Site icon TAJDID.ID

Pilpres 2024

Oleh: Shohibul Anshor Siregar

Tentu peluang mengamandemen UUD 1945 agar Jokowi bisa memperpanjang dan atau menambah masa jabatannya adalah sesuatu yang perlu dihitung.

Memperpanjang masa jabatan bermakna bahwa jika terdapat structural conduciveness (kondusivitas struktural), kedaruratan karena pandemi covid-19 antara lain bisa menjadi alasan untuk memperpanjang masa jabatan periode keduanya menjadi lebih dari 5 tahun.

Menambah masa jabatan berarti dari 2 periode menjadi tiga atau lebih. Keduanya tidak dapat ditempuh dengan penerbitan UU atau semacam rekomendasi kelembagaan DPD, DPR, dan MPR, misalnya.

Urusannya harus melalui amandemen UUD 1945 yang menetapkan bahwa:

Itulah hal pertama yang saya kira harus dihitung dengan cermat jika ingin menelisik Pilpres mendatang.

Hal kedua tentu saja tentang partai. Jika pilkada diperkenankan memilih calon perseorangan, ketentuan pilpres tak memiliki klausul itu. Ketentuan Pilpres juga mengharuskan dukungan 20 % suara pemilu sebelumnya, 2019, (presidential threshold).

Kalau begitu kita harus melihat data perolehan suara parpol pada pemilu 2019 yang lalu.

  1. PDI-P: 27.053.961 (19,33 persen)
  2. Gerindra: 17.594.839 (12,57 persen
  3. Golkar: 17.229.789 (12,31 persen)
  4. PKB: 13.570.097 (9, 69 persen)
  5. Nasdem: 12.661.792 (9,05 persen)
  6. PKS: 11.493.663 (8,21 persen)
  7. Demokrat: 10.876.507 (7,77 persen)
  8. PAN: 9.572.623 ( 6,84 persen)
  9. PPP: 6.323.147 (4,52 persen)
  10. Perindo: 3.738.320 (2,67 persen)
  11. Berkarya: 2.929.495 (2,09 persen)
  12. PSI: 2.650. 361 (1,89 persen)
  13. Hanura: 2.161.507 (1,54 persen)
  14. PBB: 1.099.848 (0,79 persen)
  15. Garuda 702.536 (0,50 persen)
  16. PKPI 312.775 (0, 22 persen)

Tentu tidak mungkin dibayangkan akan muncul 5 pasangan calon dengan masing-masing didukung oleh 20 % suara pemilu 2019 itu. Mungkin hanya 3 pasangan, atau mengulangi kontestasi yang lalu, hanya 2 pasangan. Anda boleh membuat dugaan tentang ini.

Karena basis dukungan partai, maka hal pertama yang akan mereka pertimbangkan untuk mendukung satu pasangan ialah peluang menang dan bagaimana dukungan itu memiliki dampak positif kepada partai dalam bentuk peningkatan jumlah perolehan suara dibanding pemilu sebelumnya dan reward jabatan di dalam kabinet.

Bersambung ke halman 2

Untuk partai baru targetnya tentu bagaimana tidak tereliminasi parliamentary threshold dan peluang mendudukkan kader dalam kabinet.

Memang akan ada partai yang sebetulnya tak memilih dengan pertimbangan persis serupa itu, karena posisi tawarnya lemah dan menyebabkannya tak ubahnya timun bongkok. Ada tak ada seakan tak begitu diindahkan.

Bagaimana dengan partai baru? Mereka akan dipinang untuk kerja pemenangan, namun tidak dihitung untuk pengumpulan dukungan syarat pengajuan pasangan calon. Karena mereka belum memiliki suara pemilu.

Untuk saat ini mereka hanya memiliki sepucuk surat pengakuan sebagai partai peserta pemilu berdasarkan pemeriksaan badan hukum dan syarat pendirian coverage di luasan wilayah (Kecamatan, Kabupaten, Provinsi) di seluruh Indonesia.

Kini survei sudah bekerja. Tetapi saya tidak begitu tertarik dengan hasilnya untuk dijadikan sebagai dasar analisis masalah ini. Jika survei yang benar saya kira tetaplah nama Prabowo masih akan bertengger pada puncak dukungan, disusul Anies Baswedan dan yang lain. Atau bisa saja Anies Baswenan menempati urutan pertama.

