Site icon TAJDID.ID

Rudianto: Komunikasi Berperan Penting Meminimalisir Kesenjangan Antara Masyarakat dan Dunia Kesehatan

Dr Rudianto MSi

TAJDID.ID~Medan || Pakar Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Rudianto MSi menilai, kesehatan dan masyarakat itu sering berseberangan, bertolakbelakang bahkan berlawanan. Padahal,  kesehatan itu adalah hak asasi bagi masyarakat.

“Problemnya, ketika bicara tentang dunia kesehatan seperti jauh sekali antara masyarakat dan kesehatan. Ada kesenjangan yang sangat lebar antara kesehatan dengan masyarakat,” ujar Rudiantoketika jadi narasumber pada acara Seminar Nasional dengan tema ‘Teori Komunikasi dalam Prevensi, Promosi, dan Strategi Pengambilan Kebijakan dengan Pendekatan Antarbudaya’ yang diadakan Pogram Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan Pranada Media Group, Kamis (2/9/2021).

Lantas, letak kesenjangannya dimana?  Wakil Rektor III UMSU ini menjelaskan, misalanya,  ketika masyarakat ditanya tentang apa yang dipikirkannya tentang kesehatan, maka galibnya yang ada dibenaknya dan diungkapkannya adalah tentang biaya kesehatan yang tinggi, harga obat yang mahal, pelayanan kesehatan yang buruk dan sebagainya.

Selain itu, lanjut Rudianto,  kesenjangan masyarakat dengan kesehatan juga terlihat dari persepsi  masyarakat yang menilai dunia kesehatan itu bersifat elitis, eksklusif dan tinggi.

Menurutnya, dalam konteks kehidupan sosial, dokter dan tenaga kesehatan itu memang dianggap tempatnya tinggi, karena mungkin belajarnya mahal, pendidikannya sulit dan masanya panjang serta yang bisa mempelajarinya dalam pandangan umum masyarakat adalah mereka-mereka yang punya uang.

Kemudian industri kesehatan juga dipandang sebagai industri yang padat modal dan mahal, sehingga membuat masyarakat kemudian protes, walaupun kemudian terpaksa memahami dan memakluminya.

“Di sisi itulah kemudian muncul persepsi yang kurang menyenangkan publik terhadap dunia kesehatan, bahwa ada praktik komersialisasi kesehatan, ada konspirasi industri bisnis kesehatan, ada kapitalisme dalam industri Rumah Sakit dan sebagainya,” sebut Rudianto.

“Akibatnya, banyak masyarakat merasa sulit dan tidak senang menerima informasi yang terkait dengan kesehatan,  karena mereka terlanjur  mencurigai itu adalah konspirasi atau cuma keuntungan pihak tertentu saja,” imbuhnya.

Bersambung ke hal 2

Peran Komunikasi dan Budaya

Menurut Rudianto, hambatan-hambatan untuk menerima informasi kesehatan adalah persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia, terlebih dalam konteks menghadapi pandemi Covid-19.

“Karena itu, menurut saya disinilah komunikasi dan budaya berperan penting untuk meminimalisir kesenjangan antara publik dan dunia kesehatan,” tukasnya.

Terkait hal ini, Rudianto menuturkan sebuah kasus yang menjadi  berita heboh baru-baru ini di kota Medan, yakni tentang pasien Covid-19 yang ditagih oleh sebuah RS swasta di atas 450 juta rupiah.

“Ini menjadi problem, kita tidak tahu apakah memang masyarakaat yang datang ke RS itu ketika di awal paham apakah semua RS ditanggung pemeritah kalau mereka kena Covid. Atau memang sudah ada diskusi, tapi masyarakat yang datang itu tidak paham, sehingga kemudia harus menerima kenyataan. Pastinya, tentu itu tidak murah, karena di sisi lain ada tetangganya yang sembuh dengan obat panadol yang harganya cuma 8000 rupiah,” kata Rudianto.

Jadi, kata Rudianto, yang bisa mendekatkan problem dunia kesehatan dengan masyarakat yang butuh kesehatan adalah komunikasi dan budaya, seperti yang panjang lebar dan mendalam dikupas dalam buku Komunikasi Kesehatan Pendekatan Antarbudaya karya Prof Deddy Mulyana dan Dr Leila Mona Ganiem.

