Site icon TAJDID.ID

Ikhwal Kebenaran dalam Nalar Politik dan Kekuasaan

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Ikhwal kebenaran dalam konteks politik adalah sesuatu yang absurd. Artinya, kebenaran politik itu sangat musykil untuk diukur objektivitas dan validitasnya. Kecendrungan ini boleh jadi disebabkan nalar politik yang memproduksi kebenaran itu memang cenderung bersifat relativistik dan pragmatistik.

Bila dicermati, tradisi politik praktis itu memang sering diidentikkan dengan ikhwal “kepentingan” belaka. Karenanya wajar kemudian kebenaran politik hanya semata dianggap sebagai hasil representasi dari kepentingan politik. Kebenaran politik yang disajikan tidak akan pernah lepas dan bebas dari nilai kepentingan politik. Sebagai implikasinya, muncul adagium yang memandang kebenaran dalam politik itu “tidak selalu harus benar” dan begitu juga kesalahan “tidak pula melulu mesti salah”.

Tentang hal ini, filsuf eksistensialis Prancis, Jean Paul Satre dengan sinis pernah menyebut politik tidak lain adalah sebuah ilmu yang memungkinkan pemiliknya (politisi) dapat menunjukkan bahwa dirinyalah yang paling benar, sedangkan orang lain salah.

Dengan demikian, wajar saja jika kemudian tindakan dan prilaku politik bisa menjadi “serba benar” atau “serba tidak keliru”, meskipun sebelumnya pandangan umum sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang salah, kontroversial dan irrasional.

Begitulah. Dalam politik yang sering dilakukan oleh para politisi sebenarnya bukan memihak kepada kebenaran sejati, melainkan berpihak kepada kebenaran subjektif yang tidak lain merupakan cerminan dari kepentingan politik.

Bersambung ke hal 2

 

Monopoli Kebenaran

Mencari kebenaran itu lebih bernilai dibandingkan menguasainya  (Albert Einstain)

Bagi dunia filsafat  dan  ilmu pengetahuan, aforisma  yang dilontarkan ilmuan besar dunia  Albert Einstain di atas memang  adalah prinsip ideal yang seharusnya dipraktikkan. Tujuan ideal ilmu itu adalah mencari kebenaran.

Tetapi sepertinya itu tidak relevan — bahkan boleh jadi dianggap sesuatu yang  naïf – dilakukan di dalam dunia politik dan kekuasaan. Dalam logika politik dan kekuasan,  justru  ikhtiar mencari  kebenaran bukanlah suatu yang penting,  dan sama sekali bukan menjadi tujuan. Bagi politisi dan penguasa yang terpenting  adalah bagaimana menguasai dan mengendalikan kebenaran. Karena dengan mengendalikan dan menguasai kebenaran, akan membantu dan memudahkan politisi atau penguasa memenangkan kepentingannya.

Kalaupun ada  ruang untuk kebenaran, lebih sering itu hanya sebentuk bunga-bunga kata yang mekar di mulut mereka yang sebenarnya pendusta.  Jarang sekali kebenaran jadi bagian dari dedikasi dan komitmen mereka.

Dan biasanya, pihak yang paling potensial untuk menguasai kebenaran adalah mereka yang sedang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan yang digenggam, maka semakin besar peluang memenangkan pertarungan untuk menguasai kebenaran.

Dalam konteks politik dan kekuasaan, makna menguasai kebenaran adalah bagaimana penguasa menggunakan segenap kekuasaan yang dimilikinya secara optimal untuk selalu merasionalisasi dan membenarkan setiap perilaku dan kebijakan yang dikeluarkannya.

Tentunya kita masih ingat, di masa pemerintahan Orde Baru, bangsa ini pernah mengalami masa dimana telah terjadi monopoli kebenaran oleh rezim penguasa. Atas nama negara, penguasa otoritarian saat itu tampil sebagai pembuat sekaligus penafsir tunggal kebenaran politik untuk mengamankan status-quo kekuasaannya.

Dalam segala hal pihak penguasa selalu memaksakan semua yang dilakukannya harus dianggap dan diamini sebagai sesuatu kebenaran yang tidak pernah salah. Dan jika ada pihak-pihak yang berupaya menginterupsi atau mengoreksinya, maka itu akan dianggap sebagai tindakan subversif yang kemudian pantas untuk dibungkam secara represif.

Terbukti, tidak sedikit tokoh, kelompok dan media massa yang mencoba nekat menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran yang berbeda dengan kebenaran pemerintah telah menjadi korban kelaliman penguasa pada waktu itu.

