu asing
pada sudut nirmala tubuhku dipeluk takdir
Sepotong pesan bergetar di kedalaman saku :
Memberikan isyarat pada rumah bahwa lelapku tak akan menjawab kepulangan
segala cerita hanya menyisakan kerikil-kerikil kecil ;
yang mengutuk senyuman
Sedangkan pada lengkungan bibir yang indah itu
Aku hanya mengenal kata aamiin, di mana kepalaku ingin mengumpulkan masa depan
meskipun dendam masuk ke klinik yang berada di belakang rumah
setelah kesendirian merawat kehilangan
Ternate, 20 September 2020
Dimakamkan Kenangan
Karya : Nandy Pratama
Di ujung kaki hingga kepala ; ku rayakan ketakutan
saat senyuman menutup beberapa harapan yang enggan berpulang pada Pundak
semakin malam, semakin kususun rasa “ Terima kasih “ itu.
Membawa gemetarnya badan yang sering di penuhi air mata
Ku panjatkan ratusan kata sebelum kehilangan menghadapi banyaknya perayaan
yang menimbun kepulangan
Ketika, wajahmu melahirkan sebuah dongeng percintaan
dengan perjudian antara kehidupan dan kematian
Sedang di telingamu suaraku berkumandang
menghilangkan kata lelah
Binar rupa meredam ; ratap hampa membiru
Tubuhku menghitung satu, dua, tiga kenangan yang sering diambil oleh nyawa
menyembunyikan murka ; dengan alasan yang berupa-rupa
kegelisahan menjelma bait-bait luka yang mengguncang seisi ingatan.
Matamu mengusir dalamnya aku yang ingin memeluk kamu berulang kali
setelah belasan pikiran menerka-nerka pelukan yang lain.
Ternate, 02 Oktober 2019
Aroma Kehilangan
Karya : Nandy Pratama
Mimipiku tenggelam dalam sakit
Melihat pesan dari tanah yang menatap jenuh
Ku tangisi sebuah permohonan yang meminang keromantisan dengan Tuhan
Ingatan itu aromanya masih berbekas pada sepanjang jalan
Suara-suara yang sering terbengkalai tanpa tanda-tanda kebahagiaan
seperti bunyi klakson motor yang samar-samar
hadirmu mengepung tubuhku di antara ada dan tiada ;
menjadikan kehendak-Nya sebagai titik pelampiasan dari sebuah kebencian
Namun, Tuhan tetap tersenyum dan malah berkata
“ Pulanglah dengan damai dan jadikanlah rasa sakit sebagai obat kerinduan dalam surga “
Ternate, 12 Oktober 2020
Kamu yang Tertinggal
Karya : Nandy Pratama
Kutinggalkan sudut ciuman di bibirmu
Membajak kedamaian yang nampaknya adalah sebuah kerumunan
Goresan kenyamanan mengangkat potongan tubuh
Gelap yang diurai ketakutan ;
mengulang keramaian cinta yang tertutup bayang-bayang
menyelimur kelelahan dengan tatap yang tegap
Suara yang berguncang tanpa ada sebab yang jelas
Seperti dalam cerita segala hal menjadi berbentuk
mencuci tawa yang tak ingin hancur ; tumpahan keringat mematung dan berdoa
melanjutkan pertanyaan, “ akankah ada kelahiran ? ”meski sekali saja
Lembayung di langit pun redup
Melaungkan atma yang tidak dirasa terlalu lama kita berada
Menculik dosa yang kiranya hanya andala
Mengapa rasa nyamanku tak bisa kekal
kala semesta berpesan bahwa kamu bukanlah takdir ?
di bahteranya rumah tangga “ aku menangis “
Ternate, 10 November 2020
Biodata Penulis
Nandy Pratama lahir pada tanggal 15 Februari 1997, ia adalah seorang terapis kesehatan sekaligus penyair dengan nama penanya Ternate Di Ujung Pena. Giat menulis telah ditekuni sejak masih SMP baik itu yang berupa cerpen ataupun puisi. Beberapa prestasi yang pernah diraih diantaranya pernah menjadi juara 2 lomba cipta puisi, 50 penulis terbaik, 100 penulis termuda selain itu beliau juga telah menulis 2 buah buku puisi yang berjudul “Terjebak Puisi dan Ina”. Pada tahun 2019-2022 beliau juga berkesempatan menjadi juri lomba cipta dan baca puisi yang diadakan secara online. Fb : Pratama Matali, Ig : @nandymatali. Alamat : Jl Jeruk 8 No 28, Perumnas Kamal, Bangkalan, Madura.