Secara khusus Rudianto mengapresiasi penerbitan buku tersebut. Menurutnya, isi buku itu sangat komunikatif, subtantif, komprehensif-teoritik-praksis, imajinatif dan inspiratif.

“Substansi dari buku ini sangat luar biasa. Saya yang bukan berlatar ilmu kesehatan saja ketika membaca buku ini mendapatkan banyak sekali ilmu dan pengetahuan baru tentang bidang kesehatan. Maka, tidak berlebihan jika saya katakan ini adalah salahsatu buku komunikasi kesehatan terlengkap yang memadukan secara komprehensif antara teori-teori komunikasi dan teori-teori kesehatan, serta juga praktik-praktik dalam bidang komunikasi dan bidang kesehatan,” tuturnya.

Baca Juga:

Selanjutnya ia juga menyinggung soal wabah Covid-19 yang menjadi problem kesehatan Trans System Social Ruptures (TSSR) dengan ciri penyebarannya ke seluruh penjuru dunia dengan cepat, tidak jelas asal-muasalnya dan potensi korbannya dalam jumlah besar.

“Covid-19 tidak pandang bulu, tak peduli kelompok, negara, agama, budaya apa,  semua mau tak mau harus beradaptasi dan berupaya mengatasinya. Problemnya masyarakat kita yang mengandalkan nilai-nilai kolektivitas ketimuran ternyata tidak berdaya ketika menghadapi gempuran covid-19. Solusi kumunitas lokal dan parsial tidak memadai dalam penanganan bencana Pandemi Covid-19. TSSR mensyaratkan herd-immunity harus menyeluruh, tidak hanya pada satu daerah, satu wilayah dan satu negara, tapi seluruh dunia,” jelasnya.

Lantas, apa yang harus kita lakukan? Menurut Rudianto, ini adalah persoalan yang harus dipecahkan oleh dunia kesehatan dan komunikasi, dimaana perubahan budaya sangat cepat akibat bencana pandemi covid-19

Dulu, kata Rudianto, sebelum wabah Covid-19 melanda, masyarakat kita dalam menghadapi penyakit atau bencana sangat mengandalakan nilai-nilai budaya sepert gotong-royong, kolektivitas, saling jenguk untuk saling bantu. Tapi ketika Covid-19 muncul hal itu sepertinya tidak cukup bisa diandalakan lagi.

“Disinilah pentingnya komunikasi antarbudaya dibangun, jika sebelumnya berbasis lokal menjadi komunikasi antar budaya yang berbasis global yang sama dan setara,” sebutnya.

Bersambung ke hal 3

Memanfaatkan Teknologi dan Kecerdasan Buatan 

Soal tantangan dunia kesehatan di era globalisasi juga tak luput dari sorotan Rudianto. Menurutnya, globalisasi harus mampu disiasati dan dimanfaatkan oleh dunia kesehatan lokal di Indonesia.

Salah satu caranya adalah dengan pengoptimalan pemanfaatan teknologi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang sekarang ini perkembangannya begitu pesat.

“Saya melihat teknologi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) juga berpotensi untuk membantu merapatkan kesenjangan antara publik dan dunia kesehatan,” katanya.

Dikatakannya, pemanfaatan teknologi dan kecerdasan buatan dapat menaikkan level pemahaman dan status masyarakat yang selama ini merasa tidak setara dengan mereka yang bergelut dalam dunia kesehatan.

Misalanya bagi seseorang yang menderita Covid-19,  perangkat teknologi dan  kecerdasan buatan sangat membantunya untuk  mendapatkan akses informasi kesehatan, sehingga ia merasa lebih optimis untuk mengatasi problem kesehatan yang dihadapinya.

“Sebab, diantar fungsi kumunikasi kesehatan itu adalah untuk mengurangi ketidakpastian, meningkatkan pengetahuan serta kepedulian orang terhadap kesehatan, dan itu bisa dimaksimalkan dengan pemanfaatan teknologi dan kecerdasan buatan,” tutupnya. (*)

 

Exit mobile version