Oleh: M. Yoserizal Saragih, S.Ag, M.I.Kom
Ujuran kebencian atau ucapan kebencian merupakan tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, maupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbgai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan agama dan lain sebagainya.
Hate speech (ujuran kebencian) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku, pernyataan, atau korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan ujaran kebencian (hate speech) ini disebut (hate Site). Ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, menghasut, menyebarkan berita bohong. Pelaku ujaran kebencian (hate speech) bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial.
Sepanjang tahun 2020, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat 443 kasus terkait ujaran kebencian. Selain itu, Bareskrim Polri juga menyatakan ada 89 konten di media sosial (medsos) yang dinilai melakukan pelanggaran ujuran kebencian (hate speech). Dari periode 23 Februari sampai 11 Maret 2021 menunjukkan ada sebanyak 125 konten yang diduga pelanggaran ujuran kebencian (hate speech), dari jumlah itu 89 di antaranya dianggap melakukan dugaan pidana ujaran kebencian. Menurut Ahmad dari 125 konten yang ada itu didominasi jenis platform Twitter yang paling banyak yaitu 79 konten kemudian Facebook 32 konten Instagram 8, YouTube 5 dan WhatsApp 1 konten jadi yang paling banyak melalui Twitter.
Maraknya ujaran kebencian saat ini di berbagai media sangatlah memprihatinkan seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah pengguna media massa akan selalu mengalami peningkatan tiap harinya sehingga jumlah ujaran kebencian yang terdapat di media di masa yang akan datang dimungkinkan melebihi angka yang telah ada apabila tidak segera diatasi dengan serius baik oleh pemerintah maupun diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dari itu dalam mengatasi maupun menangkal ujaran kebencian (hate speech) tersebut. Perlu adanya suatu peran dari jurnalistik Islam. Seperti kita ketahui bahwa jurnalistik Islam menurut Emha Ainun Nadjib adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengarahkan dirinya.
Secara sederhana, jurnalistik Islam bisa diartikan sebagai kegiatan berdakwah melalui karya tulisan. Karya itu dimuat di media pers. Baik dalam bentuk berita, feature, artikel, laporan, tajuk, dan karya jurnalistik lainya. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka karya-karya jurnalistik itu sudah barang tentu berisi ajakan atau seruan mengenai pentingnya meraih keberhasilan, mencapai kemajuan, mengerjakan kebaikan, dan meninggalkan kenistaan. Ajakan dan seruan yang semuanya bersumber dari aqidah Islam, tauhid, dan keimanan. Semua itu jurnalistik mememiliki peran dalam menyampaikan suatu berita maupun informasi yang mengandung nilai-nilai kebaiakan untuk diketahui masyarakat serta memberikan edukasi kebaikan kepada masyarakat, misalnya tentang dampak buruk dari ujuran kebencian (hate speech) itu sendiri. Berdasarkan paparan ditersebut, penulis ingin mengkaji sejauhmana peran jurnalistik Islam dalam menangkal hate speech (ujaran kebencian).
Pengertian Jurnalistik Islam
Jurnalistik Islami merupakan serangkaian kegiatan dalam menyampaikan pesan berupa dakwah kepada khalayak ramai melalui saluran media. Tekanannya tentu pada media pers baik surat kabar, majalah, maupun tabloid. Karena melalui media pers, pesan dakwah itu tentu saja disampaikan melalui karya tulisan. Secara ringkas, jurnalistik islami dapat kita artikan sebagai kegiatan berdakwah melalui karya tulisan. Karya itu dimuat di media pers. Baik dalam bentuk berita, feature, artikel, laporan, tajuk, dan karya jurnalistik lainnya. Karena dimaksudkan sebagai pesan dakwah, maka karya-karya jurnalistik islami ini harus berisi ajakan untuk mengerjakan kebajikan dan meninggalkan keburukan. Ajakan yang dilakukan bersumber dari aqidah islam, tauhid dan keimanan. Definisi jurnalistik islam menurut beberapa tokoh sebagai berikut:
a. Emha Ainun Nadjib menyebut bahwa jurnalistik Islam adalah sebuah teknologi dan sosialisasi informasi (dalam kegiatan penerbitan tulisan) yang mengabdikan diri kepada nilai agama Islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban mengarahkan dirinya.
b. A. Muis mengatakan bahwa Jurnalistik Islam adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah Swt. (Alqur’an dan Hadits Nabi).
c. Dedy Djamaludin Malik mengemukakan yang dimaksud dengan Jurnalistik Islami adalah proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut umat Islam dan ajaran Islam kepada khalayak. Jurnalistik Islami adalah Crusade Journalism, yaitu jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat simpulkan bahwa yang dimaksud dengan jurnalistik Islam merupakan serangkaian proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/norma-norma yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Jurnalistik Islami mengedepankan kepada dakwah Islamiyah. Yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar. Firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 104 menyebutkan, yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung”.
