Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Hari ini, Senin 19 Desember 2022, dimulai pukul 19.00 WIB, bertempat di Aula Raja Inal Siregar, Lantai 2 Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara, Jalan P.Diponegoro No 30 Medan, diselenggarakan “Muzakarah dan Bedah Buku Bersama Ustaz H.Abdul Somad (UAS)”.
Pengundang untuk acara yang diselenggarakan pada hari kerja ini adalah Arief Sudarto Trinugroho, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tentu ada alasan yang kuat memilih UAS, di antara tokoh dakwah yang tak kalah populer di Indonesia saat ini, untuk acara yang diagendakan secara resmi ini.
Buku yang dibedah ialah karya UAS berjudul “37 Masalah Populer”, cetakan pertama, 2019, 406 halaman, yang diterbitkan UAS Press Indonesia, Bandung. Tentu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tentu juga memiliki alasan mengapa buku ini yang dijadikan pembahasan di antara buku-buku karya UAS yang tak kalah populer seperti “Ustadz Abdul Somad Menjawab”, “Ustadz Abdul Somad tentang Wanita”, “Amalan yang Paling Dicintai Allah”, dan lain-lain.
UAS Selalu Ditunggu
Sebagaimana di berbagai daerah lainnya di Indonesia, hingga kini UAS terus dirindukan di Sumatera Utara. Kerinduan itu mungkin tidak hanya ada di sini, tetapi juga di negara-negara rumpun Melayu lainnya atau di negara-negara lain tempat bermukimnya para diaspora muslim yang berasal dari Indonesia.
UAS datang ke Sumatera Utara untuk maksud memenuhi undangan jama’ah masjid dan atau jama’ah tertentu lainnya. Bisa juga, untuk memenuhi undangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Begitu pun tiada rasa saturation (cukup) pada diri warga Sumatera Utara untuk kehadiran UAS. UAS terus dan selalu dinanti.
Kerap post-event seseorang berkata “oh rupanya UAS datang tadi malam ke Medan, tabligh akbar di ….. (menunjuk lokasi tertentu)”. Orang yang berucap itu secara implisit memberi tahu kerinduannya atas kehadiran dan ketertarikannya atas hal-hal penting dan lazim dari narasi pencerahan dan peneguhan UAS, yang berkemungkinan sekali juga sebagai pemberitahuan bahwa jika berita sampai kepadanya sebelum kejadian, ia bahkan akan berusaha hadir di arena.
Video-video pendek, baik yang dipetik dari tayangan youtube maupun yang dibuat oleh seseorang dari event-event UAS pada jama’ah tertentu, yang “diedit” khusus untuk tujuan klarifikasi sesuatu masalah yang sedang terjadi di tengah masyarakat, terus bermunculan menghiasi sosial media (sosmed).
Video-video itu ada yang bersifat politis karena secara langsung terasa ingin dikaitkan dengan praktik politik dan kekuasaan yang dinilai menyimpang. Jenis lain dapat berupa tayangan pendek bertema siraman rohani untuk memupuk ketaqwaan, memperkokoh ukhuwah, motivasi perjuangan hidup, dan lain-lain yang mirip dengan itu.
Tampaknya kehadiran UAS dalam dunia da’wah tak pelak sekaligus juga telah menjadi sebuah jawaban penjembatan antar ufuk di dalam tubuh umat Islam. Bahwa dengan otoritas keilmuan dan kefahamannya atas demografi Islam dengan segenap kategorisasi yang dapat dibuat secara akademik tentang itu, sadar atau tidak, UAS beroleh pengakuan lain dari masyarakat. Itulah yang mungkin dapat disebut sebagai solidarity maker.
Kekuatan penguasaan fiqh al-dahwah UAS memungkinkannya menyederhanakan pendekatan atas setiap masalah yang dibahas sehingga ketimbang terjebak dalam emosi keumatan berbasis kemazhaban atau bahkan orientasi yang secara sosiologis kerap membiarkan sifat ananiyah (ego) ke-firqah-an tertentu, sasaran UAS selalu tampak dengan kuat dan konsisten lebih mengutamakan dalil shahih dan perbandingan yang, cepat atau lambat, menuntun ke ranah eliminasi tradisi taqlid dan orientasi bertendensi jumud.
