Site icon TAJDID.ID

Anggota Dewan Berbaju Baru

Ilustrasi.

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Dikhabarkan, nanti tahun 2022, seluruh anggota legislative Provinsi Sumatera Utara akan beroleh 3 baju sekaligus. Jumlah anggaran yang disediakan untuk itu sekitar Rp 1 miliar.
Pada situs LPSE Sumut anggaran pembelian baju baru untuk anggota DPRD Sumut ini ada tiga paket yang tertulis dalam situs itu.

Tender pertama bernama ‘Pengadaan Pakaian Dinas Harian Pimpinan dan Anggota DPRD-SU’. Nilai HPS paket ini Rp260 juta.

Tender ke dua bernama ‘Pengadaan Pakaian Sipil Harian (PSH) Pimpinan dan Anggota DPRD-SU’. Nilai HPS paket ini Rp 590 juta.

Selanjutnya tender ke tiga bernama ‘Pengadaan Pakaian Sipil Resmi (PSR) Pimpinan dan Anggota DPRD-SU’. Nilai HPS paket ini Rp295 juta.

Baca Juga: 100 Anggota DPRD Sumut Bakal Dapat Baju Dinas Baru, Anggarannya Mencapai Rp 1.1 M

Jika pakaian untuk pimpinan dan anggota tidak berbeda kualitas, maka:

Tampaknya ini bisa mirip dengan kasus suap pada masa Gatot Pujonugroho yang waktu itu memang tak sedikit bahkan awalnya mungkin mayoritas anggota DPDRSU tak tahu menahu asal usul dan tujuannya menerima uang. Tetapi karena sudah diantar oleh kurir ke ruang kerjanya, langsung saja diterima.

Tentulah ada yang langsung menelisik apakah dirinya beroleh jumlah yang sama dengan anggota yang lain di fraksinya dan di fraksi lain.

Hal itu belakangan dapat diketahui dari rangkaian persidangan di pengadilan. Bahkan jika dicek-silang antara uang yang disetor ke rekening KPK berbeda dengan jumlah yang diketahui dari fakta-fakta persidangan.

Artinya dalam kondisi ini ada psikologis setiap orang (penerima) “tak saya terima juga tak merubah keadaan, soalnya yang lain pun pastilah sudah menerima”.

Dalam modus operandi belanja baju ini biasanya selalu terkait dengan motif pengadaan. Teori lama masih tetap berlaku, yakni “follow the money”. Itu dengan mudah dapat dicek:

Pertama, siapa yang mengawali pembicaraan ini, eksekutifkah atau legislatifkah? Keduanya tentu memiliki posisi yang bisa menjamin pengatasnamaan lembaga masing-masing untuk pengambilan keputusan.

Bisa saja pembicaraan diawali cetusan ide dari salah satu anak buah kedua pejabat ekesekutif atau legislatif itu. Lazimnya anak buah itu orang lincah, dan pasti sedikit banyaknya beroleh margin tertentu verupa selisih antara jumlah yang harus dibayarkan kepada pengusaha (harga net) yang memenangkan tender pengadaan dengan jumlah (pagu anggaran) yang dikeluarkan dari kas daerah (APBD, mungkin pada kelompok belanja di sekretariat DPRDSU).

Kedua, semua partai yang mengutus anggota DPRDSU memiliki uniform kebanggaan masing-masing. Di situ ada rangkaian warna dan atribut yang menyimbolkan nilai, visi, misi dan agenda perjuangan partai yang mereka tetapkan sendiri.

Jika seseorang anggota legislatif memakainya ke DPRDSU bahkan dalam acara-acara resmi seperti rapat komisi, rapat pansus, rapat paripurna dan bahkan konsultasi pubik, sebagai “petugas partai” hal itu tidak menjadi masalah. Itu tidak menjadi masalah dilihat dari UU atau Perda MD3 yang mengatur tugas, tanggungjawab dan kewenangan dan juga kode etik. Pihak luar (rakyat) yang berurusan dengan lembaga legislatif pun tak merasa hal seperti itu sebagai masalah.

Memang kecenderungan satu-satunya atribut yang menyeragamkan anggota legislatif adalah pin emas yang dilengketkan di dada sebelah kiri. Semua memakainya dan saya pun tidak tahu mengapa harus seperti itu. Mungkin ada yang menganggapnya sebagai penandaan atas posisi “yang terhormat” dan yang otomatis dipandang dengan sendirinya menjadikannya berbeda dari orang-orang lain di dalam masyarakat.

Dengan begitu adalah sebuah keluarbiasaan DPRDSU diseragamkan begitu rupa dengan baju, tak tanggung-tanggung, 3 sekaligus, meniru birokrasi Indonesia yang diinspirasi oleh tradisi militer.

Ketiga, total harga tiga baju sekitar Rp 10 juta itu tidaklah begitu besar diukur dari posisi sosial ekonomi para anggota legislatif. Artinya tidak begitu serius untuk dibincangkan oleh masing-masing anggota Dewan, kecuali ada sensitivitas. Dari monitoring yang diasumsikan mereka lakukan dengan melalui berbagai jalur atau dengan telaahan atas hasil-hasil reses, mestinya lembaga legislatif tidak akan menganggap pengadaan baju itu sebagai hal yang perlu dan penting.

Saya berharap ada gugatan yang berujung pada penolakan rencana ini dari kalangan anggota DPRD Sumut. Uang Rp1 miliar tidaklah banyak, tetapi jika dikirim melalui rekening ke 50.000 dari 694 ribu pengangguran saat ini di Sumatera Utara, sekitar 100 penganggur bisa akan bisa menyambung hidup minimal dua atau tiga hari. (*)

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS).

Exit mobile version