Oleh: Shohibul Anshor Siregar
Jika sudah lupa naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saya ingin mengingatkan kembali. Banyak orang yang hafal luar kepala, tetapi tidak atau kurang memahami makna filosofisnya.
Tentu masalahnya menjadi lebih besar jika seseorang hafal dan sangat faham isinya, tetapi secara ideologis tidak mau mengindahkannya karena bertentangan dengan hasrat dan kepentingannya.
Bahayanya justru lebih besar jika orang-orang yang faham dan menolak isi Pembukaan UUD 1945 ini, berada di dalam tubuh pemerintahan, apakah mereka itu:
- berdasarkan prosedur elektoral (beroleh legitimasi melalui pemilihan): Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota), maupun;
- berdasarkan political pointy (beroleh legitimasi karena penunjukan), seperti Menteri, Kepala Badan, Lembaga, BUMN dan lain sebagainya.
Di dalam pembukaan UUD 1945 itu terdapat 5 (lima) gagasan besar yang amat canggih yang menentukan tujuan dan sifat pemerintahan Indonesia.
Untuk ke 5 amanat imperatif itulah pemerintahan Negara Republik Indonesia merdeka dibentuk:
- Menghapuskan penjajahan di atas dunia karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- Memajukan kesejahteraan umum;
- Mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Bersambung ke hal 2.
Penjelasan 1:
Penjajahan tidak selalu hadir dalam bentuk lama, yakni datangnya bangsa lain ke Indonesia dan melaksanakan berbagai usaha jahat mengekslpoitasi sumberdaya dan merendahkan harkat dan martabat bangsa untuk memuluskan keinginannya itu.
Tetapi secara hakiki penjajahan itu adalah penerapan ketidakadilan dalam berbagai dimensinya, ketika hak-hak istimewa segelintir orang di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terpelihara dan diawetkan karena kondisi struktural (politik dan budaya) yang begitu menindas.
Karena itu periksalah dengan cermat, dengan kritis, dengan sungguh-sungguh berempati. Seberapa bersih Indonesia dari penjajahan itu, atau seberapa parah keadaannya kini karena tekanan penjajahan itu.
Penjelasan 2:
Warga negara (seluruh bangsa) adalah determinan utama pembentukan sebuah negara. Tanpa warga negara tiada negara. Secara teoritis ada tiga prasyarat pembentukan negara. Pertama, adanya wilayah. Kedua, adanya warga negara, dan ketiga, adanya pengakuan kedaulatan masyarakat internasional (prasyarat ketiga itu memang agak artifisial, tetapi hal itu telah menjadi keniscayaan dalam adat bangsa-bangsa sesuai hukum internasional).
Di dalam Pembukaan UUD 1945 dan di dalam batang tubuh UUD 1945 (pasal dan ayat) serta dalam banyak Undang-Undang yang diterbitkan, hak-hak warganegara dijabarkan sedemikian rupa.
Pembukaan UUD 1945 menggunakan diksi tumpah darah untuk memaksudkan wilayah tanah air. Tidak boleh ada yang sewenang-wenang terhadap wilayah Indonesia, karena hal sedemikian itu bisa identik dengan perlawanan atas kedaulatan jika bukan anasir yang bertujuan untujk penjajahan.
Pemerintahan yang dibentuk sesuai amanat konstitusi harus membunuh rasa takutnya sebelum ia disumpah, untuk menghadapi segala tantangan mewujudkan tujuan suci melindungi warga negara, seluruhnya, dan wilayah Republik Indonesia, seluruhnya. Ia menjadi syuhada, pahlawan kesuma bangsa, jika mati dalam tugas itu.
Bersambung ke hal 3.
Penjelasan 3:
Kesejateraan itu berdimensi jamak dan ukuran-ukurannya selalu bertumbuh dan berkembang berdasarkan capaian-capaian kemajuan peradaban dunia. Doeloe seseorang yang tamat APDN, itu setara D-III bukan?, serta-merta sudah dipandang layak untuk menjadi pemegang tampuk pemerintahan pada level terendah, di Kecamatan (Camat).
Doeloe seseorang yang sudah tamat SMA adalah sosok yang terhormat, memiliki wawasan luas dan dalam, dan di tengah masyarakatnya ia menjadi panutan.
Kondisi kemelaratan bangsa mengorbitkannya dalam status yang sedemikian itu, karena begitu sukarnya beroleh akses ke pendidikan. Maka ketika orang menjadi sarjana, luar biasa pula perjuangannya untuk gelar itu diapresiasi oleh masyarakat.
Mereka pun mengelompokkan diri, antara lain dengan pembentukan organisasi seperti Ikatan Sarjana, ikatan ahli, komunitas sejawat, dan lain sebagainya. Memang asosiasi itu bertujuan ganda. Pertama untuk memajukan kapasitas setelah menjadi sarjana di antara sesama sarjana, dan kedua, untuk memajukan rakyat tempat mereka berkiprah. Dengan begitu legitimasi sosial mereka peroleh dengan begitu baik.