Bagaimana semua itu terjadi? UAS tentu telah melewati sejumlah kajian mendalam sebelum bertindak. Pada kondisi itu UAS tak lagi memadai dikategorikan sebagai spesialis dalam cabang keilmuan tertentu saja, karena pengetahuan dan keterampilan manajemen umat memungkinkannya menjadi salah seorang dari pribadi-pribadi muslim kategori waratsatu al-anbiya (pewaris para nabi).
Untuk sekadar mengambil contoh, ikhtilaf dan mazhab, bid’ah, talqin, tradisi membaca Surah Yasin, peringatan Maulid Nabi, Salafi dan Syi’ah adalah masalah-masalah sensitif dan klasik saat ini tak hanya di Indonesia, melainkan hampir di seluruh dunia, yang selama ini memiliki andil atas perlemahan ukhuwah di antara umat yang satu.
Meskipun dinamika ini akan terus mengalami pasang surut, dan kemungkinan tetap adanya argumen elit tertentu di balik organisasi pemerintahan (daerah dan pusat) dalam hal pemosisian serta pemberian peran pemimpin agama seperti UAS dalam kehidupan politik, upaya untuk mengeliminasi iklim kurang harmonis itu tidak akan pernah berhenti.
Narasi sangat tangkas UAS dalam sebuah acara pada Kementerian Kelautan semasa dipimpin oleh Susi Pujiastuti (2018) dapat menjadi contoh variasi sikap pada organisasi pemerintahan pusat. Sebagaimana kehadiran UAS dalam memenuhi undangan dari pemerintahan daerah juga membuktikan hal yang sama.
Salah satu pokok kontroversi dalam masalah ini ialah doktrin agama yang hanya sebagai agama dalam pengertian yang oleh sebagian (terutama kaum sekuler dan ateis) harus berada di luar arena selain urusan akhirat. Masalah ini telah melanda dunia begitu lama, dan perluasannya begitu pesat karena didorong oleh govermentalisasi peminggiran agama ke luar arena kehidupan selain urusan peribadatan semata.
Jika hal ini terasa amat paradoks, adalah karena faktanya begitu banyak negara di dunia ini yang di dalam konstitusinya menyebut supremasi Tuhan, dan dalam prinsip pengelolaan negara dan pemerintahan secara formal tetap menyatakan hasrat untuk mengacu pada moral agama, padahal dalam praktik kerap sangat berseberangan, maka besaran masalah dalam pemosisian agama dalam politik dan pemerintahan itu ternyata terus membesar setiap saat.
Masalah-masalah sensitif semacam itu secara tak terstruktur namun dengan konsistensi yang konstan tetap muncul dengan frekuensi yang tak kecil dalam narasi para pemimpin agama di Indonesia, tak terkecuali dari UAS. Agama memang kerap dituduh telah diperalat untuk tujuan politik, tetapi yang menuduh kerap justru sedang menikmati dan tak ingin terusik dari kondisi yang dituduhkannya sebagai hal buruk kepada orang lain.
Paradoks lain ialah bahwa kekuasaan dan politik juga sering sangat mendambakan suntikan energi dari pemimpin agama sebagaimana terlihat dalam kekerapan penyelenggaraan acara doa lintas iman. Masalah paling menggelikan tentu saja ketika elit pemerintahan yang sangat awam agama berusaha menstandarkan keberagamaan sesuai pandangan dan kepentingan subjektifnya.
Diterpa Islamofobia
Begawan dakwah internasional Zakir Naik kerap menghadapi kesulitan menjalankan dakwah di berbagai negara, termasuk di negaranya sendiri, India. Tetapi lawan dialognya, para pemimpin agama yang berbeda dan komunitasnya, tidak selalu bersikap sama. Untuk topik Ketuhanan Jesus Kristus, misalnya, Zakir Naik, mengikuti jejak gurunya almarhum Ahmad Deedad, dengan pengelolaan dan publikasi forum yang piawai, selalu berlangsung penuh sukacita.