Namun setelah rezim Orba runtuh dan bangsa ini memasuki era reformasi, kondisi pun berubah drastis. Kehadiran gerakan reformasi sebagai antitesa dari Orba telah membawa angin perubahan yang cukup radikal bagi bangsa ini. Salah satu implikasi yang paling menonjol dari kehadiran gerakan reformasi adalah terbukanya kran kebebasan ditengah-tengan kehidupan bernegara, termasuk dalam sektor kehidupan politik.

Tak ayal, eforia pun melanda sebagian besar anak bangsa menyambut era kebebasan tersebut. Tiba-tiba siapapun tidak tabu lagi untuk bersuara memuntahkan aspirasinya. Begitu juga terkait kebenaran politik, negara bukan lagi jadi satu-satunya penguasa tunggal kebenaran politik yang dominan. Setiap orang atau kelompok kepentingan bebas memiliki klaim kebenaran politik masing-masing.

Bersambung ke hal 3

Politik Pembenaran

Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun determinasi negara terhadap kebenaran politik sudah berkurang sedemikian rupa, sesungguhnya bukan berarti syahwat penguasa untuk menguasai kebenaran politik mengalami stagnasi.

Seperti yang terlihat belakangan ini, sebenarnya gelagat hasrat pihak penguasa untuk menguasai kebenaran politik masih cukup besar. Namun masalahnya, rezim penguasa di zaman reformasi tidak menguasai kebenaran politik dengan cara kursif seperti yang dipraktikkan oleh rezim penguasa orba. Oleh karenanya pilihan yang paling efektif diambil penguasa adalah dengan cara memaksimalkan hegemoni kekuasaan yang dimilikinya.

Dalam konteks hegemoni, pihak penguasa dengan segenap instrumen kekuasaannya dituntut mampu lebih moderat untuk “memaksakan” versi kebenaran politiknya.

 

Politik Kebenaran

Jika kebenaran politik begitu musykil untuk dipercaya, maka sesungguhnya masih ada bentuk representasi lain yang justru penting untuk selalu diperjuangkan dan ditradisikan, yakni “politik kebenaran”. Apa itu politik kebenaran?

Secara sederhana, politik kebenaran itu dapat diartikan dengan politik ketulusan. Artinya, politik dan kekuasan harus selalu dijalankan dengan etos  ketulusan dalam rangka memperjuangkan kemaslahatan bersama (bonum commune). Seorang politisi atau penguas yang menganut ideologi politik kebenaran akan senantiasa menjadikan dunia politik dan kekuasaan sebagai instrumen perjuangan untuk mewujudkan kebenaran dan kebaikan.

Dalam konteks kehidupan bernegara, secara konseptual kebenaran itu adalah nilai-nilai ideal yang telah disusun dan dirumuskan dalam dasar negara.

Di Indonesia, konsep aksioma kebenaran itu tak lain terkandung dalam Pancasila dan UUD1945. Keduanya menjadi postulat dan standar rujukan kebenaran bagi segenap komponen bangsa yang harus senantiasa diamalkan dalam kehidupan bernegara.

Akan tetapi, sepertinya bagi politisi hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dan menguntungkan untuk dilakukan dalam kultur politik pragmatis. Karena dunia politik adalah kumpulan fakta dan realitas yang syarat kebohongan dan kemunafikan. Seperti pernah diungkapkan George RR Martin dalam bukunya “A Clash of Kings” (1998); “orang sering mengklaim rasa lapar akan kebenaran, tapi jarang menyukai rasa itu saat disajikan“.

Dan perlu dipahami, politik kebenaran tidak sama dengan politik pembenaran. Politik kebenaran adalah bentuk praksis dari tradisi politik adiluhung (high politic), sedangkan politik pembenaran merupakan praktik politik murahan (low-politic) yang ditujukan untuk membenarkan perilaku busuk politik.

Penutup

Boleh jadi, bagi sebagian orang gagasan politik kebenaran mungkin dianggap sebagai sesuatu yang utopis dan tidak realistik. Namun meskipun demikian, jangan sampai hal itu membuat kita pesimis dan melemahkan iktikad kita untuk terus berusaha menyirami konstelasi dunia politik kita yang begitu kering-kerontang dari nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan ketulusan.

Kita berharap masih ada —walaupun segelintir – politisi di negeri ini yang masih memiliki hati yang bersih untuk ikhlas memperjuangkan politik kebenaran dan punya nyali untuk mengatakan seperti yang pernah dinyatakan oleh Umar bin Khattab; “Jika ada seribu orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada seratus orang yang membela kebenaran, aku berada diantaranya. Jika ada sepuluh orang pembela kebenaran, aku tetap ada di barisan itu. Dan jika hanya ada satu orang yang tetap membela kebenaran, maka akulah orangnya.”. Semoga (*)

 

Exit mobile version