Site icon TAJDID.ID

Alpha: Putusan Banding Nurhadi Membuat Pejabat Makin Tidak Takut Korupsi

Mantan Sekretaris MA, Nurhadi. (merdeka.com)

TAJDID.ID~Jakarta || Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra mengatakan, putusan banding atas perkara Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi tersebut masih mencederai rasa keadilan publik. Karena itu sangat layak jaksa untuk kasasi guna menguji apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya oleh majelis hakim banding mengacu pasal 253 KUHAP, termasuk guna membatalkan putusan pengadilan Banding Nurhadi.

Menurut Azmi, karakteristik perbuatan Nurhadi dalam melakukan perbuatan korupsi yang sangat sistemik, terencana dan sengaja malah bekerja sama dengan menantunya untuk ikut menerima suap dan gratifikasi terkait perkara termasuk dalam proses jual beli putusan hakim di Mahkamah Agung.

“Ini sangat miris, sebagai orang yang punya jabatan di Mahkamah Agung, malah menyalahgunakan jabatannya bukannya ia menjaga kehormatan lembaga pengadilan tetapi justru menjadi pelaku menerima suap, gratifikasi dan menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi dan dalam aksinya berkolaborasi dengan menantunya,” ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, Sabtu (17/7).

Kalau hukumannya seperti ini, kata Azmi, orang semakin tidak takut korupsi.

“Serasa di penjara pelaku dapat gaji dengan uang suap dan gratifikasi selama ini ia terima,” tegas Azmi.

“Apalagi dalam putusan ini tidak pula dikenakan hukuman pembayaran uang pengganti, uang puluhan milayar yang diterima selama ini jadi aman, bisa dipergunakan terdakwa,” imbuhnya.

Lebih lanjut dikatakannya, pidana penjara terhadap Nurhadi sebenarnya bisa dijatuhkan lebih berat,  setidaknya memenuhi tuntutan jaksa 12 tahun.

Beberapa hal menurut Azmi yang bisa menjadi pemberat adalah, unsur menerima suap, hadiah dan janji yang terbukti di persidangan, serta ia dengan jelas dan nyata menyalahgunakan jabatannya sebagai salah satu unsur penyelenggara strategis di Mahkamah Agung selaku sekretaris Mahkamah Agung termasuk ia juga berstatus buronan Daftar Pencarian Orang(DPO).

Ia menyinggung, fenomena vonis lebih tinggi dari tuntutan ini juga pernah terjadi dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.

“Jadi sangat bisa perberat terkait hukumannya kalau hakim berani melakukan terobosan hukum dalam hal ini terkait lamanya putusan pemidanaan badan pada terdakwa mengingat karakteristik perbuatan pelaku,” ujar Azmi.

Azmi Syahputra.

Jika praktik peradilan tidak bisa terus memberikan keadilan, sebagaimana diketahui pemangkasan vonis juga pernah terjadi di kasus Pinangki, maka Azmi khawatir publik pun semakin sulit berharap pada lembaga peradilan.

“Sulit mengharapkan kualitas penegakan hukum kalau pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan, tidak lagi menjaga kewibawaan peradilan. Seolah dengan praktik putusan yang ada, lembaga penegak hukum terpeleset dan terjerumus ke dalam praktik kepentingan,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam putusan tanggal 28 Juni 2021, majelis hakim tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 45/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst.

Nurhadi divonis bersalah dalam perkara suap dan gratifikasi terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan sekitar Rp49 miliar. Ia terbukti menerima suap dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto, dan gratifikasi dari sejumlah pihak.

Nurhadi dan Rezky masing-masing divonis pidana enam tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara bagi Nurhadi dan Rezky 11 tahun penjara.

Hakim menilai kedua terdakwa terbukti menerima suap sebesar Rp35.726.955.000,00 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto. Angka ini lebih kecil daripada tuntutan jaksa yang menyebut nilai suap mencapai Rp45.726.955.000,00.

Selain itu, kedua terdakwa menerima gratifikasi sebesar Rp13.787.000.000 dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2016.

Data ini juga berbeda dengan jaksa yang menyatakan penerimaan gratifikasi mencapai Rp37.287.000.000,00.(*)

Exit mobile version