Zakir Naik berprinsif “Qul yā ahlal-kitābi ta’ālau ilā kalimatin sawā`im bainanā wa bainakum allā na’buda illallāha wa lā nusyrika bihī syai`aw wa lā yattakhiża ba’ḍunā ba’ḍan arbābam min dụnillāh, fa in tawallau fa qụlusy-hadụ bi`annā muslimụn” [Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)].
Faktanya, para pemimpin agama yang berbeda dan yang menjadi mitra dialog Zakir Naik itu yang kerap menginisiasi debat dan dengan sukarela membawa serta para pengikutnya ke forum. Rupanya para pemimpin politik tak sependapat dengan mereka.
Agama memiliki kekuatan misionarisme yang di dalamnya terdapat tak hanya orientasi penataan perilaku hidup masyarakat dan pemerintahan, melainkan juga konsekuensi-konsekuensi lain dalam hitungan populasi penduduk. Ada kecemasan pada para elit di Barat dan di negara-negara satelitnya di seluruh dunia menyaksikan hasil-hasil dakwah Islam dengan penuh kecemasan.
Hal ini bukan sesuatu yang baru, dan apa yang terbersit dari tesis Samuel P Huntington (1996) tentang perbenturan perdaban itu, hanyalah kelanjutan dari permasalahan lama yang bahkan dapat dihubungkan ke rentetan Crusades dan perjanjian sewenang-wenang berisi klaim pembagian dunia di luar Eropa yang dibuat antara Spanyol dan Portugis (Tratado de Tordesilhas, 1594 dan Tratado, 1529), Pax Brittanica (1815-1914) dan Pax Americana (dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia Ke II).
Dilaksanakan tak sehebat evangelisasi (baik dilihat dari organisasi, pembiayaan dan sumberdaya manusia), namun hasil da’wah dilihat dari jumlah populasi umat Islam terus menunjukkan laju pertumbuhan lebih besar, baik karena faktor kelahiran maupun karena faktor kemu’allafan dan kemurtadan. Artinya meski diakui bahwa dalam komunitas Islam terdapat fenomena simultan kemu’allafan dan kemurtadan, namun dalam komposisi penganut agama Islam diprediksi akan terus memimpin.
Data digital pada internet tentang penolakan atas kehadiran UAS dapat dilacak dengan mengetik “UAS ditolak” yang segera dijawab oleh Google dengan judul-judul berita terkait. Tetapi tak sedikit data yang menunjukkan upaya coba-coba pihak tertentu yang belakangan berakhir gagal karena alasan penolakan dapat dipatahkan.
Singapura, di antara beberapa negara yang pernah menolak, adalah satu negara tetangga yang pernah menolak UAS meski di sana ia tak direncanakan berdakwah di tengah jama’ah. Dalam artikelnya berjudul “UAS, Singapura dan Islamophobia” Direktur Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan, dengan menyetir syair lagu Sting berjudul “Englishman in New York”, lagu satir seorang Inggris di negara yang dia dirikan sendiri, menyebut Singapura adalah tanah Melayu, tanah nenek moyang UAS, yang dikuasai pendatang.
Memang kini mulai kabur dari ingatan banyak orang, bahwa Inggris, melalui tangan Sir Stamford Rafless, dulu membangun Singapura (1819) sebagai kota pelabuhan, setelah mendapatkan konsesi penggunaan lahan dari Sultan Johor, Malaysia, dan menjadi salah kekuatan keuangan dunia.
Di balik semua penolakan terhadap Zakir Naik, UAS dan para pendakwah Islam lainnya, masalah utama ialah Islamofobia yang kini sudah mengkristal menjadi rasisme baru yang sangat berbahaya.
