Site icon TAJDID.ID

Liberalisme Ala Muhammadiyah

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Memang jika Muhammadiyah terus bertekad mendirikan “a perfect and an effective state in the real state”, gagasan dan program mengimbangi atau melampaui pemerintah wajib diprioritaskan.

Tetapi sebelum ke arah itu Muhammadiyah memerlukan tinjauan kritis atas beberapa hal yang mungkin sangat memerlukan perubahan. Ini menyangkut peran.

Apakah akan sekadar meneruskan peran lama yang melegitimasi liberalisasi yang membuat negara akhirnya berpandangan bahwa semuanya berlangsung baik-baik saja jika semua urusan menyangkut kepentingan warga dan negara diserahkan kepada pasar.

Dengan begitu ia (negara) minim tugas dan tanggung jawab dan demi persaingan bebas dianggap pas memilih permissive atas ketidak-adilan dan kesenjangan yang akan menjadi resultante akhir.

***

Konstitusi yang dibuat untuk Indonesia berbicara lain: “Indonesia bukan negara liberal”. Jadi tugas pertama yang belum selesai dan bahkan makin hari makin kabur ialah membuat Muhammadiyah tak hanya sebagai pressure group tetapi pencerah untuk memperbaiki negara agar mampu menjalankan tugas dan kewajiban melindungi segenap tumpah darah….dst.

Pastilah ketika Muhammadiyah didirikan tahun 1912 Dahlan tak bisa selain bekerja di hulu yang secara eklektif memilih peran yang seolah tak berbahaya bagi kolonial, yakni pendidikan dan sosial.

Tetapi Indonesia sudah merdeka 7 dasawarsa lebih dan secara resmi yang memerintah bukan lagi penjajah. Muhammadiyah masih tetap dengan faham lama yang beranggapan bahwa pemerintah itu adalah kafir dan tentu musuh dan karena itu jika tak berani oposisi jadi outsider yang tak berbahaya saja.

Muhammadiyah seakan merasa suci dengan pilihan sadar tetap menjadi steril dari politik. Faham ini pilihan fiqh paling konservatif dan seperti layangan hanya akan terbang kian kemari di udara. Meski seolah leluasa, sebetulnya hanyalah karena arah angin belaka.

Ijtihad politik Muhammadiyah terasa hanya terbatas pada bagaimana agar tidak kena pukul dan kena tindas. Itu tak berubah dari iklim penjajahan, dan Muhammadiyah kelihatannya lebih memilih tak tahu bertarjih tentang itu.

Mungkin karena kultur dominasi “Jawa Golek Selamat” (safety first) performance Muhammadiyah menjadi seperti itu: kurang menyukai berijtihad substantif dan besar.

Belum lama ada publikasi agak bombastis tentang aset besar dan kekayaan Muhammadiyah. Ya memang, jika ukurannya organisasi sosial yang ada, itu sangat unggul.

Tetapi jika diukur dari paradigma ijtihadi Islam, menjadi pendukung liberalisasi yang menggantungkan diri ke pasar adalah sebuah pertanda kegagalan memahami missi profetik yang sebenarnya.

Bersambung ke halaman 2

Jika masalah pertama yang dikemukakan di atas itu secara filosofis sudah selesai, maka kita beranjak ke dimensi lain.

Muhammadiyah itu tersebar di hampir seluruh wilayah. Ia memiliki aktivitas yang meniscayakan mobilitas horisontal mau pun vertikal. Tetapi dalam menopang kegiatannya bermusyawarah dari satu ke lain kota, dan ini sudah berlangsung seabad lamanya, Muhammadiyah tak serius mengartikulasikannya menjadi basis usaha produktif dalam bidang wisata (terutama penginapan).

Muhammadiyah mengelola qurban, tetapi di negeri agraris ini ia tak memiliki peternakan. Makan nasi adalah kultur utama, tetapi juga tak mempunyai sawah.

Doeloe di Sibolga, Sumatera Utara, ada tongkang tertambat untuk keperluan hajj. Matilah tongkang itu padahal seharusnya adaptasi menjadi maskapai penerbangan, tak usah terlalu tunduk kepada kepanitiaan nasional hajj yang dimiliki pemerintah.

Lembaga pendidikan cukup dibanggakan oleh Muhammadiyah. Tetapi orang tak banyak tahu perguruan tinggi Muhammadiyah yang maju itu hanyalah hasil sampingan dari persaingan pasar yang sangat sengit dan ketidak-adilan yang menganga secara regional.

Big five pendidikan tinggi Muhammadiyah itu seluruhnya pastilah di Jawa. Itu pertanda “penjahan” yang bersumber dari dominasi dan sentralisme yang telah turut dimanfaatkan oleh Muhammadiyah dalam memperkaya diri (meski secara amat terbatas) melalui pendidikan tinggi Muhammadiyah.

Di mana-mana selalu sekolah Muhammadiyah favorit (SD Muhammadiyah Sapen dan SMA Muhammadiyah 1 di Yogyakarta, misalnya) sebagai tempat berkonsentrasi putera-puteri elit.

Nyaman saja perasaan Muhammadiyah membanggakan itu.

***

Pada Muktamar di Makassar begitu teras Muhammadiyah sedang berusaha meyakinkan pemerintah dan dunia bahwa “kami bukan Wahabi, bukan Alqaeda, bukan ISIS dan bukan Komando Jihad”. Padahal mestinya Muhammadiyah sudah sejak lama (terutama sejak berakhirnya perang dingin) merasa wajib mewacanakan Islam sebenarnya agar keadilan melahirkan kedamaian, mengatasi semua tuduhan peyoratif yang berbahaya itu.

