Oleh: Anggalih Bayu Muh Kamim
Tasbih mencencang tangan kanannya. Mulutnya komat-kamit menyebut bacaan istighfar berkali-kali. Dia berusaha menenangkan kalbunya. Secangkir kopi dan pisang goreng hangat di meja tamu menemani paginya. Pak Buat terbayang dalam angan-angannya mengenai pemilihan kuwu yang telah berlalu. Dia masih belum bisa menerima kekalahan telaknya. Dia merasa telah sudah berbuat banyak sebagai bayan di dusun Galarama. Dia bertanya-tanya apakah yang dilakukannya untuk para kawula dusun belum cukup? Dia sampai hati menduga-duga para kawula tidak menghargai jerih payahnya. Keringat yang bercucuran dan pemikiran nan cemerlang dalam mendorong kemashlahatan bersama apakah belum cukup untuk memunculkan kesetiaan antara kawula dengan junjungannya? Setiap keluar prasangka dan pertanyaan-pertanyaan seperti itu di dalam sanubarinya pasti Pak Buat menjadi mengelus dada. Pak Buat selalu berusaha menenangkan gejolak nuraninya, apabila telah meledak-ledak.
Paginya selalu diisi dengan mematung di kursi tamu. Pak Buat masih belum bisa berpaling dari kekandasannya dalam adu kekuatan pemilihan kuwu setahun yang lalu. Istrinya cukup khawatir dengan kebiasaan suaminya setahun terakhir ini. Istrinya ingin mengingatkan suaminya untuk tidak terlalu membebani pikirannya. Istrinya selalu mengingatkan bahwa dia masih menjabat sebagai bayan dan harus menuntaskan amanahnya dengan sebaik-baiknya. Pak Buat sayangnya tetap saja belum bisa melepaskan kehampaan sanubarinya. Pak Buat merasa tugas yang dijalankannya selama ini telah sia-sia. Pak Buat merasa sikap istiqomahnya belum membuahkan hasil. Dua kali sudah dia bersaing dalam pemilihan dengan kuwu yang menjabat sekarang.
Pak Buat pada pertarungan pertamanya harus mau menerima kekalahan telak dari kuwu petahana waktu itu. Kekalahan pertama masih bisa diterima dengan lapang dada, tapi kekandasannya yang kedua benar-benar telah menempatkan Pak Buat dalam kondisi terpuruk. Duduk termenung sembari ngopi di pagi hari menjadi caranya bersemedi sebelum berangkat kerja ke kantor kalurahan. Dia ingin meredakan gejolak hatinya dulu sebelum bertemu dengan atasannya yang juga mantan seterunya. Dia berusaha menjaga jiwanya tidak meronta saat bertemu dengan para penggede yang lain. Dia tidak ingin merusak citranya sebagai penggede yang lembah manah dan bisa menjaga sikap. Dia juga berusaha tidak merusak adat Jawa yang melarang mengumbar-umbar permasalahan di muka umum. Dia masih meyakini penyelesaian masalah melalui pertemuan belakang layar, tapi untuk persoalan kekalahan dalam pemilihan dia masih belum bisa legowo.
Bacaan istighfar menjadi cara bagi Pak Buat untuk menenangkan dirinya. Pak Buat berusaha selalu bertanya pada Gusti Pangeran mengenai bagaimana cara keluar dari gejolak hatinya. Pak Buat sebenarnya ingin sekali berusaha menerima kenyataan yang dihadapinya. Dia ingin memulai komunikasi dengan kuwu yang sekarang, tetapi belum kesampaian. Pak Buat masih terjerat dengan masa lalu yang belum bisa dilepaskannya. Pak Buat terus mencari-cari dan menimbang-nimbang bagaimana caranya melakukan islah dengan kuwu yang sekarang. Pak Buat sama sekali tidak ingin memutuskan tali silaturahmi dengan Pak Kuwu. Pak Buat ingin segera bersama-sama dengan Pak Kuwu bersinergi membangun kampung, namun bagaimana lagi kekalutan yang menerpa membuat semuanya hanya berhenti pada sekadar angan-angan. Memang niat baik sudah dapat dipandang sebagai hal terpuji, tetapi tanpa sebuah tindakan masalah tidak akan lantas terselesaikan.
