Site icon TAJDID.ID

Indonesia Tolak R2P, Abdul Hakim Siagian: Alasan Jubir Kemenlu Mengada-ada dan Memalukan

Abdul Hakim Siagian

TAJDID.ID~Medan || Indonesia menjadi perbincangan setelah menolak resolusi Responsibility to Protect (R2P) di Sidang Umum PBB pada Selasa (18/5) lalu.

Indonesia jadi salah satu dari 15 negara yang memilih No atau Tidak Setuju dalam pemungutan suara terkait resolusi yang bertujuan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya. Sedangkan 115 negara lainnya mendukung yang merupakan usulan kroasia tersebut.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah pada Kamis (20/5) menjelaskan ada 3 alasan Indonesia menolak resolusi perdamaian tersebut.

Pertama, tidak perlu membentuk mata agenda baru, karena selama ini pembahasan R2P di Sidang Majelis Umum PBB sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen PBB selalu dapat dilaksanakan.

Kedua, pembahasan R2P oleh Sidang Majelis Umum PBB selalu bisa dilaksanakan dan sudah ada mata agendanya, yaitu follow up to outcome of millenium summit.

Ketiga, Konsep R2P juga sudah jelas tertulis di Resolusi 60/1 (2005 World Summit Outcome Document), paragraf 138-139.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara Bagian Hukum dan HAM, Dr Abdul Hakim Siagian SH MHum menilai, alasan jubir Kemenlu ini bila benar demikian tak lucu, mengada-mengada, berbau amis, memalukan dan memilukan.

Menurut Abdul Hakim Siagian, harusnya sebagai Anggota Dewan HAM mestinya Indonesia lebih proaktif, apalagi konstitusi republik ini, yakni UUD 45 luar biasa dan sudah sangat tegas dalam mengatur, melindungi/menjunjung tinggi HAM.

“Namun dalam praktik yang terjadi baru sebatas retorika, masa lalu tak jelas dan kasus-kasus baru dugaan pelanggaran HAM ‘subur’,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) ini, Jum’at (21/5)..

“Jadi, bila dihubungkan situasi dalam negeri sikap itu sebelasduabelas. Artinya, nyaris konsisten,” imbuhnya.

Bahwa karena sikap itu lumayan memalukan, maka  kata Abdul Hakim Siagian, harusnya pantas diusut kenapa jadi demikian, paling tidak kaitan tanggungjawab besarnya biaya dari uang rakyat.

Sebagai anggota HAM PBB itu, Abdul Hakim Siagian berharap penggiat HAM dan DPR segera merespon hal ini dengan standar konstitusi negara.

“Tentu sembari mendesak agar proaktif dalam mencegah kasus-kasus pelanggaran HAM di manapun, serta memberi limit waktu untuk menuntaskan pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu.

Sejauh ini, menurut Abdul Hakim Siagian penyelesaian atas dugaan berbagai pelanggaran HAM masa lalu hingga kasus-kasus terakhir nampaknya menyedihkan bahkan nyaris tanpa ada kemajuan yang berarti.

“Diperparah lagi karena Komnas HAM dengan keterbatasannya lebih mengambil jalan ‘aman’. Artinya, praktik pelanggaran HAM terus tumbuh dan negara cq pemerintah cenderung terkesan abai dalam mencegahnya,” sebutnya.

Jadi, kataAbdul Hakim,  sikap indonesia ini memalukan dan memilukan serta harus diminta pertanggungjawaban,

“Sebab itu nyata-nya menyimpang dari konstitusi kita, yakni Pasal 28 i Ayat 4 UUD 45 dan pasal 28 g Ayat 1, dinyatakan, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang ada dibawah kekuasaanya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi,” jelasnya.

“Dikunci dengan Pasal 28 a, menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya,” kata Abdul Hakim Siagian.

***

Kemudian, terkait persoalan ini, Abdul Hakim Siagian membeberkan, bahwa pada tanggal 17 Oktober 2019 lalu Indonesia terpilih sebagai anggota HAM PBB periode 2020 – 2022.

“Berita itu menggembirakan dan berharap bahwa HAM dalam negeri dan tentu juga diberbagai negara lain akan mendapatkan perhatian kita. Hal itu sesuai dengan Pasal 28 i uud 45 ayat dinyatakan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah. Pasal ini buah Amandemen UUD45 yang kedua,” tutupnya. (*)

 

 

Exit mobile version