Site icon TAJDID.ID

Leila Mona Ganiem: Komunikasi adalah Jantung dan Seni Kesehatan

Leila Mona Ganiem.

TAJDID.ID~Medan || Penulis buku “Komunikasi Kesehatan: Pendekatan Antarbudaya”, Dr Leila Mona Ganiem MSi CPR CICS CIQaR mengatakan, belajar komunikasi belum dianggap penting oleh profesi kesehatan di Indonesia. Pada hal dunia kesehatan itu erat dengan dunia komunikasi.

“Komunikasi adalah jantung dan seni kesehatan. Karenanya, profesional medis harus meningkatkan pelayanan dengan meningkatkan keterampilan komunikasi mereka. Sebab, keterampilan komunikasi bukan bawaan, melainkan dipelajari,” ujarnya ketika jadi narasumber pada acara Seminar Nasional dengan tema “Teori Komunikasi dalam Prevensi, Promosi, dan Strategi Pengambilan Kebijakan dengan Pendekatan Antarbudaya” yang diadakan Pogram Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) bekerjasama dengan Pranada Media Group, Kamis (2/9/2021).

Baca Juga:

Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa komunikasi antarbudaya dalam konteks kesehatan sangat penting. Oleh sebab itu, profesional medis tidak hanya perlu memahamai pengetahuan biomedis, tapi juga penting memahami budaya masyarakat.

“Budaya itu softwere-nya pikiran. Karena itu, kita tidak bisa mengabaikan cara pandang masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya, termasuk dalam konteks kesehatan,” sebutnya.

Diungkapkannya, urgensi komunikasi antarbudaya ini sudah pernah dibahas dalam International Associates Medical Regulatory Authorities ( IAMRA) Meeting 2020, dimana para regulator medis dari seluruh dunia memberi perhatian pada perbedaan ras dan budaya yang memengaruhi cara mereka melayani.

Menurut Mona, sebagian besar pertemuan klinis dapat dianggap sebagai interaksi antar dua budaya yang berbeda. Artinya, mengingat peran sosiologis dan budaya tenaga kesehatan dan pasien berbeda, maka implikasinya komunikasi verbal maupun nonverbal terkait kesehatan, penyakit, persepsi, sikap, pengetahuan, agenda juga berbeda.

“Oleh sebab itu, harus dipahami, bahwa komunikasi efektif antara dokter-pasien merupakan fungsi klinikal yang utama dalam membangun hubungan yang tidak bisa didelegasikan,” tegasnya.

Ia menjelaskan, bahwa orang sakit itu diliputi oleh perasaan ketidakpastian tinggi tentang kondisi tubuh, durasi kesembuhan, implikasi pada kehidupan, resiko bahaya dan sebagainya.

“Makanya dalam konteks ini komunikasi mengurangi ketidakpastian itu,” kata Mona.

Dalam konteks komunikasi kesehatan, Mona menyebut dokter dan pasien idealnya harus sama-sama aktif untuk kesehatan pasien. Artinya dokter punya pengetahuan, keterampilan dan pengalaman, sedangkan pasien dipandang sebagai ahli dalam kehidupan mereka sendiri

“Jadi ada tanggungjawab bersama yang butuh pendekatan budaya untuk mensinergikannya,” tukas Mona. (*)

 

Exit mobile version