Persoalan bertambah pelik disebabkan Pak Kuwu sendiri enggan menyambung silaturahmi dengan Pak Buat. Padahal, Pak Buat adalah salah satu bayan di desanya. Pak Kuwu bersikap acuh tak acuh dengan kegundahan hati Pak Buat. Pak Kuwu bahkan sama sekali tidak menyadari ada kerenggangan hubungan di antara keduanya. Pak Kuwu justru tetap mempertahankan persaingan di antara keduanya, meskipun pemilihan telah lama berlalu. Pak Kuwu selalu menduga-duga kalau Pak Buat akan menjadi saingannya kembali pada pemilihan periode selanjutnya. Perang urat syaraf tak terindahkan di antara keduanya.
Perang dingin merambah sampai ke kantor kalurahan. Pak Kuwu mengkondisikan kamituwo, jagabaya, carik, ulu-ulu, pamong desa dan bayan dusun lainnya untuk tidak terlalu membangun hubungan dekat dengan Pak Buat. Emban Cindhe Emban Ciladan. Pak Kuwu bahkan hanya memprioritaskan pembangunan infrastruktur memadai di wilayah dusun para penggede pendukungnya. Wilayah dusun Galarama tempat Pak Buat menjabat sebagai bayan tidak tersentuh pembangunan. Padahal, Pak Kuwu pada pemilihan yang lalu berjanji akan memperbaiki akses jalan di dusun Galarama. Kekalahan jumlah suara di dusun Galarama lah yang membuat Pak Kuwu enggan memperbaiki infrastruktur wilayah tersebut. Pak Kuwu merasa sakit hati ternyata kata-kata manisnya tidak mampu merayu warga dusun Galarama untuk memilih dia. Baru setelah munculnya gegeran di kantor kalurahan, Pak Kuwu memerintahkan anak buahnya untuk menyegerakan pembangunan jalan dusun Galarama.
Pak Buat tidak dapat berbuat banyak untuk mendorong pembangunan jalan dusun Galarama. Dia sendiri masih terjebak dalam kekalutan hatinya. Dia tidak mau turun tangan untuk menyelesaikan persoalan, karena merasa dikhianati oleh warga dusun Galarama. Pak Buat tidak mau mensyukuri bahwa sebenarnya dia menang telak dalam hal jumlah suara di dusun yang dipimpinnya. Kekalahan Pak Buat pada pemilihan yang telah lalu terjadi disebabkan permainan dari para penggede desa yang menyokong pemenangan Pak Kuwu. Para penggede desa telah dijanjikan berbagai keuntungan dan berbagai pundi-pundi dari kuwu yang sekarang menjabat. Salah satu sumber pundi-pundi yang dibagikan kepada penggede desa adalah cuan dari pengelembungan anggaran proyek pembangunan jalan dusun Galarama.
Saat para penggede desa mengadakan hajatan pun Pak Buat tak pernah diundang. Pak Buat benar-benar telah dikucilkan dari lingkaran penggede desa. Bu Rina, istri Pak Buat ingin tetap berusaha menyempatkan hadir ke hajatan para penggede desa. Bu Rina mengandalkan kabar angin untuk mendapatkan informasi mengenai hajatan yang dibuat oleh penggede desa. Bu Rina tidak ingin memutuskan tali silaturahmi dengan para penggede desa lainnya. Hubungan Bu Rina dengan istri para penggede desa sebenarnya tetap baik. Para istri penggede desa tetap bekerjasama dan harmonis dalam setiap kegiatan seperti senam pagi dan PKK. Perang dingin hanya terjadi di antara para suami.
Kebetulan Pak Kuwu akan mengelar hajatan pernikahan putranya dengan putri Pak Carik pada hari itu. Pak Kuwu kembali tidak mengundang Pak Buat dalam pagelaran perjodohan anaknya. Inisiatif juga sama sekali tidak muncul dari Pak Carik untuk mengundang Pak Buat dalam hajatan putrinya. Bu Rina sangat ingin sekali hadir pada pagelaran perjodohan anak Pak Kuwu dan Pak Carik. Istri Pak Carik lah yang meminta keluarga Pak Buat untuk turut hadir. Istri Pak Carik tidak memberitahu suaminya terlebih dahulu, kalau dia mengundang keluarga Pak Buat. Istri Pak Carik menginginkan pagelaran perjodohan putrinya menjadi momentum menyambung tali silaturahmi para penggede desa.
