Oleh: Dr. Emilda Sulasmi, M.Pd
(Dosen Pascasarjana UMSU)
Ini cerita klasik, dan sudah berkali-kali diceritakan oleh berbagai pihak, tentang suatu negara yang Bernama Jepang, negara ini luluh lantak oleh bom nuklir. Cerita ini menjadi menarik Ketika diceritakan tentang Krisis diberbagai sector, namun yang paling menjadi perhatian adalah tentang jumlah guru yang tersisa. Kaisar Hirohito dengan penuh harapan mengatakan kepada seluruh pasukan dan juga rakyat Jepang bahwa kepada gurulah sekarang mereka akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan. Demikianlah sang kaisar memberikan perhatian penuh pada profesi ini.
Guru adalah jembatan masa depan. Di belahan dunia manapun, di mata orang-orang sukses, dan di mata orang-orang pandai, sosok yang berjasa dan memiliki andil dalam pencapaian mereka tak lain adalah guru. Ungkapan ini bukanlah exaggerasi atau hiperbolis, namun merupakan sebuah fakta sejarah dan sosial dimana telah dibuktikan berabad-abad lamanya.
Keberadaan guru merupakan prasyarat bagi keberlangsungan peradaban manusia, guru tidak hanya sosok yang secara formal hadir dalam Lembaga Pendidikan, namun mereka yang melakukan transfer adab, transfer moralitas dan terutama ilmu pengetahuan adalah seorang guru.
Secara formil keberadaan guru di Indonesia merupakan salah satu sistem yang menjadi prasyarat akan eksistensi dari Lembaga Pendidikan, yang pada akhirnya menjadikan profesi ini sebagai tumpuan untuk mencerdasakan anak bangsa.
Perlahan namun pasti, profesi guru diberikan perhatian oleh pemerintah terutama berkenaan dengan kesejahteraan, berupa tunjangan profesi. Meskipun belum merata, namun ini adalah bentuk keseriusan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi guru.
Lalu, apa persoalan yang penting lainnya yang mendesak bagi keberlangsungan profesi ini? Menurut hemat penulis tidak lain adalah perlindungan hukum bagi profesi guru. Apakah selama ini tidak ada? Tentu saja ada, namun profesi ini belum maksimal dilindungi oleh undang-undang.
Setidaknya tercatat beberapa regulasi mengenai hal ini, diantaranya Pasal yang memuat tentang perlindungan guru, misalnya tertuang dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru. Ada pula Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan.
Apa yang menjadi point tulisan ini? Menurut hemat penulis saat ini yang paling urgent adalah meminimalisir dilematika guru dalam proses pembelajaran, terutama terkait dengan strategi pembinaan siswa. Hal ini penting disebabkan pada aspek ini sangat rentan sekali bagi guru untuk berhadapan secara pidana dengan murid (orang tua).
Terlebih saat ini posisi guru menjadi sangat lemah ketika berhadapan dengan kasus hukum, jika ditilik dalam kasus-kasus tertentu, guru selain diadukan sebagai pelaku kekerasan terhadap siswa, dalam beberapa kasus justru menjadikan guru sebagai korban kekerasan dari siswa dan/atau orang tua siswa.
Banyak kasus, guru dilaporkan melanggar hak perlindungan anak ketika memberikan memberikan sanksi pelanggaran disiplin terhadap siswa, seperti dijewer, dipukul, dibentak, disuruh lari mengelilingi halaman sekolah, disuruh push up beberapa kali, disuruh menghormat bendera dalam kondisi cuaca panas sampai akhir pelajaran, membersihkan toilet, dan sebagainya. Jenis-jenis hukuman disiplin seperti yang masa lampau dianggap biasa atau “lumrah” dalam dunia pendidikan, saat ini “dinilai” tidak lagi mendidik dan bahkan dianggap melanggar Undang-undang Perlindungan Anak.
Padahal sesungguhnya dalam ilmu Pendidikan dijelaskan bahwa salah satu metode pembelajaran adalah punishment, yang bisa dijadikan sebagai salah satu cara mendidik dan membina peserta didik Ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran peraturan sekolah, hal ini dilakukan agar siswa tidak terjerumus kedalam hal yang dilarang oleh sebuah lembaga terutama dalam dunia Pendidikan.
