Site icon TAJDID.ID

Peneliti Senior MK: Referendum adalah Metode Terbaik Amendemen Konstitusi

TAJDID.ID~Medan || Studi perbandingan konstitusi antara negara di dunia adalah salah satu perspektif yang kurang digali oleh para akademisi dan praktisi hukum di Indonesia.

Demikian diungkapkan Peneliti Senior Mahkamah Konstitusi, Pan Mohamad Faiz SH MCL PhD, saat menjadi narasumber pada acara “Ngaji Konstitusi” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi (PUSKASI) UMSU dan Asosiasi Pengajar HTN-HAN Sumatera Utara dengan tema “Amendemen Konstitusi dan perbandingan di Beberapa Negara”, Jum’at (25/2) melalui zoom meeting.

“Itu adalah satu sisi yang bisa membawa kebaruan. Kalau untuk Indonesia mungkin sudah banyak yang mengkaji, tapi kalau coba kita komperasi dengan negara lain ternyata banyak sekali hal-hal lain yang belum dibahas atau baru sekilas dibahas dalam literatur-literatur di Indonesia,” ujar pengajar HTN Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini.

Urgensi Amendemen Konstitusi

Dalam paparannya, Pan Mohamad Faiz  menjelaskan konstitusi negara adalah hukum tertinggi dan paling penting di dalam suatu negara (supreme law of the land). Konstitusi adalah sumber bagi seluruh undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya di suatu negara.

“Maka dalam konteks supremasi konstitusi (constitutional supremacy), segala keputusan dan tindakan apapun harus sesuai dengan konstitusi. Dan perlu diketahui, konstitusi bersifat mengikat bagi semua organ negara beserta warga negaranya,” tegasnya.

Berita terkait: PUSKASI dan Fakultas Hukum UMSU Gelar Acara “Ngaji Konstitusi”

Kemudian lebih lanjut ia menjelaskan alasan mengapa amendemen konstitusi itu perlu dilakukan. Mengutip pendapat Thomas Jefferson, ia mengatakan, bahwa konstitusi harus diamendemen oleh setiap generasi untuk memastikan bahwa masa lalu yang telah usang tidak akan menghambat kemajuan dan perkembangan generasi masa kini yang masih hidup.

Dijelaskannya, konstitusi adalah aturan dasar yang menentukan komposisi dan fungsi dari organ-organ pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam suatu negara, serta mengatur hubungan antara individu warga negara dengan negaranya.  Sedangkan amendemen adalah perubahan melalui suatu prosedur yang telah ditentukan agar menjadi lebih baik

“Jadi dapat dipahami, amandemen konstitusi adalah perubahan konstitusi berdasarkan prosedur yang telah ditentukan agar diperoleh konstitusi yang lebih baik,” tukasnya.

Menurutnya, yang paling penting dipahami ketika bicara soal amendemen konstitusi adalah tentang klausul amaendemen (amendment clause) yang dirumuskan dengan baik akan memungkinkan generasi mendatang mengadaptasi konstitusi dengan cara-cara yang konstitusional sesuai kebutuhan dan filosifi kontemporer negara itu.

“Bahkan saking pentingnya maka kalusul itu disebut sebagai  the most important in amendments constitution, karena tanpa itu kita tidak tahu bagaiman cara mengubahnya,” jelasnya. (Bersambung ke hal 2)

Amandemen Konstitusi di Indonesia

Di Indonesia, kata Pan Mohamad Faiz, klausul amendemen Konstitusi UUD 1945 hanya dianggap sebagai dekorasi konstitusi. Rezim Orde Baru bertekat untuk membenarkan dan mempertahankan UUD 1945 tanpa amendemen.

“Artinya UUD 1945 itu harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kalaupun mau diamendemen, proses mekanismenya dibuat sangat rigid dan sulit mealalui pembentukan UU No 5 Tahun 1985 tentang Referendum.

“Namun permasalahannya, mekanisme ini melebihi dari apa yang ditentukan oleh klausul mandemen dalam UUD 1945 itu sendiri. Pada hal dalam UUD 1945 tidak ada soal referendum,” tegas Pan Mohamad Faiz.

Makanya, kata Pan Mohamad Faiz, tidak pernah selama kekuasaan rezim Orba terjadi perubahan UUD 1945, hingga sampai suatu titik ditemukannya suatu constitutional momentum atau political momentum pada tahun 1998 yg ditandai dengan lengsernya Soeharto dan runtuhnya rezim Orba.