Kesejahteraan harus terus diperjuangkan. Indonesia harus takut terus dicaci karena para ilmuan begitu tegas berjkata antara lain tentang teori kutukan sumberdaya. Sumberdayanya kaya raya, namun terus melarat karena dua faktor berentet.
Pertama, terlalu lama dijajah:
- Portugis (1509-1595);
- Spanyol (1521-1692);
- Belanda (1602-1942);
- Perancis (1806-1811);
- Inggris (1811-1816), dan
- Jepang (1942-1945).
Kedua, terlalu tunduk pada dikte-dikte kekuatan sosial, ekonomi dan politik lokal dan internasional (korporasi maupun negara) anti keadilan:
Menjadi merdeka adalah sesuatu yang serta-merta ditantang oleh masalah-masalah baru. Tak jarang sebuah negara secara resmi merdeka dan setiap tahun berupacara untuk memperingati kemerdekaannya itu, tetapi secara hakikat tetap menjadi jajahan karena faktor internal mau pun eksternal yang tidak adil.
Kesejahteraan umum itu bisa diukur dengan standar sendiri, dan agar tak lebay, ukuran-ukuran itu pun dikonfirmasi ke badan-badan dunia untuk adopsi nilai-nilai universal.
Nilai-nilai kesejahteraan umum itu pun memerlukan konsultasi dengan rakyat agar tidak ada dusta di antara sesama anak bangsa. Bisa saja laporan-laporan statistik yang dibuat oleh pemerintah menunjukkan tingkat kesejahteraan yang baik.
Suatu negara, kata statistik, bisa digolongkan ke dalam negara maju karena pendapatannya (PDRB) besar dan pertumbuhannya (growth) juga besar. Tetapi konsep-konsep semacam itu telah ditantang oleh para ahli dunia terutama mereka yang bertolak dari tanggungjawab sosial atas keadilan dan nilai hakiki hidup bermasyarakat dan bernegara.
Karena itu, haruslah dikembangkan terus model-model pengukuran tentang itu demi tanggung jawab kepada warga dan maslahat sebuah bangsa.
Saya ingin bertanya: ada akses Anda untuk tanah? Sudahkah Anda merasa pas bahwa segalanya sudah didemokratisasi sehingga tak ada yang diistimewakan dalam kerakusannya dengan risiko buruk pada kemiskinan struktural?
Bersambung ke hal 4.
Penjelasan 4:
Cerdas itu tersemat dalam kedirian manusia yang tak beroleh tempat untuk makhluk lain. Betapa bahagianya menjadi Indonesia karena mengetahui begitu cerdasnya para pendiri bangsa menancapkan nilai sentral kemanusiaan untuk dijadikan obsesi yang harus dicapai tanpa henti berkeringat dan mengorbankan segala hal.
Berdo’alah untuk Panitia Sembilan (Perumus Pembukaan UUD 1945): Agus Salim (1884-1954), Abikoesno Tjokrosoejoso (1897-1968), Wahid Hasjim (1914-1953), Abdoel Kahar Moezakir (1907-1973), Soekarno (1901–1970), Mohammad Hatta (1902-1980), Achmad Soebardjo (1896-1978), Mohammad Yamin (1903-1962), Alexander Andries Maramis (1897-1977).
“Saya bangga menjadi anak didik Muhammadiyah”, kata Soeharto suatu ketika, saat hadir memberi pidaro untuk pembukaan Muktamar Muhammadiyah (berdiri tahun 1912) di Banda Aceh. Ia salah seorang di antara anak bangsa yang dididik oleh bangsanya sendiri, sebagaimana Jenderal Besar Soedirman mengalaminya, rakyat jelata yang diasingkan dari akses pendidikan oleh penjajah.
Tetapi kini Indonesia telah merdeka. Seberapa besar tanggungjawab pemerintah untuk pencerdasan ini? Tak terhingga, kawan.
Dalam UUD 1945 yang diamandemen tersebut kewajiban alokasi APBN dan APBD tidak boleh kurang dari 20 %. SBY pernah diwajibkan merombak postur APBN-nya ketika melalui Mahkamah Konstutusi terbuktikan alokasi untuk pendidikan kurang dari 20 %. SBY legowo, ia seorang negarawan yang merasa bangga ditegur rakyatnya, demi menepatkan arah pembangunan pencerdasan kehidupan bangsa itu.
Tetapi itu masih sangat minimum, kawan. Sekali lagi Indonesia sudah merdeka 76 tahun. Mestinya tak lagi menyamankan diri dalam iklim yang mirip iklim penjajahan dengan akses pendidikan yang sangat sukar.
Hendaklah pemerintah menjadi garda terdepan yang tak boleh kalah oleh tantangan zamannya untuk mencerdaskan bangsa. Seyogyanya secara perlahan Indonesia akan mengadakan semua lembaga pendidikan untuk kebutuhan yang terus berjkembang, tanpa mengurangi hak-hak warga negara (swasta) untuk berkarya dalam bidang itu.
Tetapi jika pendidikan swasta lebih banyak (dan jangan-jangan lebih banyak yang lebih jauh lebih bermutu) dari pendidikan swasta, jelas konstitusi sudah dilawan. Seberapa tega memaksa rakyat untuk membayar mahal agar dirinya cerdas? Sebarapa tega memandang jasa pendidikan sebagai transaksi dengan rakyat yang selalu dihitung dalam komponen anggaran negara (APBN dan APBD)?