Ganjar yang saya kira sudah “kena pompa survei” beberapa bulan ini dibiarkan saja membaca-baca angka-angka atau grafik warna-warni yang dihasilkan oleh lembaga survei untuknya.

Airlangga Hartarto, Eric Tohir dan Puan Maharani adalah tiga tokoh yang saat ini memiliki posisi penting di dalam pemerintahan. Dengan asumsi bahwa mereka memiliki instrumen untuk menggantang popularitas dan elektabilitas, sangat perlulah dihitung angka kejenuhan statistik survei buat mereka. Baliho dan sepakterjang lain juga akan jenuh sendiri seiring dengan judgment orang di lapangan sesuai keperiadaan hidup yang dihadapi.

Bagaimanapun, figuritas selalu menjadi faktor penting dalam pengukiran popularitas dan elektabilitas sehingga orang seperti Gatot Nurmantyo yang saat ini hanya memiliki keterlibatan penting dalam KAMI dapat saja ditambahkan, tentu saja, dengan faktor pengaruhnya sebagai mantan Panglima TNI yang barangkali sangat mungkin dipastikan lebih besar dari semua Panglima TNI yang masih hidup saat ini dan saat pentas dibuka nanti, terutama kepada jejaring yang bisa dikapitalisasi berdasarkan sentimen korps.

Hitunglah sendiri, bahwa di tengah melemahnya oposisi resmi barisan (KAMI) ini terus bernarasi dan sebagian di antara tokoh mereka berurusan dengan masalah hukum (itu tentu saja sebuah potensi refernsial yang penting). Hukum formal tak selalu selaras dengan perasaan keadilan publik. Begitulah penangkapan, pemeriksaan, peradilan dan vonis untuk mereka itu di mata sebagian rakyat Indonesia.

Soal figuritaslah yang menjadi masalah utama bagi Puan Maharani sehingga ketika seseorang membayangkannya mejadi Calon Presiden, maka pertanyaan selanjutnya yang singgah di benaknya ialah “kira-kira bagaimana cara memenangkannya?”

Proposal itu tak akan berlaku di hadapan Prabowo Subianto, karena meskipun pernah maju menjadi cawapres bagi Megawati, tentu bobotnya tidak sama. Ada orang yang berkata bahwa Prabowo itu sangat kompromistis, bahkan menjadi menteri pun dia mau dalam kabinet seorang Presiden yang mengalahkannya dalam pilpres dan yang dalam pandangannya berdasarkan narasi kampanye berada pada kapasitas amat tak membanggakan.

Karena itu tokoh yang memiliki partai perlu dihitung untuk dipasangkan dengan Puan Maharani jika ia tetap ngotot untuk menduduki jabatan kakeknya tempohari (Soekarno). Maukah Airlangga Hartartro? Maukah AHY? Saya yang melihat keduanya berpeluang untuk itu tentu bisa sangat salah.

Rivalitas sesungguhnya belumlah tiba. Maka tawaran serupa itu akan diapresiasi dengan sangat bijak oleh orang dari partai kawakan Airlangga Hartarto. Sedangkan dengan AHY belum tentu urusannya lebih mudah. Perseteruan Mega-SBY tak mudah untuk dilupakan oleh urusan kepilpresan 2024 bagi kedua trah itu, tentu saja.

Eric Tohir mungkin kelihatan lemah posisi. Sebaiknyakah dia diposisikan sebagai potensi dalam daftar tunggu untuk Cawapres? Bagi Eric Tohir peluang akan makin besar jika makin banyak pasangan, tetapi rasanya akan berhenti sebatas cawapres saja, sebagaimana mungkin Gatot Nurmantyo.

Ganjar Pranowo tentu berfikir keras bagaimana cara melembagakan dukungan yang dapat diakumulasi bagai bola salju hari demi hari sejak dirinya di kandang Banteng dianggap sudah menjadi semacam persona non grata. Harus Anda bayangkan kekuatan bisnis besar di belakangnya untuk bisa tampil dalam pentas kontestasi (emang ada yang tak mengandalkan dukungan serupa? haha). Segera setelah tak lagi menjadi Gubernur Jateng, habislah dia, mungkin. Atau saya salah menganalisis?

