Site icon TAJDID.ID

Mitomaniak

Ilustrasi Mitomaniak. (foto: pinterest).

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Setiap kali membaca dan mendengar pidato politik dari para politisi, saya jadi ngeri sekali. Karena selama bertahun-tahun saya mendengar apa yang terdengar oleh manusia. Itu merupakan  kata-kata yang melulu sama dan menceritakan kebohongan yang sama. {Albert Camus, Filsuf eksistensialis Prancis}

Apa yang diungkapkan oleh Camus di atas merupakan sebuah penegasan, betapa sesungguhnya  dunia politik itu sangat identik dengan kebohongan. Artinya, stigma kebohongan sudah sedemikian melekat karat dengan dunia politik. Dan para politisi yang berkecimpung di dalamnya ditengarai tidak lain adalah orang-orang yang sangat rentan dan akrab dengan perilaku berbohong.

Dalam bahasa yang lebih eufemistik, politik sering juga didefinisikan sebagai “seni berbohong”. Sebagai implikasinya, kemudian sering kali kejujuran dan kepercayaan dalam politik justru  dianggap sebagai sebuah bentuk kenaifan. Sebaliknya pengkhianatan pun kerap pula dipandang sebagai sesuatu yang lazim dan lumrah.

Tidak sesuai ucapan dengan perbuatan, terbiasa umbar sekaligus ingkar janji, suka ngeles, gemar manipulasi dan doyan korupsi adalah sederet perilaku yang galib dilakukan politisi. Dan itu semua tidak lain merupakan varian bentuk modus berbohong.

Penulis Patrick Lencioni pernah membeberkan  bagaimana modus politisi itu berbohong. Menurutnya, politisi cenderung memilih kata-kata dan tindakannya berdasarkan bagaimana dia ingin orang lain bereaksi dan bukan berdasarkan apa yang benar-benar mereka pikirkan.

Hal senada juga pernah diungkap oleh penulis lain, Jarod Kintz. Dia mengatakan, politik adalah semua yang berkenaan tentang upaya politisi untuk menunjukkan bahwah dia memiliki integritas dan menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya dia benar- benar tidak punya.

Bahkan, dalam bentuk yang lebih eksesif, Nikita Khrushchev menuding politisi dimanapun sama saja, mereka berani berjanji membangun jembatan meski tak ada sungai di tempat itu.

Bersambung ke Hal 2

Politisi Mitomaniak

Memang, tak dapat dipungkiri, dalam budaya politik yang pragmatistik boleh jadi sikap dan prilaku jujur bukanlah pilihan yang tepat dan menguntungkan. Karenanya, sulit untuk mengalokasikan tempat yang benar-benar “bersih” untuk mengakomodir nilai-nilai “kejujuran” dalam seluk-beluk kehidupan politik yang kotor, sarat kecurangan dan penuh kepalsuan.

Demikianlah. Dalam realitas kehidupan politik (demokrasi) yang banal tentunya  membuat kecenderungan perilaku bohong diantara pelaku politik semakin mendapat ruang, sehingga berpotensi kian merajalela. Bahkan, bukan tidak mungkin suatu saat tradisi politik bohong  bakal menjelma jadi  bentuk kehidupan (forms of life), yakni sebuah realitas kehidupan yang lambat laun akhirnya akan dimaklumi dan ditolerir.

Jika perilaku berbohong sudah sedemikian mendarah daging dan menjadi gaya hidup bagi kebanyakan para politisi negeri ini, maka pantas kiranya disinyalir mereka telah mengindap “mitomaniak” (mythomaniac), yakni semacam  penyakit berbohong kronis.

Adalah seorang psikiater bernama Ferdinand Dupre (1905) yang pertama kali memperkenalkan istilah mythomaniac ini. Menurut Dupre, mythomaniac adalah sebuah penyakit psikis, dimana seseorang memiliki kecenderungan berbohong yang begitu parah dan sudah menjadi tabiat.

Dalam melakukan kebohongan demi kebohongan, politisi mitomaniak cenderung tidak mau tahu bahwa apakah orang lain akan merasa terganggu dan dirugikan oleh kebohongannya. Sebab yang terpenting baginya adalah dengan kebohongannya dia kemudian bisa mendapat justifikasi  terhadap apa yang ingin ia wujudkan demi meraih tujuan dan memenangkan kepentingannya.

Politisi  mitomaniak  juga terbiasa medramatisir dan merekayasa cerita mereka sepanjang waktu ketika ditanya tentang ikhwal tertentu agar orang lain tetap percaya. Dan bukan hal yang tabu, bahkan dianggap  lazim jika ucapan mereka yang  sekarang bertentangan dengan apa yang mereka katakan sebelumnya dan bertolak belakang dengan apa yang akan dikatakannya nanti. Itulah sebabnya  mereka dikenal sebagai ahlinya ngeles, berdebat, berpolemik dan mencari alibi untuk membenarkan dan memenangkan kepentingannya.