Hate Speech (Ujuran Kebencian)
Istilah hate speech merupakan istilah yang baru muncul dalam dunia media sosial diera globalisasi sekarang ini, yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan yang sangat menarik dikalangan para ilmuwan karena dampak yang ditimbulkan dalam kehidupan bermasyarakat begitu sangat berbahaya. Berhubung karena ujaran kebencian atau hate speech merupakan istilah yang baru sehingga untuk mendefinisikannya belum ada kesepakan secara universal bagaimana mendefinisikannya.
Namun terlepas dari itu, para akademisi setuju bagaimana ujaran kebencian bekerja dan apa dampak-dampaknya. Ujaran kebencian diartikan sebagai suatu komunikasi atau menyampaikan gagasan-gagasan yang sangat negatif tentang suatu kelompok, atau perwakilan kelompok, di mana kelompok didefinisikan dengan penanda identitas seperti ras, agama, dan orientasi seksual.
Sementara Dalam arti hukum ujaran kebencian (hate speech) didefinisikan sebagai suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ujaran kebencian atau hate speech adalah perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusiaan serta menyebabkan sikap prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut atau korban dari tindakan tersebut dari berbagai aspek seperti, ras, warna kulit, gender, kewarga negaraan, bahkan agama.
Ujaran kebencian atau hate speech secara sederhana bisa dipahami sebagai suatu tindakan yang bersifat negatif baik dalam bentuk lisan maupun tulisan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindak kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusian serta menyebabkan prasangka yang buruk baik dari pihak pelaku terlebih lagi dari pihak korban dari berbagai aspek seperti ras, warna kulit, kewarga negaraan bahkan agama yang tentunya perbuatan seperti ini tidak sejalan dengan prinsip dasar ajaran agama Islam.
Hate speech atau ujuran kebencian memiliki beberapa bentuk yaitu sebagai berikut:
a. Pencemaran nama baik
Pencemaran nama baik termasuk bagian dari pada ujaran kebencian yang banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya di media sosial saat ini. Pencemaran nama baik dalam undang-undang KUHP diartikan sebagai tindakan mencemarkan nama baik atau kehormatan seseorang dengan cara menyatakan sesuatu yang bersifat negatif baik secara lisan maupun tulisan.
b. Penghinaan
Penghinaan adalah perasaan intens yang secara tidak hormat dan mengemukakan rasa tidak suka. Penghinaan dalam psikologi dan ilmu sosial lainnya adalah perasaan yang intens dari kurangnya penghormatan atau pengakuan dan keengganan. Penghinaan adalah penolakan yang mempertanyakan kemampuan dan integritas moral. Hal ini mirip dengan benci, tetapi menyiratkan rasa superioritas. Seseorang yang menghina melihat seorang individu dengan sikap merendahkan. Orang yang dibenci dianggap tidak layak.
Robert C. Solomon menempatkan penghinaan pada peristiwa yang sama seperti kebencian dan kemarahan, dan ia berpendapat bahwa perbedaan antara ketiganya adalah kebencian diarahkan oleh individu yang berstatus lebih tinggi; kemarahan diarahkan menuju status yang sama individu, dan penghinaan diarahkan menuju menurunkan status individu.
c. Penistaan
Penistaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai suatu proses, cara atau perbuatan menistakan orang lain dalam artian menghina, mencaci maki, merendahkan derajat orang yang dinistakan. Sementara dalam KHUP penistaan dimaknai sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun kelompok telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan itu tersebar (diketahui oleh orang banyak).
d. Menghasut
Menghasut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai suatu tindakan yang bisa membangkitkan kemarahan seseorang kepada orang lain. Sementara menurut R. Soesilo menghasut berarti mendorong, mengajak, membangkitkan atau mengajak seseorang agar supaya berbuat sesuatu yang bersifat negatif. Lebih lanjut lagi beliau mengatakan bahwa dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja dan menghasut itu lebih keras dari pada memikat atau membujuk akan tetapi tidak mengindikasikan pemaksaan.