Para istri penggede desa sudah sejak lama sebenarnya merencanakan islah bagi para suami. Para istri melalui rasan-rasan berupaya sekuat tenaga mencari momentum yang tepat untuk menyatukan penggede desa. Para istri penggede desa sudah lama risih dengan masalah yang tak terselesaikan disebabkan persoalan tersebut sudah menjadi buah bibir warga desa. Para istri penggede desa tidak ingin suami-suaminya sebagai pemimpin mendapat cap tidak bisa menjadi teladan dalam menjaga keharmonisan dan rasa guyub rukun. Para istri penggede desa takut kabar angin yang cepat tersebar memengaruhi kepercayaan warga terhadap pemimpinnya. Para istri penggede desa tidak ingin gegeran yang terjadi di pendopo kalurahan beberapa waktu lalu kembali terulang. Kawula bisa saja berpikir bagaimana para penggede desa dapat menyelesaikan urusan penghidupan warga, kalau tidak bisa menyelesaikan permasalahan pelik di antara mereka sendiri. Pembayangan seperti itu yang ditakutkan oleh para istri penggede desa. Sayangnya, para suami sebagai pemimpin tidak menyadari kesalahan mereka dan justru terus merawat kebiasaan buruk.
Istri para penggede desa mendorong istri Bu Rina untuk membujuk suaminya, agar ingin datang ke pagelaran pernikahan anak Pak Kuwu dan Pak Carik. Bu Rina menyanggupi nasihat baik yang ditujukan kepadanya, dia tergerak untuk merayu suaminya untuk menyambung tali silaturahmi. Bu Rina sengaja mengatur siasat dan merangkai kata-kata untuk membujuk suaminya pagi itu, supaya mau hadir ke acara pernikahan anak Pak Kuwu. Saat Pak Buat tengah mematung seperti biasa di kursi tamu, istrinya tiba-tiba datang dan duduk untuk mengatakan sesuatu yang penting.
“Pak…… Mbok ya, jangan melamun terus kayak gitu terus. Setiap pagi kok, Bapak selalu seperti ini. Eling, Pak, sama Gusti Pangeran. Jangan seperti ini terus,” Bu Rina mencoba menasehati suaminya.
“Apa to, Bu. Aku baru dzikir kok malah dianggap sebagai tindakan yang sia-sia. Bagus, to, Bu ne, kalau ingat kepada Gusti Pangeran sejak pagi begini. Nanti waktu beraktivitas bisa plong dan hatinya ringan.”
“Ya…… dzikir itu bagus, Pak. Tapi ya, Bapak pagi-pagi jangan ngalamun gini. Enggak bagus, Pak. Nanti kalau ada setan lewat dan Bapak kesambet gimana? Kan aku juga yang repot.”
“Ah, setan ya malah takut to ya sama orang baru dzikir. Masak, mendekat ke Gusti Pangeran kok enggak oleh, lho, Bu ne, ni aneh. Udah, Bu, aku mau dzikir dulu ini. Biar khusyuk jangan diganggu.”
“Oalah, Pak…… apa ya tiap hari sampai besok nyawa sampeyan diambil sama Gusti Pangeran mau begini terus, Pak. Mbok udah, Pak yang legowo. Cuma kalah dari di pemilihan enggak usah dipikirkan terus. Itu kan udah setahun yang lalu. Nanti malah bisa jadi penyakit, Pak, takutnya kalau dijadikan beban pikiran terus-terusan.”
“Ya, gimana ya, Bu ne, Bapak itu selama ini udah kerja keras lho demi warga sini. Enggak kenal waktu ini mikirin warga dari dulu, tapi kok ya dua kali pemilihan kok ya kalah terus. Aku kecewa sama warga sini kok enggak bisa menangin aku. Apa jangan-jangan itu kuwu menang karena curang ya? Jangan-jangan dia bikin permainan di belakang?”
“Enggak baik, Pak, suuzan gitu. Bapak kan enggak punya bukti kalau Pak Kuwu menang di pemilihan karena curang. Mungkin belum rezekinya Bapak untuk pemilihan dua kali ini, Pak. Bapak fokus mengabdi secara istiqomah saja, Pak. Jangan mengharap imbalan apapun seperti dukungan untuk meraih jabatan yang lebih tinggi. Dilosno, ae, Pak. Yang lalu sudahlah. Kita sambut yang akan datang dengan lebih baik, Pak. Bapak fokus amanah sebagai bayan dusun ini aja. Kawula dusun sini tu cinta lho sama, Bapak. Buktinya pemilihan kemarin kan Pak Kuwu kalah suara di dusun ini, Pak.”
