Site icon TAJDID.ID

Shohibul: Perpanjangan Masa Jabatan Kades Jadi 9 Tahun Tidak Demokratis

Ilustrasi.

TAJDID.ID~Medan || Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) menyepakati perpanjangan masa jabatan kepala desa (kades) menjadi sembilan tahun dan dapat dipilih dua kali.

Kesepakatan tersebut disampaikan dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Kedua Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Baleg DPR, Kamis (23/6/2023).

Menanggapi hal tersebut, Dosen FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar mengatakan, salah satu ciri khas demokratisasi gelombang ketiga (The third Wave of Democracy), yang Indonesia termasuk di dalamnya, ialah kapitalisasi instrumen demokrasi untuk kepentingan elit politik.

“Memang semua proses dikesankan demokratis, namun bukan pada substansi,” ujar Shohibul, Senin (26/6).

Menurut Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PW Muhammadiyah Sumatera Utara ini, memperpanjang masa jabatan Kepala Desa menjadi 9 tahun dengan alasan untuk menjaga stabilitas desa, adalah proses demokratis yang menentang demokratisasi.

“Prosedurnya demokratis, namun substansinya sangat tak demokratis,” tegasnya.

Dijelaskannya, salah satu unsur nilai demokrasi yang ditentang ialah sirkulasi. Akan ada stagnasi kepemimpinan yang massif seluruh Indonesia jika praktik itu dijalankan. Bahkan jika usul ini disyaratkan dengan ketentuan tidak dapat dipilih Kembali, pun juga tidak mengindahkan demokrasi.

“Usul moderatnya mungkin usul perpanjangan masa jabatan menjadi 6 (enam) tahun dan tidak boleh dipilih Kembali kecuali setelah periode berselang,” sebutnya.

Sebetulnya, kata Shohibul, usul perpanjangan masa jabatan demi stabilitas juga dapat digunakan untuk seluruh jabatan yang tersedia dalam birokrasi pemerintahan Indonesia, baik yang dipilih oleh rakyat maupun yang ditunjuk oleh pejabat.

“Masuk akal akan tercipta stabilitas jika masa jabatan Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden dan juga semua anggota legislatif menjadi 9 (Sembilan) tahun. Tetapi itu jelas anti demokrasi,” kata Shohibul

Sebetulnya, lanjut Shohibul,  kalua elit politik ingin berkeringat untuk maslahat bangsa, mereka dapat berinvestasi untuk memperbaiki pengelolaan dana desa yang sangat rawan penyelewengan dan membantu agar semua perencanaan tak hanya tepat sasaran secara teknis namun juga sesuai dengan social basic needs rakyat grassroot.

“Saya menduga hal ini terkait dengan gejala tahun politik. Jika mampu menguasai desa, kekuasaan di semua leval dan jalur dapat dikendalikan. Ini kerja-kerja buruk elit partai,” pungkasnya. (*)

 

Exit mobile version