e. Penyebaran Berita Bohong
Penyebaran berita bohong atau dikenal dengan istilah hoaks merupakan bentuk dari pada ujaran kebencian yang marak juga terjadi saat ini. Hoaks dapat diartikan sebagai “deceive somebody with a hoaks” (memperdaya banyak orang dengan sebuah berita bohong), juga berarti cerita bohong, senda gurau dan olok-olok. Ia dipahami juga dengan “to deceive someone by making them believe something which has been maliciously or mis-chievously fabricated” (memperdaya beberapa orang dengan membuat mereka percaya sesuatu yang telah dipalsukan). Sedangkan dalam bentuk kata benda, hoaks diartikan sebagai “trick played on somebody for a joke” (bermain tipu muslihat dengan orang lain untuk bercanda) atau “anything deliberately intended to deceive or trick” (apapun yang dengan sengaja dimaksudkan untuk menipu orang lain).
Adapun dalam istilah bahasa Indonesia, hoaks merupakan kata serapan yang sama pengertiannya dengan “berita bohong”. Di dalam penggunaannya, hoaks berarti informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Berdasarkan bentuk-bentuk tindakan ujaran kebencian yang telah dijelaskan di atas itu memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa atau konflik sosial di tengah kehidupan bermasyarakat.
Fenomena Hate Speech (Ujaran Kebencian) di Media
Setelah memasuki era baru dimana masyarakat mulai beradaptasi dan terbiasa menggunakan teknologi modern dalam kesehariannya, salah satunya adalah media baru. Media baru mulai digunakan karena media konvensional sudah mulai banyak ditinggalkan dan beralih dengan media berbasis digital yang terkomputerisasi dan terhubung melalui jaringan internet.
Menurut riset platform manajemen media sosial HootSuite dan agensi marketing sosial We Are Social bertajuk “Global Digital Reports 2020” yang dirilis pada Januari 2020, hampir 64 persen penduduk Indonesia atau sebanyak 175,4 juta orang sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Salah satu contoh media baru berbasis internet adalah sosial media.
Dari sumber riset yang sama disebutkan, pengguna sosial media di Indonesia sudah mencapai 160 juta pengguna atau sebesar 59% dari jumlah total penduduk. Data menarik lainnya diungkapkan bahwa, rata-rata setiap satu orang di Indonesia memiliki 10 akun sosial media baik yang aktif digunakan maupun tidak.
Media baru memang bukan menjadi normal baru lagi bagi masyarakat Indonesia. Data diatas membuktikan bahwa sosial media adalah makanan sehari-hari bagi orang Indonesia. Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari aktif di sosial media diantara lain sebagai media komunikasi dan informasi, sebagai wadah aktualisasi dan ekspresi diri, bahkan untuk menunjang strategi pemasaran dari suatu brand. Sejatinya, media baru adalah suatu inovasi baru yang dibuat untuk dapat mempermudah segala aspek kehidupan manusia, kendati demikian ada saja oknum yang tidak bertanggung jawab yang menggunakan sosial media untuk tujuan yang negatif, fenomena yang paling umum terjadi ialah ujaran kebencian (hate speech) dan hoax.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus melaporkan, dalam rentang waktu Maret hingga April 2020 setidaknya ada sebanyak 443 laporan masuk yang berkenaan dengan kasus ujaran kebencian dan juga berita bohong. Itu artinya, hate speech masih menjadi salah satu permasalahan serius dalam hal penggunaan sosial media bagi masyarakat Indonesia.fenomena ujaran kebencian tidak hanya terjadi pada saat momentum-momentum besar tertentu seperti Pemilihan Umum.
Ada berbagai faktor pendorong untuk seseorang melakukan ujaran kebencian, bahkan untuk hal yang terlihat sepele. Banyak hal yang dapat melatarbelakangi seseorang melakukan ujaran kebencian, antara lain karena permasalahan emosional pribadi, disinformasi atau termakan berita bohong, bahkan juga hanya karena motif iseng belaka, yang malah akan berujung menjadi petaka.
Kasus ujaran kebencian paling banyak ditemukan di sosial media.
Hasil penyelidikan jajaran Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menemukan fakta, selama April hingga Mei 2020 instagram menjadi media yang paling banyak digunakan untuk menyebar ujaran kebencian, sementara peringkat kedua diduduki oleh facebook. Sosial media bukan menjadi akar utama penyebab banyaknya penyakit sosial baru di masyarakat, salah satunya ialah hate speech.
