Site icon TAJDID.ID

Tujuh Perempuan Tangguh di Kota Naga

Momen Kebersamaan Tim Pejuang Muda Kabupaten Tapanuli Tengah dengan Kepala Dinas Sosial, Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Koordiantor Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Oleh: Hanifa Chairunnisa

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU. Peserta MBKM dari Program Pejuang Muda Kemensos

Ini cerita pengalaman saya sewaktu di Aceh Selatan dalam mengikuti Program Kampus Merdeka bernama Pejuang Muda. Kisah sederhana hasil berdinamika selama 56 hari saat merantau ke kabupaten dekat perbatasan Provinsi Aceh. Kalau dari Kota Banda Aceh, letaknya sebelum Kota Subussalam dan setelah Kabupaten Aceh Barat Daya. Benar-benar letak yang serba tanggung.

Saya sendiri yang memutuskan untuk berada di Aceh Selatan. Karena begini, saat ditempatkan pertama kali oleh Pejuang Muda sebenarnya diutus ke Nias Barat. Salah satu bagian terpencil dan sulit dijamah pengunjung luar di Pulau Nias. Secara pribadi, hal jni membuat semangat karena merasa tidak pernah menyebrang ke bagian paling barat di Provinsi Sumatera Utara. Ditambah lagi lokasi yang eksotis dengan pantai yang indah.

Namun, orang sekeliling saya tidak percaya kalau akan mampu hidup di sana. Selain itu, seluruh anggota tim di lenempatan yang sama telah mengundurkan diri seluruhnya hingga tinggal saya dan satu orang laki-laki saja. Dengan hal demikian, saya sudah akan menyerah dan sangat menyayangkan tidak bisa mengikuti program yang sudah saya perjuangkan untuk lulus.

Alhamdulillah ternyata di penghujung waktu daftar ulang ada kebijakan baru yang mengizinkan bertukar tempat. Dengan seluruh perjuangan mencari orang yang mau bertukar, saya sudah puas dengan mendapatkan Aceh Selatan.

Baca juga:

Pernah saya mengunjungi kabupaten ini enam tahun lalu saat masih berusia 14 tahun. Saya ingat ayah saya begitu merasa penat membawa mobil sampai ke Tapak Tuan, pusat Kabupaten Aceh Selatan. Kata Ayah, “Tapak Tuan ini jauh dari Kota Banda Aceh dan dari Kota Medan, makanya orang kalau mau wisata ke Aceh Selatan banyak pertimbangannya.” Memang, Aceh Selatan tidak sering jadi pembicaraan orang untuk menjadi pilihan ketika berlibur. Padahal tempat rekreasi cukup banyak di Aceh Selatan, apalagi keindahan laut dan gunung. Aceh Selatan masih cenderung alami tanpa eksploitasi berlebihan pada topografi wilayahnya. Walaupun di pinggir lautan, gunung-gunung masih bisa disaksikan mengelilingi Tapak Tuan bahkan di tempat-tempat tinggal masyarakat masih seperti perbukitan yang tidak datar.

Teman-teman saya di Pejuang Muda dari wilayah Aceh juga banyak bercerita kalau mereka sebenarnya enggan ke Aceh Selatan. Karena sangat jauh dari tempat tinggal mereka. Ada yang dari Lhokseumawe dan Aceh Tengah atau Takengon. Tidak berbeda dengan saya sendiri, mereka harus menempuh perjalanan sekitar 10 jam dari tempat tinggal mereka. Di kelompok Pejuang Muda Aceh Selatan seluruhnya adalah perempuan, maka banyak dari kami yang punya masalah serupa yaitu lokasi jauh dari tempat tinggal dan khawatir ada masalah besar karena mereka juga perempuan. Ada yang bercerita kalau orang tua awalnya tidak mengizinkan. Namun, kami semua juga sama-sama tetap lanjut berjuang pada akhirnya.

Bersambung ke hal 2

Lepas cerita tentang awal kedatangan. Ketika sampai di Tapak Tuan, kami harus berkunjung ke Dinas Sosial Aceh Selatan yang berada di Tapak Tuan. Saya dan seorang teman dari Lubuk Pakam, berfoto di saat hujan deras. Ya, ketika sampai ti Tapak Tuan kami disambut hujan yang tidak tanggung derasnya. Bahkan kami berfoto menggunakan payung. Kami harus mengambil foto sebagai bukti kedatangan ke Aceh Selatan. Dari tujuh anggota, ada empat orang yang berasal luar Aceh Selatan. Setelah saya dan teman datang dari Medan, dua orang teman lainnya baru tiba di lokasi.

