Site icon TAJDID.ID

Mendekati Hari Ketiga Puluh

Mujahiddin.

Oleh: Mujahiddin

Agenda pembangunan berkelanjutan yang menempatkan isu lingkungan dalam pembangunan telah dimulai sejak tahun 1972 melalui Konferensi Stockholm. Melalui Konferensi ini, negara-negara industri memulai pembicaraan dengan negara-negara berkembang tentang industri, pertumbuhan ekonomi, pencemaran lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia.

Konferensi ini dilaksanakan setelah adanya desakan dari berbagai pihak atas persoalan krisis lingkungan; tragedi minamata yang terjadi di Jepang pada tahun 1950 menjadi contoh nyata bagaimana krisis lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap keberlangsungan hidup manusia. Pemerintah Swedia kemudian berinisiatif untuk menyelenggarakan konferensi ini bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengangkat tema “Still Only One Earth”.

Atas gelaran konfernsi tersebut, terdapat tiga aspek yang dapat dirasakan hingga saat ini yaitu; pertama, ditetapkannya tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Kedua, berdirinya lembaga Nations Environment Programme (UNEP).

Ketiga, mulai dibangunnya kerjasama multilateral terkait isu lingkungan hidup.

Di Indonesia, konferensi Stcokholm ini menjadi dasar ditetapkannya berbagai bentuk regulasi mulai dari Keppres Nomor 16 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Penerbitan TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, arah dan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan. Pendirian Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) di tahun 1978 serta terbitnya UU Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Perlindungan Lingkungan Hidup.

Pada perjalannya, Konferensi Stockholm terus diperingati dengan melaksanakan pertemuan antar negara setiap 10 tahun sekali. Dipertemuan Tahun 1972, tepatnya di dekade ketiga, diadakan pertemuan di Rio de Janeiro yang pada pertemuan ini sudah mulai membahas prinsip pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan isu climate change and biological diversity. Melalui pertemuan ini mulai disusun perencanaan pembangunan global yang -belakangan -terwujud dalam bentuk Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah dilaksanakan dari tahun 2000-2015 dan berlanjut dengan bentuk Sustainable Development Goals (SDGs) yang dilaksanakan dari tahun 2015-2030.

Bersambung ke hal 2

Politik dan Lingkungan

Pasca Konferensi Stockholm dan Rio de Janeiro, upaya untuk menempatkan posisi lingkungan sebagai variabel utama yang harus dijaga dalam pembangunan belum bisa berjalan maksimal. Beberapa hanya menjadi catatan di atas kertas saja. Pemburukan terhadap krisis lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi saja, tetapi dibalik itu terdapat juga aspek politik.

Para aktifis lingkungan sangat paham bahwa kegiatan politik dalam bentuk kebijakan dapat memberikan pengaruh bagi keberlanjutan lingkungan atau degradasi lingkungan. Penerbitan izin pengelolaan pertambangan, penerbitan izin pembukaan lahan hutan untuk kepentingan industri sawit dan lain sebagainya cenderung lebih banyak dilakukan di tahun-tahun politik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal. Bahkan jika kita katakan tahun 2023 ini adalah tahun politik, maka beberapa waktu yang lalu kita mendapatkan berita bahwa pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut. Pada tingkat lokal, bentuk penerbitan izin ini banyak dilakukan oleh para incumbent yang daerahnya memiliki potensi tambang, hutan dan sawit.

Fakta-fakta ini tentu berbanding lurus dengan pengalaman kita yang hidup di wilayah perkotaan, tidak bisa dipungkirin bahwa titik-titik banjir menjadi lebih banyak, polusi udara tidak terkendalikan, aliran sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, pengelolaan air tanah dan distribusi ketersedian air bersih, belum lagi permasalahan-permasalahan teknis seperti pengelolaan sampah rumah tangga yang belum terselesaikan dengan baik.

Keseluruhan masalah tersebut tentu membutuhkan satu tindakan politik bersama baik oleh government dan civil society. Tindakan politik tersebut bisa saja dalam bentuk penguatan terhadap regulasi, penegakan hukum atas perusakan lingkungan, dan gerakan-gerakan pendidikan serta kampaye kesadaran lingkungan. Komitmen ini yang perlu untuk terus dihadirkan, mengingat gagasan tentang politik lingkungan masih sangat minim dikalangan elit politik kita. Lingkungan masih dipandang sebagai satu bentuk sumber daya yang harus diekplorasi tanpa memandang pentingnya menjaga keberlanjutannya bagi generasi mendatang.

Meski agenda pembangunan global telah masuk pada tahap Sustainable Development Goals namun gagasan tentang politik lingkungan hampir sama sekali tidak ada. Perhatikan saja baleho, flayer atau media-media promosi yang dimiliki oleh para elit politik selama kampaye, kebanyakan hanya memunculkan isu tentang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi, pengembangan kewirausahaan dan UMKM, serta pembangunan infrastruktur. Padahal apalah arti pengentasan kemiskinan jika bencana banjir terus menghantui setiap hujan? Apalah arti pengembangan kewirausahaan dan UMKM jika krisis pangan akibat kerusakan lingkungan terus terjadi? Apalah arti pembangunan infrastruktur jika polusi udara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor terus meningkat; bukankah emisi kendaraan bermotor berkontribusi sebesar 70% terhadap pencemaran Nitrogen Oksida, Karbon Monoksida, Sulfur Dioksida dan Partikulat di wilayah perkotaan?