“Ah….. ya enggak bisa kaya ngono. Kawula dusun ini tu kalau memang cinta sama aku harusnya semangat mengkampanyekan prestasiku ke warga dusun lain. Enggak kayak begini, aku yang babak bundas gerak dhewe. Udah….. lah aku kecewa berat sama warga dusun sini. Begitu pula sama para penggede desa ini. Aku sekarang kerja tak niati untuk ngasih makan anak-istri aja. Enggak usah terlalu mikir tentang tanggungjawab dan harus berprestasi atau enggak? Toh, penggede lain juga pada begitu. Aku tahu itu penggede suka nyari pundi-pundi dari proyek-proyek desa, aku sebenarnya pengen buka masalahnya. Tapi, ya sudah lah kawula juga enggak peduli sama nasibku kok. Jadi, ya bodo amat lah…..” Pak Buat menunjukan kekesalan atas situasi di desanya.
“Ya….. jangan begitu, Pak. Kerja untuk rakyat harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Harus amanah. Jangan kerja sekadar kerja, Pak. Lebih bagus kalau berprestasi dan Bapak bikin terobosan untuk penyelesaian masalah, Pak. Jangan sampai kejadian lagi nanti, Pak, seperti kemarin kawula dusun sini langsung ngamuk ke kantor kalurahan. Kan enggak enak, Pak, kita dianggap sama penggede desa tidak bisa jaga keharmonisan masyarakat. Itu ada anggapan lho…. Bapak dianggap sudah tidak bisa ngemong kawula,” Bu Rina mengingatkan suaminya mengenai bahaya terus terjebak dalam kekalutan.
“Ah, ya biar saja. Itu para kawula ngamuk kan juga hak mereka. Itu para penggede bilang gitu ya biar kepentingan mereka tidak diganggu saja. Mereka tidak mau kalau kedudukannya diusik. Mereka kan maunya kawula tu ya nurut sama junjungannya. Sekarang biar para penggede itu tahu rasa. Biar mereka mengerti kalau apa yang mereka kerjakan tu berdampak ke warga. Masak mereka aja enggak peduli ke kawula, tapi kok cuma aku aja yang suruh gerak. Ogah lah……”
“Enggak enak, Pak, kalau waktu aku ngumpul sama istri para penggede, keluarga kita selalu jadi bahan perbincangan. Masak aku sebagai istri dianggap enggak bisa membujuk Bapak untuk bisa menenangkan masyarakat. Bapak jangan gitu lah, sebagai pemimpin itu harus jadi teladan, Pak.”
“Ah, Bu ne, enggak perlu risau dengan ocehan seperti itu. Biar kan, Bu. Ingat anjing menggonggong kafilah berlalu, Bu. Bapak juga udah capek kerja beneran berusaha memperjuangkan aspirasi warga dusun sini. Bapak tidak pernah didengar di setiap forum rembugan kebijakan desa. Para penggede itu bikin pertemuan cuma untuk stempel rencana yang sudah mereka susun sebenarnya, Bu. Itu daftar hadir dan berita acara selalu diklaim sebagai bukti partisipasi warga, Bu. Warga yang diundang ya yang punya kedudukan baik secara kekayaan maupun sosial di dusun masing-masing, Bu. Kawula alit mana pernah diberi undangan forum rembugan itu. Udah lah, Bu, aku mau berangkat ke kantor. Assalamualaikum…..” Pak Buat pamit kepada istrinya dan beranjak dari kursi tamu.
“Loh eeeee, Bapak mau kemana, Pak? Kok bilang mau ke kantor. Pak, bukannya hari ini kalurahan tutup? Itu Pak Carik sama Pak Kuwu kan baru punya hajatan. Anaknya Pak Carik sama Pak Kuwu kan menikah hari ini, Pak. Ayo… datang ke tempat Pak Carik. Pak,” Bu Rina mengingatkan dan mencegah suaminya untuk pergi.
“Hah kok ditutup-tutup barang lo? Ini para penggede gimana sih kok sibuk dengan urusannya sendiri. Duwe gawe kok waktu hari kerja gini. Duh….. enggak tahu adab, tak bertanggungjawab gini kok nyuruh aku untuk ngemong warga dusun sini dengan baik. Lha…. mereka aja malah utamakan kepentingan mereka sendiri kok….” Pak Buat semakin kesal dengan para penggede desa setelah mendengar kabar adanya hajatan Pak Carik di hari kerja.