Bersambaung ke hal 3

Bagaimana peluang Anies Baswedan? Saya kira figur oposisional Joko Widodo hari ini adalah Anies Baswedan. Meski ada orang yang secara simplistis menganggap ia besutan diam-diam Joko Widodo karena dengan memecatnya dari kabinet tempohari berarti dipastikan bertarung di DKI. Joko Widodo dengan dingin dan dini merencanakan sesuatu untuk Anies Baswedan, begitu tuduhan spekulasi itu.

Kemenangannya saat itu (Pilkada DKI) telah menjadi dasar buat posisi politik Anies Baswedan yang begitu penting saat ini. Jika spekuasi itu benar, bagaimana membayangkan “pengkhianatan diam-diam” terhadap Ahok dan Mega yang menjagokan Ahok termasuk mengajukan Djarot Saiful Hidayat (penjaga makam Bilitar) menjadi wakil bagi Ahok?

Saya menepis spekluasi itu. Posisi oposisionalnya, terhadap pemerintahan Joko Widodo, sebaliknya, sangat penting. Orang awam sampai orang intelektual masing-masing akan dapat mengejawantahkannya menjadi sikap dukungan politik. Barisan Cebong yang tak puas dengan Jokowi akan beredar di antara pasangan yang mungkin saja akan menunjukkan kemenonjolan tertentu di sisi Ganjar Pranowo nanti (Jika nasib Ganjar berlanjut ke pentas kontestasi Pilpres). Kampret tentu akan lebih masuk akal dikelompokkan sebagai pendukung Anies Baswedan.

Tetapi tentu tak semua warga negara bisa dipolarisasikan menjadi Kampret dan Cebong. Karena itu kadar rasionalitas dan irrasionalitas akan sangat perlu dihitung. Rasionalitas yang bekerja akan mengevaluasi Jokowi selama dua periode dan jika ia menyesalinya ia akan pergi ke pasangan yang paling tak mungkin bersinggungan dengan Jokowi. Irrasionalitas bersemi dalam politik keterbelahan ini. Maka sesuai arah “Kaka Pembina”, nanti Cebong akan dituntun lebih kencang memperturutkan gaya populismenya yang didisain sebegitu rupa.

Pemain efektif lainnya pada setiap kontestasi ialah organisasi-organisasi besar. Setidaknya harus dihitung NU dan Muhammadiyah. Dengan posisi Wapes yang diisinya, NU adalah pemain resmi dalam kabinet sekarang dan pada pilpres lalu beroleh penghargaan besar direkrut sebagai suplier Cawapres, KH Ma’aruf Amin.

Ada memang kekecewaan di sana antara lain sejumlah figur yang berselera jadi cawapres, tereliminasi, dan Ketum PPP yang masuk bui ditambah dengan Menpora yang bernasib sama. Itu menorehkan sesuatu juga tentu saja, selain ke depan memungkinkan orang seperti Mahfud MD menimbang dan ditimbang untuk peluang dicawapreskan.

Muhammadiyah tak kentara dalam selera terbaca. Tetapi ia selalu sadarkan diri jika pilahan organisasional, ia tak “selincah” NU dan kemudian ia mematut diri sebagai pendukung diam-diam dan mungkin dengan surat edaran bersayap sembari terus berharap dilirik untuk suatu ketika pasca pelantikan presiden (dimintai untuk mengajukan calon menteri).

Sesuatu terus ia pikirkan, bagaimana untuk tak dianggap bisa dionderbiowkan partai terdekatnya secara historis dan kultural. PAN akan merasa terus agak berkeringat dengan apa-apa saja narasi Muhammadiyah selama musim kontestasi ini (Pileg dan pilpres).

Bersambung ke hal 4

Kebersayapan tentu saja akan menjadi sikap bagi organisasi tertentu meski tak tertutup kemungkinan berterus terang. Itu sesuai kenyataan perkembangan politik yang dihadapi nanti. Itulah bacaan untuk organisasi lain seperti Dewan Gereja dan organisasi yang bernaung di bawahnya meski tetap saja ada kemungkinan mereka tidak satu suara dalam dukungan.

Ada nama-nama yang gambarnya tidak disertakan di sini. Katakanlah Mendagri Tito Karnavian. Ia tentu sangat disukai oleh, misalnya, politik luar negeri Amerika Serikat. Juga diasumsikan bisa memainkan serba sedikit jejaring figur-figur Kepala Daerah yang nanti jumlah pjs-nya begitu banyak.

