Site icon TAJDID.ID

Muhammadiyah Sampaikan Sikap dan Kritik terhadap RUU Sisdiknas

Sekum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti . (Foto: twitter)

TAJDID.ID || Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Dr Abdul Mu’ti MEd menegaskan, bahwa  sikap Muhammadiyah terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sudah jelas, yakni RUU yang diusulkan itu belum memenuhi ketentuan UU No. 12 tahun 2011 dan UU No. 15 tahun 2019.

“Banyak aspek yang berkaitan dengan perayaratan-persyaratan dalam UU itu (UU No. 12 tahun 2011 dan UU No. 15 tahun 2019) yang belum dipenuhi RUU Sisdiknas,” ujar Prof Mu’ti, Ahad (3/4/22) dikutip dari laman PWMU.CO.

“Kami menilai banyak sekali taarud (pertentangan) di dalamnya. Apalagi UU ini menggabungkan tiga UU yang sebelumnya. Yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, dan UU Perguruan Tinggi,” imbuhnya.

Baca juga

 

Padahal kalau bicara UU itu, kata Mu’ti, sekarang sudah ada UU Pesantren. “Itu nggak mungkin bisa dipisahkan dari RUU!”

Ia juga menilai, RUU tersebut banyak irisannya dengan UU Pemerintah Daerah. Karena menyangkut kewenangan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah daerah juga terkait kewenangan UU Aparatur Sipil Negara.

“Karena kependidikan dan banyak hal lain yang itu dalam konteks UU harus ada sinkronisasi!” ungkapnya.

Bersambung ke hal 2.

Minta Dipending

Prof Mu’ti menyatakan, pihaknya memberi kepercayaan terhadap Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah. “Memang meminta supaya RUU ini dipending karena belum memenuhi persyaratan!” imbuhnya.

Dia juga menyampaikan kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nadiem Anwar Makarim untuk menyiapkan RUU ini dengan baik.

“RUU ini tolong disiapkan sebaik-baiknya. Jangan sampai nanti baru diputuskan, kemudian langsung di judicial review.” pintanya,

Karena ada UU baru diketok, sambungnya, langsung di judicial review dan kalah.

“Termasuk sekarang UU Ikatan Keluarga Mahasiswa itu sudah disiapkan judicial review-nya padahal nomernya belum keluar,” ungkapnya.

“Begitu nanti nomernya keluar dan itu diundangkan, siap itu yang mau menggugat!” tegasnya.

 

Baca juga:

 

Prof Mu’ti menyatakan, para tokoh Muhammadiyah sudah mengkritisi beberapa hal dari RUU Sisdiknas tersebut.

“Sementara, dua yang saya kritisi,” ujarnya.

Pertama, dia mengkritisi perihal tidak adanya penyebutan madrasah dalam RUU itu. Padahal di UU No. 20 tahun 2003, madrasah disebutkan secara eksplisit.

Kedua, UU No. 20 Tahun 2003 menurutnya sudah memberi jaminan kepada madrasah sebagai bagian sistem pendidikan nasional, juga mulai mengarah pada pemenuhan ketentuan UUD tentang suatu sistem pendidikan nasional.

“Sehingga, sekarang kurikulum madrasah itu 100 persen kurikulum sekolah ditambah kurikulum madrasah. Kemudian akreditasinya juga 100 persen sama, ujian nasionalnya sama, sehingga pengakuan atas madrasah itu semakin kuat. Madrasah itu ada lebih dulu sebelum sekolah!” terangnya.

Bersambung ke hal 3.

Madrasah di Penjelasan?

Prof Mu’ti menyatakan sudah pernah menulis ini di salah satu media. Setelah menulis itu, katanya, dia mendapat telepon. “Pak Dirjen telepon, katanya madrasah dimasukkan ke dalam penjelasan. Tapi ketika saya baca UU No. 15 tahun 2019, penjelasan hanya berisi tiga hal,” imbuhnya.

Pertama, penjelasan atas istilah asing yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia atau istilah yang mungkin menimbulkan salah penafsiran. Kedua, penjelasan pasal-pasal krusial yang butuh penjelasan. Ketiga, penjelasan itu tidak mengikat norma dan UU yang merupakan turunan dari UU itu.

“Jadi memasukkan madrasah di penjelasan sama dengan meniadakan madrasah,” ujarnya menyimpulkan di hadapan para peserta Kajian Ramadhan 1443 PWM Jatim di at-Tauhid Tower Universitas Muhammadiyah Surabaya.

Yang tidak mengerti, kata Prof Mu’ti, bisa mengatakan madrasah itu sudah termasuk di penjelasan. “Tapi bagi yang tahu, sebenarnya memunculkan wujuduhu ka adamihi (adanya madrasah sama halnya dengan tidak ada madrasah) yang ujung-ujungnya nanti madrasah tidak diurusi,” jelasnya.

Terakhir dia mengungkapkan keheranannnya, dimana Muhammadiyah yang jumlah madrasahnya sedikit justru semangat menyoroti hal ini. Sedangkan yang madrasahnya banyak justru diam-diam saja. (*)

Baca juga:

Exit mobile version