Diketahui, UUD 1945 mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1949 dan sudah diamandemen sebanyak empat kali, dari tahun 1999 hingga 2002. Pan Mohamad Faiz mengungkapkan, hasil amendemen UUD 1945 yang sudah dilakukan empat kali itu hasilnya memiliki sejumlah kelemahan.

Pertama, sistematika UUD 1945 yang tidak teratur. ada pasal-pasal yang mang masih sama dibuat sampai dua kali.

“Misalnya soal kebebasan berserikat dan seterusnya,” katanya.

Kedua, para sarjana banyak menilai proses amendemen konstitusi sangat kental dipengaruhi oleh identitas dan kepentingan partai-partai politik

“Lebih-lebih sekarang ini nuansa kekentalan kepentingan politik makin kuat. Kalau dulu masih ada yang namanya perwakilan atau fungsional representatif yang berasal dari non parpol,” ungkapnya.

Ketiga, sistem kamar parlemen yang tidak jelas. apakan kita mau menggunakan bikameral, trikameral atau unikameral.

“Kalaupun bikameral, bagaimana dengan kewenangan DPD? Kenapa kewengan DPD begitu terbatas,” sebutnya.

“Belum lama ini saya sempat berdiskusi dengan salahsatu anggota DPD. Ia mengaku tidak memiliki fungsi apa-apa jadi anggota DPD. Dia mengataka; apakah tidak sebaiknya DPD ini dijadikan saja satu fraksi di DPR biar punya kekuatan terlinat dalam proses legislasi?,” imbuhnya.

Keempat, keabsurdan sistem pemerintahan.

“Semua kelemahan itu biasanya baru diketahui beberapa tahun setelah dilakukan amendemen,” katanya.

Dari realitas ini, lanjut Pan Mohamad Faiz,  kemudian muncul 4 kelompok yang merespon amendemen UUD NRI 1945.

Pertama, kelompok yang menginginkan kembali ke UUD 1945 yang asli.

“Sebenarnya tidak cocok disebut Undang-Undang Dasar yang asali, karena mana ada UUDD yang tidak asli. Tapi mungkin mungkin lebih pas disebut dengan UUD yang diputuskan pada tahun 1945” katanya.

Pan Mohamad Faiz mengungkapkan beberapa hal yang menjadi alasan kelompok yang menginginkan kembali ke UUD 45 yang asli, diantaranya: (1) hasil amendemen konstitusi dinilai menghalangi sistem negara dan pemerintahan, (2) ketidakjelasan kekuasaan yudikatif menyebabkan lembaga eksekutif menjadi lemah dan hak preorogratif presiden menjadi berkurang, (3)telah keluar dari nilai-nilai perekonomian nasional yang didasarkan pada pasal 33 UUD 45 dan (4) sistem politik menimbulkan kekacauan dan tindakan koruptif oleh ppara pemilih politik, baik di pusat maupun daerah, akibat model pemilihan langsung.

Kedua, kelompok yang menganggap UUD 1945 tidak perlu diubah saat ini. “Menurut kelompok ini, Dilaksanakan saja terlebih dahulu dengan baik dan benar,  karena ini tergantung orangnya bukan sistemnya,” katanya.

Ketiga, kelompok yang menilai UUD 1945 perlu diubah setelah dilaksanaaknnya Pemilu.

“Menurut kelompok ini, partai politik harus jujur kalau memang mau mengubah soal pemilu, apa yang diubah pada pasal tersebut dan kasih tau sama rakyat,” katanya

Keempat, kelompok yang berpendapat UUD 1945  harus segera diubah kapan saja diperlukan.

 

Kembali ke UUD 1945 Asli Sebuah Kemunduran.

Pan Mohamad Faiz kemudian menyoroti soal keinginan kembali ke UUD 1945 asli. Menurutnya, kalau ada yang mengingikan kembali kepada UUD yang sama persis dengan UUD 1945, maka sepertinya perlu mencermati pesan Ir Soekarno yang disampaikannya pada Rapat PPKI 18 Agustus 1945;

“Tuan-tuan semua tentu mengerti, bahwa Undang-undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang Undang Dasar yang lebih sempurna,”

“Tuan-tuan tentu mengerti bahwa ini adalah sekedar Undang Undang Dasar Sementar, Undang-Undang Dasar kilat, bahwa bahwa barangkali boleh dikatakan pula inilah revolutie grondwet. Nanti kita akan membuat Undang Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan, agar kita ini harus bisa selesai dengan Undang Undang Dasar itu.”