“Hush, jangan gitu, Pak. Ayo, Pak, kita datang ke hajatan anaknya Pak Carik. Itung-itung sekalian Bapak menyambung tali silaturahmi dengan penggede yang lain. Kan jadi enak dan rasanya adem ayem, kalau Bapak terlihat akur dengan penggede lain di mata para kawula. Barangkali Bapak bisa islah dan semakin bisa jadi tauladan bagi masyarakat.”
“Ah, enggak mau. Enggak dikasih undangan kok datang. Udah enggak usah, Bu. Jangan melihat sesuatu itu cuma dari seremoninya saja, Bu. Terlihatnya sudah islah, tapi kalau di dalam hatinya masih pada belum bisa melapangkan ya susah, Bu ne.”
“Sudah, Pak, datang saja. Bapak yang memulai menyambung tali silaturahmi. Itu kan bagus, Pak. Bisa memperpanjang umur dan memperkuat persaudaraan sesama hamba-Nya.”
“Bu ne ki jangan ngeyel toh, udah dibilang enggak diberi undangan kok mau datang. Nanti kalau malah jadi buah bibir warga lagi gimana? Nanti dibilang…… Tuh, Pak Buat sama istrinya enggak dikasih undangan kok datang ke hajatan. Kan aku jadi semakin malu, Bu.”
“Kita itu diundang sama istrinya Pak Carik, Pak. Kami para istri ingin para suami ingin menyambung silaturahmi satu sama lain. Hubungan renggang seperti ini harus diakhiri, Pak. Enggak bisa terus-terusan begini. Kita tidak bisa hidup sendiri, Pak.”
“Loh…. istrinya yang ngundang, ya yang datang Bu ne aja. Pak Carik aja enggak undang aku kok.”
“Ya enggak gitu, Pak, kita berdua yang diundang.”
“Emangnya Bu Carik bilang ke suaminya kalau mau ngundang aku? Kalau bilang paling enggak bakal dikasih….”
“Memang beliau enggak izin ke suaminya, tapi ini kan demi hal baik, Pak, untuk menyambung tali silaturahmi.”
“Lho……. enggko sek, hal baik gimana? Bu Carik aja bikin keputusan tanpa dirembug dulu dengan suaminya. Enggak baik itu kalau istri bikin keputusan sendiri tanpa persetujuan suami. Setiap keputusan di dalam keluarga harus diputuskan bersama. Jangan secara sepihak, apalagi sembunyi-sembunyi gitu. Itu enggak benar, Bu. Enggak usah ditiru dan diikuti itu.”
“Pokoknya, Bapak harus mau menyambung silaturahmi dengan penggede yang lain. Aku udah enggak kuat, Pak, dengan itu gunjingan tentang hubungan para penggede yang dikira sudah renggang. Bagaimana pun jua, Bapak harus nurut sekali ini saja. Ini kan juga, demi kebaikan kita sebagai bagian dari para penggede, Pak.”
“Enggak ya enggak, udah dibilang enggak ada undangan kok. Udah lah aku mau nengokin kolam aja.”
“Pokoknya Bapak harus nurut, ayo….. berangkat, Pak,” Bu Rina meraih tangan Pak Buat dan memaksanya untuk mau menghadiri hajatan pernikahan anak Pak Carik dengan Pak Kuwu.
Pak Buat tetap belum sudi untuk melapangkan hatinya. Dia belum siap berdamai dengan masalah yang dihadapinya. Dia rela menuruti kemauan istrinya untuk datang ke hajatan pernikahan putri Pak Carik, karena tidak mau mengecewakannya. Pak Buat tidak ingin hubungan dengan istrinya juga renggang. Saat hadir di pagelaran, sebisa mungkin muka masam tidak dia tunjukan. Dia berusaha memberikan senyuman manis kepada keluarga Pak Carik dan Pak Kuwu. Pak Buat berusaha membaur dalam acara pernikahan putri Pak Carik. Bahkan panitia acara sengaja memberi tempat di bagian depan untuk Pak Buat bersama dengan para penggede desa. Pak Buat langsung bisa menatap Pak Carik dan Pak Kuwu di depan mukanya. Pak Buat berusaha menunjukan tatapan bersahabat kepada kedua orang yang memiliki hajat. Pak Buat tidak ingin membuat ulah, sehingga istrinya menjadi malu. Sebisa mungkin Pak Buat bersandiwara, seolah-olah dia sudah rujuk dengan para penggede yang lain. Para kawula dan penggede disapa dan disalami satu per satu. Pak Buat ingin memunculkan kesan bahwa dia telah memulai menyambung tali silaturahmi dengan para penggede desa.