Ciri lain politisi mitomaniak adalah memiliki ekspresi yang seolah-olah  tanpa dosa  (innosence). Maksudnya, saat berbohong  sama sekali ia tidak terlihat kikuk. Seorang politisi  mitomania juga biasanya memiliki pesona yang bisa menghipnotis dan memanipulasi orang lain. Mereka bukan hanya jago beradu siasat, tapi juga mahir bersilat lidah untuk mengelabui orang lain.

Dan parahnya, kendati kerap ketahuan berbohong, mereka tidak akan sertamerta mengakuinya. Sebisanya mereka akan berupaya untuk memungkirinya, seraya kembali merancang alibi dengan argumen yang meyakinkan untuk menutupi kebohongannya.  Tujuan jelas, yakni guna memulihkan kembali keparcayaan publik kepada mereka.

Bersambung ke Hal 3

Rakyat Selalu jadi Korban

Begitulah. Potret realitas kehidupan politik harian kita tampak begitu kelabu, diselimuti oleh kabut kemunafikan dan kepalsuan. Yang dipertontonkan di panggung depan dunia politik kita didominasi oleh adegan-adegan banal yang sarat pencitraan. Di hadapan para penonton (baca:rakyat), para politisi itu berlomba tampil untuk menjadi yang paling jago berbohong, paling licik dan paling picik.

Untuk menutupi dan menyempurnakan kebohongannya, mereka terbiasa memakai aneka rupa topeng yang berkarakter protogonis, seperti topeng moralis, relijius, kedermawan, kesederhanaan dan sebagainya. Pokoknya,  mereka tidak ubahnya seperti kumpulan  “iblis” bertopeng “malaikat”.

Lantas, apa jadinya jika dunia politik negeri ini terus diselimuti oleh kabut kebohongan ? Tentunya sulit untuk membungun habitus “politik yang otentik”, seperti yang diidealkan oleh Hannah Arendt. Bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah, jika  mitomaniak berkembang secara pendemik dan sporadik di dalam dunia perpolitikan bangsa ini, maka bukan cuma sosok politisi secara individual saja yang akan terjangkiti, tapi secara akumulatif bukan tidak mungkin akan melahirkan “parpol mitomaniak”. Bahkan dalam bentuk yang lebih besar dapat membentuk sebuah “rezim mitomaniak”.

Ketika diantara para politisi mitomaniak saling membohongi dan mengkhianati tentunya itu sangat bisa dimaklumi, sebab itu sudah menjadi hukum alam; bahwa tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Namun  yang sangat disayangkan adalah selama ini  justru rakyat yang sering jadi “mangsa”  dari perilaku  bohong para politisi mitomaniak tersebut. Faktanya memang rakyatlah yang melulu jadi bulan-bulanan dari praktek pembohongan massif dan sistematis dari para politisi mitomaniak.

Sebenarnya, rakyat bukannya tidak pernah sadar telah jadi korban pembohongan. Tapi anehnya rakyat sendiri justru tidak pernah kapok meskipun berkali-kali dibohongi. Akibatnya, meskipun terus dimaki dan dikutuk karena perilaku bohongnya,  politisi mitomaniak tidak pernah berhenti mekancarkan aksinya. Maka pantaslah kiranya Charles de Gaulle, seorang pemimpin militer dan negarawan Perancis pernah mengatakan; bahwa sesungguhnya politisi itu  tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya.

Tak salah memang jika kita menaruh kepercayaan dan harapan pada politisi. Seyogianya kepercayaan itu sekedarnya saja, jangan terlalu berlebihan, apalagi  sampai bersikap taqlid atau terlalu  fanatik. Karena kalau kemudian masih saja ada yang bersikap permisif, tentunya itu sebuah kenaifan, dan cepat atau lambat dapat dipastikan akan berbuah kekecewaan.

Namun meskipun begitu, bukan berarti  fenomena massif kebohongan ini lantas dibiarkan begitu saja. Setiap bentuk kebohongan harus mesti dipertanyakan dan dilawan. Resistensi publik terhadap politik mitomania  tentunya harus terus dihidupkan dan digalakkan.

Biar tidak selalu jadi korban pembohongan, maka rakyat harus mampu bersikap kritis dan cerdas menyiasati kelihaian berbohong para politisi mitomaniak. Caranya, mungkin tepat bila kita menerapkan kiat sederhana antisipasi ala Khalil Gibran. Dia mengatakan; “Jika kamu berhadapan dengan orang yang licik, maka jangan dengarkan apa yang dikatakannya, tapi dengarkan apa yang tidak dikatakannya”. (*)


 

 

Exit mobile version