Hate speech dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab akhir-akhir ini bisa menjadi kemunduran bagi Indonesia karena hate speech menghilangkan rasa saling menghormatidan kesenjangan sosial. Hate speech adalah sikap yang tidak beretika, tidak menunjukkan nilai-nilai nasionalis dan agamis, dan intoleransi yang dapat mendorong terjadinya kekerasan (condoning). Jika ujaran kebencian ini tidak ditangani secara serius, maka sikap seperti ini akan menjadi modal buruk bagi penguatan demokrasi dan hak asasi manusia.
Maraknya hate speech atau ujaran kebencian dapat kita lihat pada media sosial saat ini. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi pemerintah maupun para jurnalistik Islam. Maraknya ujaran kebencian ini berdampak negatif dalam menjalin hubungan baik antar sesama manusia dan antar umat beragama yang selama ini telah terbangun. Semua agama pun melarang umatnya membenci sesama manusia. Sebaliknya, agama justru mengajarkan kepada setiap umatnya untuk saling menyapa, berinteraksi, berdialog, bahkan bekerja sama dengan semangat saling mencintai, saling menyayangi, dan saling melindungi.
Langkah Menangkal Hate Speech (Ujaran Kebencian)
Hate speech atau ujaran kebencian dianggap sebagai ujaran yang sangat berbahaya karena berpeluang pada kebencian, kekerasan, merusak kebaikan di ruang publik, dan intimidasi diskriminasi. Tindakan-tindakan seperti ini merusak martabat manusia dan para korbannya.Setidaknya ada dua langkah atau cara yang bisa dilakukan untuk membendung tumbuh dan berkembangnya Hate speech atau ujaran kebencian.
Pertama, melakukan kegiatan penyadaran pada masyarakat (literacy media/digital) agar bijak dan cerdas dalam bermedia secara rutin. Karena kegiatan ini tidak mungkin berhasil jika hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun membutuhkan waktu yang panjang dan berkesinambungan secara konsisten di berbagai kalangan masyarakat sehingga masyarakat menjadi sadar (aware) dan melek media, yaitu dapat memilah dan memilih berita atau informasi mana yang baik dan menyehatkan untuk dikonsumsi.
Langkah kedua adalah membudayakan sikap tabayun (klarifikasi), seperti yang diingatkan Allah SWT dalam QS Hujurat: 6 “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita (hoak), periksalah dengan cermat (check and recheck) agar kamu tidak tertimpa musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu akan menyesal atas perbuatan itu”. Tabayun dalam arti mencari kejelasan tentang sesuatu sampai jelas benar keadaannya. Meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa memutuskan masalah, baik dalam hal hukum, agama, kebijakan publik, sosial-politik dan lainnya hingga jadi jelas permasalahannya.
Langkah ketiga yaitu, menjalin kerjasama antar pemerintah, masyarakat, dan tokoh agama. Kerja sama bisa berupa melakukan kegiatan edukasi yang komprehensif terkait peraturan perundang-undangan terkait berita bohong dan ujaran kebencian, jenis, ciri-ciri dan gejala serta peran dan fungsi dalam menangkal maraknya berita bohong dan ujaran kebencian yang terjadi di dalam masyarakat.
Langkah keempat yaitu, memberikan denda, menanggapi semakin meluasnya hate speech di media sosial, pemerintah Indonesia telah mengambil sikap tegas dengan kelompok media sosial. Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi Indonesia periode 2014–2019, mengatakan bahwa pemerintah memberikan denda bagi perusahaan yang tidak menghapus hate speech dan berita palsu. seperti Facebook, Twitter, dan Google memiliki kewajiban untuk membuat pasar yang sehat dan berkelanjutan dan menolak rezim sensor (regime of censorship). Pemerintah Indonesia juga tidak akan ragu untuk menghapus semua konten yang dianggap berpotensi mengancam persatuan Indonesia, seperti radikalisme dan terorisme.
Critical Race Theory dalam Menangkal Hate Speech (Ujaran Kebencian)
Aliran pemikiran critical race theory yang dimaksudkan untuk menekankan efek ras pada status sosial seseorang. Critical race theory mengandung dimensi aktivitas yang tidak hanya mengatur bagaimana cara masyarakat mengatur diri, tetapi juga mengubahnya menjadi lebih baik.