Pak Buat berupaya memulai pembicaraan dengan kamituwo dan jagabaya yang duduk di sampingnya. Dia berusaha memancing perbincangan dengan basa-basi dan senyuman, agar kedua penggede desa kembali dekat dengan Pak Buat. Perbincangan justru berlangsung dengan kaku. Kamituwo dan jagabaya hanya mengiyakan setiap pernyataan dari Pak Buat. Muka kedua penggede desa terlalu lempeng dan tatapannya pun terlihat kecut. Kedua penggede desa merasa canggung dengan perbincangan dengan Pak Buat di acara hajatan itu. Maklum selama ini mereka hanya saling berbincang di forum rembugan desa, itupun semua yang dibicarakan sudah diberi arahan terlebih dahulu oleh Pak Kuwu. Para penggede jarang ngobrol kesana kemari pada acara informal seperti pada hajatan pernikahan anak Pak Carik. Pak Buat sudah memberanikan diri untuk bermain drama, seolah-olah dia akrab dengan kamituwo dan jagabaya.
Pak Kuwu dan Pak Carik melihat perbincangan ketiga penggede desa dengan rasa heran dari atas panggung. Pak Carik dan Pak Kuwu bertanya-tanya bagaimana mungkin Pak Buat bisa akrab dengan kamituwo dan jagabaya, padahal selama ini mereka menjaga jarak satu sama lain. Bagaimana mungkin dalam sekejap mata, para penggede terlihat akur. Pak Carik sampai geleng-geleng dan dalam hatinya bertanya mengapa Pak Buat dapat hadir di acara pernikahan putrinya. Pak Carik tidak merasa mengundang Pak Buat dalam acara itu. Pak Carik menjadi takut kalau nanti Pak Kuwu memarahinya selepas acara. Pak Kuwu juga masih memendam rivalitasnya dengan Pak Buat dan sama sekali tidak ada niat untuk mengakhiri persaingan itu.
Momentum foto bersama pengantin telah tiba. Giliran Pak Buat dan Bu Rina yang naik ke atas panggung. Pak Buat berdiri di samping Pak Kuwu, sedangkan Bu Rina berada di samping istri Pak Carik. Hati Pak Buat jedag-jedug dengan kesempatan yang sangat langka itu. Jarang sekali dia bisa berada dekat dengan Pak Kuwu. Pak Buat sampai tidak berani menatap mata Pak Kuwu, karena masih menahan malu dan kekalutan. Pak Kuwu pun sebenarnya merasa risih dengan keberadaan Pak Buat di sampingnya. Sesi foto bersama pengantin telah dilakukan.
Pak Buat dan Bu Rina lalu bersalaman dengan pengantin dan keluarganya. Pak Kuwu menyalami Pak Buat dengan perasaan dongkol. Kata orang, saling berjabat tangan akan menggugurkan kesalahan masing-masing. Akan tetapi, di dalam sanubarinya baik Pak Buat dan Pak Kuwu masih ngerundel. Masing-masing masih belum bisa menghentikan rivalitasnya. Saat bersalaman dengan Pak Carik, perasaan Pak Buat sedikit lega. Perasaan bermasalah dan rasa malu masih muncul dalam nurani Pak Buat, karena dia datang ke hajatan tanpa diberi undangan terlebih dahulu. Bu Rina dan Pak Buat lalu pamit pulang kepada kedua pengantin. Bu Rina sudah merasa plong. Bu Rina mengira dirinya telah berhasil menjalankan amanat dari istri para penggede desa untuk menjadikan acara pernikahan putri Pak Carik sebagai momentum menyambung silaturahmi. Bu Rina sama sekali tidak mengetahui bahwa yang dilakukan suaminya hanya pura-pura saja. Beginilah kehidupan yang bagaikan panggung sandiwara. (*)
Anggalih Bayu Muh Kamim. Lahir di Sleman pada 14 Juni 1997. Besar dari lingkungan yang sedang mengalami perubahan agraria secara massif membuatnya sering menulis mengenai masalah petani, agraria, lingkungan, ekonomi sumber daya alam dalam berbagai esai, artikel ilmiah, karya tulis ilmiah maupun karya sastra sebagai wujud refleksi atas apa yang terjadi di sekitarnya. Kini sedang menikmati masa-masa menjadi penulis independen.