Memang yang menjadi persoalan adalah bentuk hukuman, namun sejauh ini yang masih banyak terjadi adalah segala perbuatan guru yang tidak membuat nyaman siswa, apalagi informasi itu terlalu dilebih-lebihkan oleh anak, kemudian disambut orang tua secara berlebihan pula, akan berpotensi dibawa ke jalur hukum. Ketika dihadapkan persoalan ini, polisi tentu akan menjerat guru dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana tingkatan Undang-Undang ini lebih tinggi kedudukannya dari Peraturan Menteri.
Selain itu, ketiadaan jaminan perlindungan pada profesi ini juga rentan untuk disama ratakan dengan kasus-kasus sederhana lainnya, sebut saja misalnya kasus penganiayaan. Mengenai penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatakan bahwa undang-undang tidak memberi ketentuan apakah yang diartikan dengan “penganiayaan” itu. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “penganiayaan” yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah “sengaja merusak kesehatan orang”.
Ini artinya, saat guru memberikan hukuman, dan siswa merasa tidak enak, merasa sakit, atau luka meskipun sedikit, guru dapat dilaporan, karena ini termasuk tindak pidana penganiyaan. Apalagi jika dihadapkan dengan Undang-undang perlindungan anak terutama pada Pasal 54 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini memberikan imunitas bagi siswa atau keluarga siswa yang merasa menjadi korban, namun cendrung membawa dampak negatif kedalam dunia Pendidikan.
Banyak kasus bisa dilacak, seperti kasus Nurmayani Guru bidang studi biologi SMP Negeri 1 Bantaeng mencubit siswanya yang kebetulan anak polisi kemudian berakhir di sel penjara. Nurmayani bui di Rumah Tahanan Klas II Bantaeng, Sulawesi Selatan. Nurmayani menjadi tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng. Kasus serupa juga dialami oleh Sambudi guru SMP swasta di Sidoarjo, warga Desa Bogem Pinggir, Balongbendo. Sambudi mencubit siswanya karena asyik nongkrong di tepi sungai saat ada kegiatan salat berjamaah di musala sekolahnya dan kasus tersebut melambung setelah orangtua siswa yang berprofesi sebagai anggota TNI Angkatan Darat melaporkannya dengan tuduhan penganiayaan. Terakhir kasus Kepala Sekolah yang dilaporkan ke Polisi di sumatera selatan karena menampar 32 orang siswanya.
Berangkat dari persoalan inilah, maka diperlukan Undang-Undang Khusus mengenai Profesi Guru ini selayaknya Undang-Undang Tentang Notaris, Undang-Undang Tentang Advokat, dan Undang-Undang Profesi lainnya. Hal ini dilakukan agar guru merasa tenang dan nyaman dengan profesinya dalam mendidik anak-anak bangsa. Setidaknya menurut penulis perlu dibentuk oleh pihak berwenang sebuah Lembaga atau Komite khusus yang bertugas melakukan mediasi, menilai dan memutuskan tindak lanjut dari perselisihan antara guru, murid, dan orang tua murid.
Meskipun telah diterbitkan payung hukum dalam yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa, namun masih perlu adanya persepsi yang sama antara sekolah, guru, orang tua, dan siswa dalam menyikapi pelanggaran siswa.
Perlindungan ini diberikan agar tercipta kondisi yang memberikan ketertiban dan kepastian sehingga proses belajar mengajar bisa berjalan sesuai yang diharapkan. Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam menjalankan tugas. Perlindungan itu meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Niat guru untuk melatih disiplin melalui tindakan atau hukuman tidak harus berujung ke penjara. Jika ada perselisihan, prosesnya bukan langsung ke polisi, tetapi murid atau orang tua mengadu terlebih dahulu ke komite khusus. Komite nantinya yang akan menilai dan memutuskan apakah tindakan guru terhadap murid masuk ke ranah pidana atau tidak. (*)