Richard Delgado and Jean Stefancic dalam tulisannya What Is Critical Race Theory? menjelaskan bahwa gerakan Thecritical race theory (CRT) adalah sekelompok aktivis dan para sarjana yang tertarik dalam mempelajari dan mentransformasikan hubungan antara ras, rasis, dan kekuasaan. Gerakan ini melihat banyaknya bermunculan isu-isu hak asasi manusia (HAM) dan etnis, namun isu-isu ini diposisikan dalam perspektif yang luas, seperti ekonomi, sejarah, kontekstual, kepentingan kelompok dan personal, dan bahkan perasaan dan ketidaksadaran.
Critical race theory awalnya muncul pada pertengahan 1970-an. Teori ini diinspirasi oleh para pengacara, aktivis, sarjana hukun di seluruh dunia yang melihat adanya perdebatan sengit Hak Asasi Manusia (HAM) di era 1960-an. Dengan menyadari perlunya teori dan strategi baru dalam menolak bentuk-bentuk rasisme, pernulis awal seperti Derrick Bell, Alan Freeman, dan Rechard Delgado (Co-author) berpikir betapa pentingnya menulis atau menjelaskan teori baru mengenai anti rasis. Mereka segera bergabung dengan pemikir lainnya, dan kelompok ini melakukan konfrensi pertama di biara luar Madison, Wisconsin, ada musim panas tahun 1989.
Para ahli critical race theory juga mengamati adanya subjektivitas politik yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang memiliki otoritas. Jika otoritas dijadikan sebagai ciri khas yang harus diterapkan’ maka orang atau kelompok otoritatif harus menerapkan keadilan. Prinsip keadilan dalam penerapan hukum tidak bisa dipisahkan dengan sistem pendidikan hukum yang mengajarkan keadilan. Oleh karenanya, dunia pendidikan juga perlu menerapkan critical race theory untuk menentang dan menganalisis hukum yang ahistoris dan tidak kontekstual.
Berdasarkan critical race theory tersebut jika dihubungkan dengan media baik itu media sosial maupun bukan masih menjadi ruang yang belum sepenuhnya bisa diatur dalam kebebasan berbicara. Namun, media saat ini juga memungkin untuk dijadikan ruang yang dinamis dan interaktif untuk melakukan ujaran kebencian (hate speech). Platform media sosial yang jarang dimonitor tentang komentar-komentar atau bahasa-bahasa yang mencaci-maki atau diskriminasi menyebabkan konten yang menyakitkan bagi orang menerima ujaran kebancian.
Sebagaimana dikatakan Kavanagh, dkk, interaksi online memiliki mikrokosmos yang dapat mengarah kepada kekerasan jender, ras, seksual, dan ekstrim. Lebih jauh lagi, bahasa yang mengandung amarah yang diterima oleh orang lain (baik individu atau kelompok) memungkin munculnya bahaya yang lebih besar. Interaksi yang tidak terkontrol dan negatif di media berpotensi mengurangi sikap inklusifitas dan kesopanan. Dampak negatif ujaran kebencian yang disampaikan melalui media. Maka dari itu perlu diterapkan critical race theory, sebagaimana dijelaskan Mia Moody-Ramirez dan Hazel James Cole. Dalam analisa Mia dan James, critical race theory memberikan teknik, arahan, dan bimbingan bagi pengguna mediaataupun media sosial seperti Twitter,Facebook, dan lainnya untuk berkomunikasi secara positif.
Jurnalistik Islam Dalam Menangkal Hate Speech (Ujaran Kebencian)
Seperti kita ketahui bahwa jurnalistik merupakan kepandaian untuk menuliskan hal-hal yang baru terjadi dengan cara menaruh perhatian dengan maksud agar diketahui orang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya. Menurut A. Muis, menyatakan bahwa jurnalistik Islam adalah menyebarkan (menyampaikan) informasi kepada pendengar, pemirsa atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah Swt. (Aqur’an dan hadis Nabi).
Dalam menangkal hate speech atau ujuran kebencian jurnalistik Islam memiliki peranan penting dalam hal ini, karena bila ada hal-hal yang dilarang dalam agama maupun Islam seperti berita fitnah, bohong, mengadu domba, provokasi, kekerasan jender, ras, seksual, ekstrim, mencaci-maki atau diskriminasi, dan lain sebagainya. Sangat tidak benenarkan dalam Islam.