“Soekarno sudah ngomong demikian pada waktu itu. Dan sekarang kita sudah berada jauh dari masa itu, lantas kemudian jika banyak yang memaksakan kembali ke UUD 19 45 yang asli, maka itu sebuah kemunduran.

Ia membeberkan beberapa implikasi kehilangan ketentuan jika kembali ke UUD 1945 asli, seperti; (1) pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua kali, (2) pembentukan DPD, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, (3) Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tidak lagi dipilih oleh MPR, (4) Pelaksanan pemilu bangi anggota DPR dan DPRD secara langsung, bebas dan rahasia, dan (5) penambahan berbagai pasal baru tentang jaminan dan perlindungan atas hak asai manusia.

“Jadi, kalau ada yang ingin mengubah dan memperbaiki itu akan lebih dapat diterima, menurut saya,” tegasnya. (Bersambung ke hal 3)

Wacana Amendemen Kelima

Seperti diketahui, belakangan wacana amandemen UUD 1945 ke 5 kembali jadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Wacan amaendemen ke 5 tersebut disampaikan oleh ketua MPR RI Bambang Soesatyo disidang tahunan MPR RI 2021.

Pan Mohamad Faiz menyebutkan, dari aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, setidaknya ada beberapa poin yang jadi alasan mengapa wacana amendemen ke 5 penting dilakukan, diantara;

Bentuk sistematika, koherensi dan konsistensi UUD 1945 (Pasal demi pasal)

  1. Kejelasan struktur dan wewenang MPR terkait GBHN/PPHN (Pasal 2 dan 3).
  2. Masa jabatan Presiden dan penguatan Sistem Presidensial (pasal 7, 11 dan pasal 13 serta pasal 14)
  3. Pemilu, Pilkad dan bentuk institusipemerintah (Pasal 18 dan Pasal 22E)
  4. Peran dan kewenangan DPD (Pasal 22D)
  5. Kekuasaan Kehakiman terkait kewenangan KY dan MK (Pasal 24B dan Pasal 24 C)
  6. 20% APBN dan APBD terkait dana alokasi pendidikan (Pasal 31)
  7. Penguasaan SDA yang dimiliki bukan oleh negara (Pasal 33)
  8. Konsep negara kesejahteraan (Psal 34)
  9. Keberadaan komisi independen dan badan-badan negara (belum diatur)

Soal Unamendable Provisions

Dia juga menyinggung soal klausul atau ketentuan yang tidak dapat diubah di dalam konstitusi (unamendable provisions, eternal provisions atau immutable principle).

Diungkapkannya, dari laporan riset diketahui 76 dar 103 negara (53 %) memiliki unamendable provisions (1989-2013).

“unamendable provisions berkaitan dengan constitutional identity,” jelasnya.

Mengutip Dainius Zalimas, ia menjelaskan ada 2 yang berhubungan dengan unamendable provisions,  yakni; (1) Nilai universal: demokrasi, HAM dan negara hukum, dan (2) partikularistik: federalisme, peran agama di masyarakat dan pemisahan kekuasan.

“Sementara menurut Biljana Kostadinov, sifat unamendable provisions ada dua macam, yakni; Pertama, bersifat psikologis dan sosiologis yang berkaitan dengan identitas nasional suatu negara dan nilai-nilai kolektif yang menyatukan suatu bangsa atau negara. Dan kedua bersifat legal, yakni berkaitan dengan prinsip-prinsip ketatanegaraan yang bersifat pokok, namun bukan menentukan mengenai identitas bangsa atau budaya, seperti struktur fundamental dalam konstitusi,” sebutnya.

 

Referendum: Metode Terbaik Amendemen Konstitusi

Terakhir,  setelah melakukan studi komperasi di pelbagai negara, maka menurutnya pengalaman dan praktik terbaik terkait amendemen konstitusi adalah referendum.

Dijelaskannya, metode referendum ini pun ada dua macam. Pertama, dari pengalam Jepang dan Korea, dimana referendum menjadi salahsatu pilihan terbaik sebagai metode untuk mengubah konstitusi, karena melibatkan rakyat secara langsung untuk memutuskan masa depan negara bagi rakyatnya sendiri pada sat itu.

“Kemudian kedua, belajar dari pengalan India dengan beberapa modifikasinya, metode referendum dapat dibatasi dengan penerapan hanya pada ketentuan yang diakui sebagai fitur-fitur dasar (basic titures) dari konstitusi Indonesia. Misalnya mengenai bentuk negara kesatuan dan berbentuk republik,” tutupnya. (*)

 

Exit mobile version