Tentu ada pengalaman yang cukup dihitung dalam pemeranan diri ketika menjadi Kapolri tempohari, sebab sentimen korps bisa melahirkan dukungan keluarga besar Polri. Tentu saja ini tak mungkin tak dihitung oleh para calon kontestan dan partai-partai yang terus membaca dan menciptakan peta.

Orang dari PKS tentu tidak perlu dianggap secara underestimated karena disiplin mereka di sana begitu kuat dan seandainya pun di lapangan mereka berbenturan dengan sejumlah partai beririsan kedekatan ideologis tetap saja memiliki keunggulan tersendiri. Bukankah jika ia supply Cawapres peta juga bisa begitu dinamis?

Orang membisikkan saya sebuah nama. Mantan Panglima TNI, Moeldoko. Sabar sajalah dulu. Rasanya bintang Jenderal ini telah begitu melemah seketika melakukan kudeta kepada Mayor AHY dan apalagi dengan kegagalannya dalam kudeta itu.

Sekali lagi, kontestasi sesungguhnya belum berlangsung meski hitungan waktu menuju 2024 sebetulnya sudah sangat “mepet” diukur dari dinamika politik.

Di atas segalanya, Pilpres itu hanya agenda demokrasi berkala yang tujuannya untuk merealisasikan tujuan pendirian NKRI. Apa itu? Kita bisa membacanya kembali terutama dalam narasi Pembukaan UUD 1945. Di sana 5 pesan pokok yang sakral:

  1. Menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas permukaan bumi karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Penjajahan itu, sebagaimana Pembukaan UUD 1945 memaksudkannya, tak terbatas kepada pengalaman doeloe dijajah oleh 6 bangsa, tetapi juga bisa sesama warga negara atau kelmpok warga negara. Dimensinya luas. Bisa secara budaya, apalagi secara ekonomi. Ekstrimisme ekonomi dan intoleransinya sangat dajsyat untuk tak dihitung dalam kontestasi pilpres.
  2. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia (manusianya dan wilayahnya).
  3. Memajukan kesejahteraan umum. Ini masih sangat tertutup dari pembicaraan kritis, karena dalam makna yang mendalam ia bisa sebagai lead pembebasan orang dari kewajiban iyuran kesehatan dan kewajiban negara menyediakan lapangan kerja bagi tiap-tiap warganegara [lihat kembali pasal 27 ayat (2) UUD 1945] dan lain-lain yang memerlukan penafsiran filosofis dan moderen. Kewajiban memberi pekerjaan kepada warga tidak identik dengan penerbitan UU Ciptakerja. Itu pasti.
  4. Mencerdaskan kehidupan bangsa yang bisa saja makna mutakhirnya harus ditundukkan pada klausul kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan gratis sejak dasar (TK) hingga lanjut (S3). Asumsi yang dapat muncul dari ketentuan ini ialah bahwa pemerintah tak boleh berdagang atau membiarkan pendidikan menjadi mata dagangan di Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri. Ketentuan alokasi anggaran 20 % untuk pendidikan (APBN dan APBN) harus dihitung ulang untuk mengeluarkan nomenklatur pembiayaan yang tak relevan dalam birokrasi pemerintahan agar fokus sesuai narasi UUD 1945, yakni pendidikan, persekolahan, kurikuler.
  5. Ikut dalam usaha perjuangan atau melawan kendala yang mengganggu atas ketertiban dunia.

Untuk apa pilpres digelar jika rakyat tak makin sejahtera? Apa artinya pemerintahan jika hanya untuk memastikan sumberdaya terbagi di kalangan elit semata atau kekuatan asing yang terus bercokol. Narasi perlawanan atas semua ketakwajaran konstitusional harus dihidupkan.

Rakyat harus diajak berhenti tanpa arah dan tanpa kesadaran yang menyebabkannya membiarkan diri menjadi korban kejahatan politik terbiarkan, yakni praktik jual beli suara.

Satu hal yang perlu sama-sama diwaspadai ialah arang habis besi binasa. Artinya pemilu dan pilpres mendatang bisakah ditegakkan memiliki integritas dengan kadar jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya? (*)

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (‘nBASIS).

Exit mobile version