Dengan demikian, Jurnalistik Islam menjadi solusi bagi permasalahan yang ada saat ini seperti hate speech dalam media yang sering kali tidak tentu arah. Banyak sekali berita-berita fitnah yang tidak sesuai dengan kebenaran dipublikasikan oleh media-media ternama. Media-media jurnalistik sering kali kehilangan sifat independennya ketika sudah bersentuhan dengan uang dan kekuasaan. Banyak juga media yang tidak profesional dengan tidak melakukan proses tabayyun terhadap sebuah berita. Sikap tidakan bertanggung jawab terhadap sebuah berita yang dipublikasikan juga tidak sedikit kita temukan. Padahal bisa jadi dampak dari berita yang dipublikasan cukup siginifikan terhadap kehidupan masyarakat.
Media perlu bertanggung jawab bila berita yang tidak benar karena kelalaian atau hal lainnya dipublikasikan sehingga meresahkan masyarakat. Ini adalah beberapa contoh hal-hal dalam jurnalistik yang tidak sesuai dengan prinsip dan nilai Islam. Masih banyak hal lain sebenarnya yang ternyata melanggar aturan-aturan Islam. Padahal sebagian besar para jurnalis adalah seorang muslim yang seharusnya mengetahui batasan-batasan yang dihalalkan dalam agamanya.
Pada prinsipnya, jurnalistik Islam yang berkarakteristik sebagai yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw itu: Pertama, shiddiq Al-shidq mengacu kepada pengertian jujur dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks jurnalistik, termasuk dalam memuat suatu informasi baik dalam media sosial maupun tidak agar tidak terjadi hate speech atau ujaran kebencian. Prinsip shiddiq ini sangat penting diterapkan dalam menangkal hate speech maupun ujaran kebencian. Karena shiddiq adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan ajaran Islam (qur’an dan As-Sunnah).
Kedua, amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya, karenanya tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta.
Ketiga, tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran, bukan malah memutarbalikkan kebenaran.
Empat, fathonah artinya cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad (prophetic intelligence) .
Prinsip-prinsip ini dapat menjadi edukasi dalam menangkal hate speech atau ujuran kebencian. Selain menerapkan prinsip-prinsip di atas, memberikan arahan dalam setiap media yang ada terhadap penggunaan media gital dengan cermat sertamenyebarkan etika-etika dalam menggunakan media. Kemudian membudayakan sikap tabayyun prinsip ini dapat digunakan dalam menangkal hate speech, dengan cara ini serta disertai dengan memberikan tentang bahaya ujuran kebencian serta dampak dari hate speech itu sendiri.
Selain itu, jurnalistik Islam tetap menerapkan prinsip shiddiqdalam menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran. Dalam menangkal hate speech di setiap informasi yang diberikan berlandaskan shiddiq, karena dengan mengedukasi masyarakat dengan prinsip ini dapat menyadarkan masyarakat akan bahaya dari hate speech. Serta perbuatan dalam hate speech tersebut dilarang dalam Islam dan kurang etis dalam bersosial. Kemudian amanah atau terpacaya dalam setiap memberikan informasi kepada khalayak prinsip sangat penting. Karena hal ini dapat dijalankan dalam menangkal hate speech. Mengedukasi masyarakat untuk menerapkan prinsip amanah dalam setiap infomasi yang ada serta memberikan pengetahuan yang luas tentang prinsip ini kemungkinan besar dapat mengurangi hate speech. Kemudian jurnalistik Islam yang dikenal dengan memberikan informasi dalam kebenaran serta cerdas dan berwawasan luas dalam memberikan pengetahuan dan mengarahkan masyarakat dalam kearah yang lebih baik lagi dengan penuh etika, tata krama, kesopan santunan serta bijak dalam menggunakan media.
Kesimpulan
Jurnalistik Islam merupakan serangkaian proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam dengan mematuhi kaidah-kaidah jurnalistik/norma-norma yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah. Jurnalistik Islami yang dikenal dengan mengedepankan kepada dakwah Islamiyah, yang mengemban misi amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam hal menangkal hate speech atau ujaran kebencian jurnalistik Islam mempunyai peran yang sangat penting terhadap permasalah tersebut. Adapun langkah yang dilakukan dalam menangkal hate speech tersebut yang ditemukan dalam kajian ini yaitu melakukan kegiatan penyadaran pada masyarakat agar lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan media, membudayakan sikap tabayun, menjalin kerja sama, serta memberikan sangsi/denda.
Selain langkah-langkah tersebut peran jurnalistik Islam dalam menangkal hate speech ini berupa memberikan edukasi, pengetahuan yang luas, serta memberikan arahan dalam bermedia dengan prinsip sidhhiq, amanah, tabligh dan fhatonah yang berdasarkan yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw. (*)
Penulis adalah Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial UIN-SU