Di Jerman, gagasan tentang politik lingkungan selama kampaye berhasil mempengaruhi kelompok pemilih pemula. Anak-anak muda di Jerman banyak memilih Partai Hijau karena partai ini membawa isu tentang climate change yang memang menjadi konsen banyak kelompok anak-anak muda di Jerman selain tentang digitalisasi. Dalam satu laporan jejak pendapat dikatakan bahwa 18% pemilih usia 16-24 tahun memilih Partai Hijau. Jumlah ini lebih besar dari partai mana pun dan membawa Partai Hijau berhasil masuk ke parlement Jerman. Di tempat kita, rasa-rasanya tidak ada partai yang secara spesifik atau bahkan general berani membawa isu lingkungan di dalam kampayenya. Lalu, apakah kita harus juga mendirikan “Partai Hijau” agar isu dan agenda tentang perlindungan lingkungan bisa menjadi prioritas utama dalam politik kita?

Berasmabung ke hal 3

Kembali ke Tradisi

Di Indonesia, ada banyak tradisi kebudayaan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Ia biasanya berupa ritual adat yang ditujukan untuk menghormati alam semesta. Ada juga yang berbentuk pelarangan-pelarangan dalam mengekspolarsi sumber daya alam dalam waktu tertentu seperti; tradisi sasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Maluku dan Papua. Praktik yang sama di beberapa wilayah Sumatera diistilahkan dengan “lubuk larangan”.

Tradisi-tradisi ini sebenarnya adalah bentuk kearifan lokal bangsa kita yang harus dijaga secara sosial-politik. Secara sosial, ia harus diturun-temurunkan ke generasi berikutnya melalui sosialisasi dan keterlibatan kelompok pemuda dalam pelaksanaan tradisi. Secara politik, ia harus dikawal dengan berbagai bentuk regulasi dan komitment politik. Hal ini penting dilakukan karena praktik tradisi ini pada akhirnya adalah merupakan upaya menjaga siklus ekosistem sumber daya alam. Sehingga yang terjadi bukan eksplorasi tetapi sustainability.

Satu di antara bentuk tradisi ini diabadikan dalam bentuk film dokumenter oleh seorang sineas asal Sumut bernama Andi Hutagalung. Film dokumenter ini berjudul; Jamu Laut, yang berkisah tentang upacara doa yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai. Upacara doa ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan di jauhkan dari segala marabahaya dan juga sebagai simbol manusia menghormati manusia, manusia menghormati alam, sehingga Allah Swt memberikan berkah kepada para nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai.

Film Jamu Laut ini nantinya akan diputar dan menjadi bahan diskusi menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi) Medan dan Walhi Sumut pada Hari Jumat Tanggal 9 Juni 2023 Pukul 19.00 Wib di Cafe Parkiran Kopi Sepada Jalan KLP VII Komplek Rispa IV No 17 Gedung Johor Medan.

Tidak hanya film Jamu Laut, Andi Hutagalung dan temanya Tedy Wahyudy Pasaribu juga akan menampilkan trailer film The King’s Territory yang sedang mereka garap bersama. Film The King’s Territory ini akan mengangkat cerita tentang Konflik Harimau dan Manusia di wilayah Hutan Sumatera Utara yang telah memamakan banyak korban. Film ini berupaya mencari jawaban yang tepat atas terjadinya konflik antar dua makhluk hidup ini. Dan tentu, ini adalah bagian kecil dari masalah krisis lingkungan yang berdampak pada keberlangsungan ekosistem bumi (baca; manusia, satwa, air dan tumbuhan).

Penutup

Manusia dan lingkungan pada dasarnya membentuk satu struktur ketergantungan yang tidak dapat dielakkan. Lester R Brown dalam bukunya berjudul; Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, menggambarkan dengan detail struktur ketergantungan ini dengan menyebutkan bahwa; ikan di laut adalah sumber protein bagi manusia, hutan sebagai penyedia kertas untuk media informasi dan pendidikan manusia; bahkan padang rumput yang selama ini terlihat biasa saja, ia adalah sumber protein bagi manusia karena menjadi sumber pangan bagi sapi yang menghasilkan susu dan keju. Brown mengatakan bentuk struktur ketergantungan harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan dampak positif. Sebab bagaimanapun, ekosistem lingkungan juga mempunyai jeda waktu untuk bisa memulihkan diri; yang dalam istilah Brown disebut sebagai Daya Dukung.

Oleh karenanya, mendiskusikan politik, tradisi dan keberlanjutan lingkungan yang diantarkan dalam satu bingkai film dokumenter tentu menjadi hal yang menarik. Setidaknya ini bisa menjadi enter point bagi pembentukan diskursus publik bahwa kita mempunyai tradisi (baik dalam bentuk sasi, lubuk larangan atau upacara seperti jamu laut) yang dapat menjadi satu mekanisme bagi ekosistem untuk “memulihkan dirinya”, sehingga prinsip sustainability bisa terwujud. Sebab, jika Brown pada tahun 1982 sudah menuliskan buku dengan Judul Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, berarti pada tahun 2023 ini kita sudah mendekati Hari Ketiga Puluh, yang dalam konsepsi tertentu sudah mendekati krisis kepunahan. (*)

 

Penulis adalah Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di FISIP UMSU

Exit mobile version