Tak begitu nyaring Muhammadiyah bersuara, baik di tingkat nasional dan apalagi internasional bahwa selamanya tak ada terorisme di permukaan bumi ini tanpa penjajahan.

Ada sejumlah orang yang setelah pulang dari sekolah di Barat merasa lebih kompeten mengatakan bahwa nilai-nilai universal harus diadopsi oleh Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia agar mereka ini tahu, misalnya, sanitasi dan ia tahu pula kebaikan tentang cuci tangan sebelum makan.

Jarang orang merasa bahwa orang ini tak faham hegemoni kulit putih yang jika mereka berbicara apa saja selalu double standard.

Bersambung ke halaman 3

Di luar banyak lembaga yang dengan kesewenang-wenangan berbalut akademik terutama survei yang terus-menerus menghakimi umat Islam dengan tuduhan-tuduhan peyoratif dengan menggunakan indikator yang melekat pada jati diri umat Islam, tanpa berusaha mendalami akar masalah. Misalnya, dengan senang gembiralah mereka menyatakan kampus ini intoleran, kampus itu suka khilafah, kampus yang sana radikal.

Mereka juga tak merasa sungkan membuat ranking kota Islami di Indonesia dengan cara pandang yang bermasalah. Rasanya, rangking kota hasil survei-survei seperti itu benar saja, tetapi cuma kebenarannya hanya ada di hilir belaka, persis seperti lembaga survei yang mengatakan partai berbasis agama tak laku lagi, padahal pemilu hanya pernah melahirkan data klaim politik, bukan data politik yang benar (kecuali mungkin pemilu tahun 1955 dan pemilu 1999), karena sama sekali tak pernah dilaksanakan jujur, adil, apalagi berintegritas.

Lembaga survei pun dianggap memiliki otoritas untuk mengatakan bahwa politik identitas itu berbahaya, hanya karena partai milik orang Kristen dan Katholik telah bubar. Sebelum partai-partai milik kedua komunitas agama itu lenyap, tidak ada isyu politik identitas. Jika orang menelaah sejarah partai, malah komunitas kedua  agama itu yang paling awal mendirikan partai politik.

Ironisnya banyak akademisi dari kampus Islam tak terkecuali dari Muhammadiyah yang tanpa kritisisme yang benar mengamini saja, dan pada posisi itu mereka sudah memasuki wilayah keislaman baru mereka yakni self hating muslim (orang Islam yang memusuhi diri sendiri karena menjadi muslim).

Mestinya mereka harus memeriksa cermat ke hulu persoalan untuk mencari tahu apa sebab negara dengan kota tak Islami itu benar-benar miskin dan rakyatnya dianggap harus cukup puas dengan menonton kekayaan beredar dari satu ke tangan orang-orang yang amat sangat terbatas. Kemiskinan mereka yang parah amat tak memungkinkan mereka mengenal nilai kebersihan meski sholat mereka mewajibkan bersuci dan wudhu terlebuh dahulu.

Lembaga-lembaga musuh Islam yang beroleh kemudahan mendapatkan anggaran itu tak bersedia belajar substansi masalah, struktur yang menindas dan sejarah.

Bersambung ke hal 4

Seorang presiden belum lama ini dipermalukan oleh tuan rumah dalam pertemuan anti corruption summit yang menyebut di negaranya banyak korupsi. Apa jawab presiden itu?

“Saya datang ke anti corruption summit ini dengan terlebih dahulu mempersiapkan data audit lengkap stolen asset (harta yang dicuri) oleh negara yang tadi presidennya menuduh negara saya terlalu korup. Saya meminta itu dikembalikan, sekarang juga”.

Presiden itu bernama Muhammadu Buchori, dari Nigeria. Kiranya jarang orang yang cukup faham dan cukup berani mengemukakan perlawanan seperti yang dilakukannya.

Di Indonesia ada Dahnil Anzar yang berkarir di ICW dan setelah menjadi Ketum PP Pemuda Muhammadiyah mendirikan Madrasyah Anti Korupsi. KPK adalah induknya yang beroleh anggaran besar dari negara dengan hasil minim. Lembaga superbody ini juga mengalokasikan dana untuk berbagai kegiatan pendukung yang bertujuan membuat KPK berkesan suci dan efektif, di antaranya survei. Hasil setiap survei pastilah akan selalu menempatkan KPK sebagai lembaga paling bersih dan terpercaya.

Kebanyakan orang Indonesia percaya tanpa memeriksa metode survei. Jika misalnya kepada semua responden dijelaskan terlebih dahulu peran dan fungsi semua lembaga termasuk KPK,  lalu ditanyakan apakah setiap lembaga itu sudah melaksanakan peran dan fungsinya, maka hasil survey pasti berbeda dengan yang dipandang objektif selama ini.

Tetapi termasuk elit di Indonesia kini tak begitu sadar bahwa peran dan fungsi KPK bukanlah sekadar memasangkan rompi oranye kepada orang yang diciduk melalui operasi tangkap tangan (OTT).

OTT itu malah sebuah pengakuan bahwa KPK tak mampu berbuat apa-apa kecuali mengandalkan aktivitas sadap menyadaptelefon. Bayangkan pula jika semua orang termasuk Muhammadiyah dibenarkan menggunakan metode penyadapan, kira-kira berapa bulan atau berapatahunkah usia KPK?

***

Misi profetik Muhammadiyah bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah dan dalam kiprahnya hal itu kendor dan mengendor terus-menerus.

Perasaan puas bermuhammadiyah dengan ukuran-ukuran masa lalu begitu penting ditinjau kembali. (*)


Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PW Muhammadiyah Sumut.

Exit mobile version