Di minggu pertama kami bertugas, kami hanya bolak-balik ke kantor dinas sosial. Karena belum ada kejelasan mengenai pembagian tugas atau daerah yang menjadi lokasi pengabdian kami. Kami banyak menghali ilmu di kantor dinas sosial dan menanyakan permasalahan sosial di Aceh Selatan kepada para kepala bidang di kantor itu. Ada juga dilakukan berbagai rapat atau pertemuan dengan para pendamping PKH seluruh Aceh Selatan. Banyak ditemukan dinamika. Para pendamping PKH ini menganggap kalau kami mengambil tugas mereka. Sehingga ada kesalahpahaman antara kami.

Namun akhirnya kami semua sepakat kalau Pejuang Muda hanyalah mahasiswa yang menjalankan tugas kuliah. Sebagai tujuan praktik dan menggali ilmu. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Kami juga meminta bantuan berupa arahan dari setiap pendamping PKH kecamatan.

Setelah sekitar sepuluh hari menunggu akhirnya dibagikan lokasi kecamatan kami harus mengabdi. Tugas yang kami emban adalah mendatangi rumah-rumah warga penerima bantuan soial untuk melakukan validasi data kelayakan penerima. Kami ditugaskan di Kecamatan Bakongan dan Bakongan Timur pada awalnya. Kami melaksanakan tugas selama tiga belas hari. Karena masih dalam tahap penyesuaian, kami agak lama dalam melakukan survei. Apalagi bagi saya yang seorang pendatang dari provinsi yang berbeda tidak paham sama sekali bahasa aceh. Setelah tugas di dua kecamatan selesai juga ada penambahan data. Kami harus bertugas di Kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Timur, dan Kluet Tengah.

Baca juga:

Di Aceh Selatan, daerahnya masih alami dan banyak pepohonan. Lautan juga terbentang luas. Saya sebagai pendatang dari Kota Medan yang padat dan banyak polusi merasa lega dan nyaman. Walau ada beberapa hal yang saya rindukan dari Medan dan membuat saya ingin pulang selama di Aceh Selatan, tapi sebenarnya secara umum saya merasakan kenyamanan. Setiap pulang dari tugas di jam lima sore, kami melewati pinggir pantai. Banyak menyaksikan matahari terbenam. Pemandangan seperti ini kalau di Medan untuk mencarinya harus dilakukan usaha besar. Namun ketika di Aceh Selatan, saya bisa menyaksikannya dengan mudah karena selalu melintasi pinggir pantai di sore hari. Sangat membuat pikiran tenang setelah penat seharian melakukan tugas.

Selain laut, kami juga harus bertugas di daerah pengunungan. Berada di daerha pertanian yang banyak sawah setelah bertugas di daerah nelayan. Jadi kami benar-benar merasakan bagaimana perbedaan kehidupan antara daerah yang berbeda lingkungan itu. Kami juga pergi ke daerah pelosok di pegunungan yang sulit diakses. Selama bertugas didampingi para abang-abang dan bapak-bapak yang menjadi pengarah bagi kami. Karena kami seluruhnya perempuan, maka harus ada pengawasan ekstra.

Selama kami bertugas juga ada dinamika diantara kami seperti hubungan antarpersonal yang emosional. Misal jika kami tidak puas dengan sikap satu sama lain. Maka akan terjadi dinamika. Namun seluruhnya bisa diselesaikan. Hal yang seperti itu wajar. Terutama dengan kami yang seluruhnya perempuan maka sulit dicari pihak netral di kelompok kami.

Pada awal kedatangan kami yang masih tahap penyesuaian, kami masih harus mempelajari sifat satu sama lain. Orang tua saya juga kengaku khawatir dengan saya. Karena saya anak tuggal atau satu-satunya. Saya jarang memiliki teman banyak atau kurang bersosialisasi untuk berbaur dengan teman-teman selama di Medan. Saya juga tinggal dengan orang tua sedari anak-anak. Maka orang tua saya khawatir bagaimana saya akan menyesuaikan diri untuk tinggal bersama orang-orang yang awalnya tidak saya kenal di perantauan. Namun saya bisa menghadapinya, walaupun memamg tidak selalu berjalan lancar. Saya merasakan pengalaman yang tidak terbeli dengan apapun.

Dengan adanya berbagai dinamika yang mungkin membuat hubungan antara tujuh perempuan tangguh ini retak, kami benar-benar merasa sedih saat harus berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing saat tugas sudah selesai. Karena kami tinggal berjauhan. Walau kami berhubungan tidak sampai 60 hari, kami merasa hubungan antara kami itu kuat karena bersama menanggung beban berat. Kami sudah bertugas tanpa libur satu hari pun dari pagi sampai matahari hampir terbenam selama kurang lebih 50 hari. Perjuang kami sebagai tujuh perempuan remaja menuju dewasa yang bertugas mengemban perkuliahan benar-benar menginspirasi saya. (*)

Exit mobile version