Pergeseran Pasca Era Soeharto
Populisme yang dahsyat di balik fenomena UAS menjadi hitungan tersendiri bagi para analis politik. Hal itu ditopang oleh terjadinya pergeseran kegiatan dakwah di Indonesia dengan pemanfaatan sosmed. Di Monash University, Melbourne, Australia, 14 Februari 2019 yang lalu, diselenggarakan sebuah seminar bertema “Are Muslim preachers pushing Indonesian politics to the right?” Prof Julian Millie, pembicara utama, mengetengahkan data bahwa popularitas para dai seperti UAS tampaknya melatarbelakangi upaya Pemerintah RI untuk membuat sejumlah aturan. Mulai dari pelarangan organisasi HTI pada 2017, sertifikasi dai, hingga daftar 200-an dai yang diakui pemerintah melalui Kementerian Agama. Baginya hal ini sebuah perkembangan menarik, mengingat Indonesia sebenarnya relatif menikmati kebebasan sejak jatuhnya Soeharto.
UAS, menurut Prof Julian Millie, adalah generasi kedua dai yang secara efektif memanfaatkan sosmed dalam berdakwah. Tim UAS bekerja sistematis menayangkan ceramah melalui sosmed setiap hari, selain secara sukarela didukung banyak orang lain yang juga memposting ulang. Tetapi harus dicatat bahwa UAS menanjak cepat menjadi sangat populer adalah karena materi dakwahnya yang selalu menampilkan Islam sebagai jawaban atas segala persoalan dan mengupasnya secara apa adanya. Meski UAS banyak humor dalam ceramahnya, dan itu salah satu kekuatan tak terbantahkan dalam diri UAS, substansi tak pernah samar. Bahkan sebaliknya kerap bumbu humor digunakan dengan begitu mulus untuk meringankan eksplorasi substansi masalah-masalah genting yang sedang mengemuka.
Penutup
Dalam artikelnya “How ‘moderate’ are Indonesian Muslims?”. Nathanael Sumaktoyo (2019) menunjukkan posisi Indonesia di tengah tuduhan-tuduhan intoleransi dan semisalnya. Terlepas dari konsep dan parameter yang mungkin sangat perlu ditinjau dari pandangan Islam, penulis ini dengan lugas mengungkapkan bahwa Indonesia terletak hampir persis di tengah-tengah ufuk (ekstrim kanan dan kiri). Indonesia jauh kurang konservatif dibandingkan Malaysia, tetapi lebih konservatif dibandingkan Libanon atau Turki. Barangkali, lanjut Sumaktoyo, dengan menolak baik konservatisme ekstrim maupun sekularisme atau liberalisme ekstrim, umat Islam Indonesia memang pantas mendapatkan reputasi sebagai “moderat”.
Dapat dipastikan bahwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menjadikan alasan kenegarawanan UAS sebagai salah satu pertimbangan kuat dalam menetapkan kehadirannya dalam agenda daerah. Dari materi-materi ceramah UAS memang terindikasi kuat karakter dan obsesi untuk pengokohan sikap kenegarawanan yang terus bertumbuh dan berkembang di dalam dirinya dan di dalam diri semua orang yang mengikuti jalan fikiran dakwahnya.
Dengan tak berniat menuntun limau berduri, barangkali tidak salah untuk sekadar memberi saran kepada UAS dalam orientasi dakwahnya ke depan. Indonesia yang berpenduduk terbesar ke 4 di dunia dan yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia, sesungguhnya didirikan dengan niat dan cita-cita tulus membebaskan umat manusia, di mana pun, dari segala bentuk penjajahan, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam upaya ketertiban dunia.
Kalimat-kalimat sakral itu kini begitu terasa menuntut pengejawantahan terlebih di tengah neoliberalisasi yang terasa semakin menisbikan determinan nasib warga dalam arus modal, kudeta modal dan semacamnya.
Kapasitas kenegarawanan UAS pasti dapat memotivasi semua warga negara (baik dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan) untuk memperjelas arah yang tepat dalam memetakan roadmap kekinian untuk merealisasikan cita-cita yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 itu. (*)
Penulis dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).