Si Tongat harus cerdas. Tak peduli ayah dan maknya tak punya uang. Bahkan semua peralatan dan pakaian seragamnya mestinya disediakan oleh pemerintah dan ia ingin S1 dua kali, S3 dua kali, S3 dua kali, selama itu di dalam negeri, pemerintah harus menghargai si Tongat dan keluarganya dengan obsesi dan cita-cita besar seperti itu. Anda mengenal Tongat kan? Ia bukan Siregar.
Begitu pulalah kesehatan. Jangan ditransaksikan. Kenapa BPJS mengutip dari rakyat? Sambil beraroma mismanajemen pula itu.
Warga negara tidak boleh sakit, dan jika ia jatuh sakit, pemerintah harus mengobatinya sampai sembuh tanpa biaya apa pun yang dibebankan kepada pasien itu.
Kini salah satu keluhan khas Indonesia 4.0 masa pandemi adalah berayun di antara tangisan tak dapat bertemu tatap muka di kelas dan tak dapat melangsungkan interaksi belajar-mengajar karena kesulitan akses.
Apa hukum yang harus ditegaskan di sini? Selama covid-19 melarang kita bertemu di kelas, pemerintah wajiblah tak sekadar mengalokasikan pengadaan barang-barang dengan harga yang dicurigai untuk dikorupsi, tetapi juga seyogyanya terlebih dahulu memetakan permasalahan bangsa lalu kemudian merumuskan kebijakan yang menjawab masalah.
Sekali lagi, apa hukum yang harus ditegaskan di sini? Bebaskan akses internet di seluruh tanah air. Jangan berdalih tangis untuk virus. Itu konyol. Tak cerdas. Tak bertanggungjawab.
Bersambung ke hal 5.
Penjelasan 5:
Soekarno berapi-api pidatonya dalam forum-forum dunia. Tahun 1955 ia mengundang kepala pemerintahan seluruh Asia dan Afrika. Ia ingin bersama orang menderita agar lepas selepas-lepasnya dari segala bentuk dikte dan apalagi penjajahan.
Anda tak boleh lupa, Soekarno pun pernah memutuskan Indonesia keluar dari keanggotaan PBB karena merasa badan dunia itu tidak adil dan terus dikapitalisasi sebagai perpanjangan tangan untuk melanggengkan penguasaan Barat ke dunia bekas jajahan.
Anda tahu kasus Palestina? Itu penjajahan. Anda tahu kasus Rohingya? Itu penjajahan. Anda tahu kasus Xinjiang? Itu penjajahan. Anda tahu kasus Afghanistan? Taliban tak mau dijajah dan sesusah apa pun keadaan mereka terus bekerja mengorbankan nyawa demi istiqlal (kemerdekaan).
Soekarnomu pun terkadang sangat melankolis soal kemerdekaan itu dan gampang sekali ia tersinggung jika hal itu menjadi masalah di mana saja pun di seluruh dunia. Anda tahu mengapa ia berinama monumental bangunan Masjid di ibukota, Istiqlal, yang berseberangan dengan Katedral itu? Itu karena begitu pentingnya merdeka dijaga.
Karena itu ia tak pernah melewatkan kesempatan berteriak untuk memengaruhi dunia agar keamanan dan ketertiban terjaga.
Bagaimana Sekarang?
Pekerjaan adalah satu masalah besar. Rakyat tak beroleh akses yang cukup untuk tanah di negeri agraris yang oleh Koes Plus disebut istimewa melalui syair lagunya “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Sejumlah isyu krusial ada di sini. Jangan Anda pura-pura tak tahu dan merasa tak punya urusan dengan politik agraria yang buruk dan yang tak memihak kepada rakyat itu.
Pekerjaan, sesuatu yang ditegaskan “:Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan”. Bagaimana Anda menafsirkan ini? Anda buat UU Cipta Kerja agar beroleh harapan datangnya modal asing dan dari investasinya akan terbuka pekerjaan bagi rakyat?
Kuno sekali Anda berfikir dan tak jelas nasionalisme dan tak jelas kefahaman atas konstitusi.
Pemerintah berkewajiban memberi pekerjaan. Bukan sekadar pekerjaan. Tetapi pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Itu bunyi pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Saya sarikan semua uraian itu di dalam sebuah gambar. Anda berhak untuk ikut menyuarakan ini, tanpa rasa takut. Anda tak akan menyebut saya memberontak kepada pemerintah dan Anda tak akan memberi label radikal, intoleran dan anti pluralitas karena saya berucap seperti ini.
Lebih banyak orang yang tahu bahwa negara-bangsa perlu disehatkan dengan tolok ukur konstitusi, keadaan akan makin baik ke depan.
Saya sedang berbicara tentang permasalah krusial yang kini menjerat bangsa. Di antaranya ekstrimisme ekonomi, radikalisme ekonomi, dan intoleransi ekonomi. (*)
Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Ketua LHKP PWM Sumut dan Koordinator Umum n’BASIS