Site icon TAJDID.ID

Konsistensi Pencerahan Melalui “Psychological Empowerment” Demi Mewujudkan Ikatan yang Berkemajuan

Oleh: M. Rizky Anshori Manurung


Pendahuluan
Organisasi adalah wadah atau tempat berkumpulnya orang yang saling berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tetentu yang telah dibuat bersama-sama. Di samping itu kita sebagai mahasiswa mungkin sudah biasa mendengar kata organisasi, biasanya mahasiswa sering terlibat di organisasi kemahasiswaan, karena mahasiswa disebut sebagai “Agent of Change”.

Organisasi Kemahasiswaan adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa kearah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawan serta integritas kepribadian yang disiapkan untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan yang dapat diterapkan dan dikembangkan, serta di upayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) merupakan sebuah organisasi mahasiswa islam, sekaligus Organisasi Ortom Muhammadiyah yang begerak di bidang Keagamaan, kemahasiswaan, Kemasyarakatan. IMM dibentuk di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964. IMM sendiri memiliki tujuan “ Mengusahakan Terbentuknya Akademisi Islam yang Berakhlak Mulia Dalam Rangka Mencapai Tujuan Muhammadiyah”.

Dengan identitas IMM yang merupakan sebuah organisasi gerakan mahasiswa. IMM dapat menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan ide-ide pembaharuan dan pengembangan. Sebagaimana yang tertuang dalam tri kompetensi dasar IMM, yaitu religiusitas, intelektualitas, dan humanitas kader IMM memiliki tanggung jawab terhadap 3 bidang tersebut. Meskipun berada pada era industri 4.0, kader IMM diharapkan selalu dapat menjawab tantangan di era sekarang ini. Kader IMM harus memiliki konsistensi pencerahan melalui psychological Empowermentdemi mewujudkan ikatan yang berkemajuan.

Suatu organisasi ingin maju dan berkembang membutuhkan adanya sumber daya manusia yang handal. Sumber daya handal memiliki kompetensi, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, serta merasa mampu mempengaruhi kinerja organisasi. Keyakinan individu akan kemampuannya untuk melakukan kegiatan terkait keterampilan dan kompetensi disebut “Psychological Empowerment”. Sehingga dapat dikatakan sumber daya manusia yang handal adalah sumber daya manusia yang memiliki Psychological Empowerment. IMM yang merupakan organisasi intelektual harus bisa menciptakan sumber daya manusia yang memiliki “Psychological Empowerment”.

Empowerment atau pemberdayaan memiliki dua perspektif yang berbeda. Perspektif pertama pemberdayaan dilihat dari sisi atasan, yaitu sebagai rangkaian rangkaian aktivitas oleh atasan untuk memberi kuasa, kendali, wewenang kepada bawahan. Pada perspektif ini pemberdayaan diartikan bahwa organisasi memastikan anggotanya memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk menjalankan fungsi organisasinya.

Perspektif yang kedua, dilihat dari sisi bawahan, pada perspektif ini, bawahan yang memiliki pemberdayaan dalam diri adalah bawahan yang memahami bahwa mereka telah memiliki perasaan berdaya. Pemberdayaan pertama kali oleh conger dan kanungo (1998) sebagai proses bawahan mendapatkan perasaan efikasi diri dalam bekerja. Kemudian Thomas dan Velthouse (1990) mendefenisikan pemberdayaan sebagai proses meningkatkan motivasi instrinsik seseorang.

Psychological Empowermentdapat mempengaruhi inisiatif dan keteguhan bawahan dalam mengerjakan tugas. Inisiatif individu untuk meningkatkan usahanya dalam mengerjakan suatu tugas yang diberikan, akan tergantung pada ekspektasi untuk mengukur berapa banyak usaha yang dikeluarkan, kemudian ekspektasi ini akan mempengaruhi kinerja. Kinerja yang diinginkan tersebut akan mengarah pada hasil yang di harapkan. Seseorang akan mengerjakan tugas dengan mempertimbangkan seberapa besar usaha yang akan dikeluarkan dan hasil yang diharapkan dari usaha tersebut.

Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan, dengan meningkatkan Psychological Empowerment bawahan, akan mempengaruhi inisiatif dan konsitensi bawahan lalu berkembang pada meningkatkan ekspektasi dan berakhir pada peningkatkan kinerja individu tersebut.

Berdasarkan deskripsi di atas IMM harus mampu memanajemen sumber daya manusia, yang mana didefenisikan oleh Snell dan Bohlander (2013) manajemen sumber daya manusia adalah sebagai proses mengelola talenta manusia untuk mencapai tujuan organisasi.

Terdapat 5 fungsi dalam pengelolaan organisasi berdasarkan pada Dessler (2017), yaitu perencanaan, pengorganisasian, staffing, leading, dan controlling. Perencanaan berkaitan dengan pembuatan tujuan dan standar, mengembangkan peraturan dan prosedur, dan pengembangan, rencana dan peramalan (forecasting).

Pengorganisasian berhubungan dengan pembuatan departemen, pembagian tugas setiap bawahan dan mengkoordinasikan pekerjaan bawahannya.

Staffing berkaitan dengan penentuan tipe anggota yang seperti apa yang akan dipekerjakan oleh organisasi, merekrut calon anggota, memilih anggota, mengatur standar kinerja, memberikan konspensasi, mengevaluasi kinerja, memberikan konseling pada anggota, dan memberikan pelatihan dan pengembangan.

Leading berhubungan dengan membuat anggota untuk menyelesaikan pekerjaannya, mempertahankan moral anggota, dan memotivasi anggota.

Controling berkaitan dengan mengatur standar kualitas, atau level produksi. .Diharapkan kader IMM mampu menerapkan 5 fungsi tersebut untuk meningkatkan SDM kader – kader IMM.

Proses Empowerment
Pada saat bawahan merasa tidak mampu atau tidak berdaya, kebutuhan akan empowerment menjadi penting. Untuk itu, dengan mengindentifikasi kondisi-kondisi dalam organisasi yang mempunyai andil dalam meningkatkan perasaan tersebut, seperti kurangnya sitem informasi, meningkatnya kediktatoran, menurunnya pemberian penghargaan dan melemahnya tingkat partisipasi, menjadi sangat penting. Namun tidaklah mudah menghilangkan kondisi eksternal dan tidaklah cukup bagi bawahan untuk di perdayakan kecuali informasi yang meningkatkan self-efficacy telah dipersiapkan.

Menurut Wood dkk (2001) ada empat dalam melakukan proses empowerment.

Langkah 1

Mengidentifikasi faktor – faktor yang menyebabkan melemahnya motivasi indvidu (self – efficacy) yaitu :

  1. Faktor-faktor desain pekerjaan, misalnya aturan yang tidak jelas, tujuan yang tidak realistis,kurangnya partisipasi dan menurunnya pencapaian kerja.
  2. Faktor organisasi, misalnya kurang sistem informasi dan iklim birokasi yang tidak menunjang.
  3. Bentuk reward, misalnya hanya menekankan pada kegagalan, serta kurang mengkomunikasikan dan memberikan penghargaan pada bawahan, dan
  4. Gaya kepemimpinan atasan, misalnya gaya kepemimpinan otoriter.

 

Langkah 2

Menerapkan strategi manajemen dan teknis untuk mengurangi negatif yang terdapat pada langkah pertama.

  1. Menanamkan kebijakan pelayanan, pegawai seharusnya dipercayakan menangani situasi non rutin agar anggota memiliki gambaran menyeluruh terhadap organisasi dan mengerti bahwa sebenarnya peran mereka mempengaruhi anggota lain dan ikut serta mempengaruhi tercapainya tujuan organisasi.
  2. Memotivasi penguasaan kerja, melakukan coaching pendidikan dan pelatihan untuk menjamin tercapainya keberhasilan performasi kerja.
  3. Menciptakan kebebasan untuk bertindak, memberi semangatkepada anggota, jika anggota melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya pimpinan akan mendukung usaha-usaha tersebut bahkan jika mereka melakukan kesalahan dalam pekerjaannya.
  4. Menyiapkan masukan yang tepat, anggota memerlukan umpan balik rutin (regular feedback) yang detail untuk menguatkan perilaku positif anggota dan meningkatkan kepercayaan diri. Bawahan juga perlu tau jika usaha mereka berlawanan dengan harapan apa yang dirasakan dan dipikirkan pegawainya.
  5. Mendemonstrasikan keterampilan mendengar aktif, inti dari kemampuan ini adalah bawahan yang melakukan pekerjaan adalah orang yang memiliki ide – ide terbaik untuk mengembangkan pekerjaan tersebut. Untuk itu pimpinan sebaliknya mendengar apa yang dirasakan dan dipikirkan pegawainya.
  6. Belajar bagaimana mengembangkan pegawai, pimpinan harus belajar “ mengizinkan” bawahannya jika memiliki pendapat baru yang dapat membantu organisasi untuk berkembang. Atasan hendaknya memperlakukan bawahan sebagai partner dan dalam posisi yang sejajar dengan dirinya serta menghargai usaha-usaha yang telah dilakukan bawahan. Selain itu memberika pelatihan untuk merealisasikan pendapat tersebut, jika dibutuhkan.
  7. Mendukung berbagai pendekatan dan mentode yang berbeda untuk mencapai standar yang telah ditetapakan organisasi dan menghargai usaha – usaha tersebut.
  8. Mengembangkan keterampilan menajemen partispasi, memotivasi bawahan untuk ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi pekerjaan mereka.
  9. Memberikan modelling, bawahan sedapatnya dapat mengobservasi seorang model yang mampu mencontohkan perfomasi terbaik seperti apa yang diinginkan sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki bawahan. Pimpinan dapat memotivasi mereka sesuai dengan “contoh terbaik” tersebut.
  10. Menciptakan job encrihment ,meningkatkan pencapaian kerja dengan membuat anggota bertanggung jawab terhadap aspek-aspek penting dalam pekerjaannya sehingga bawahan merasa memiliki rasa kontrol yang besar terhadap pekerjaannya.

Langkah 3

  1. Menyediakan informasi-informasi tentang efikasi kepadai anggota, tahap ini bertujuan selain untuk memodifikasi perilaku anggota juga untuk meningkatkan motivasi individu (self – efficacy).
    Dalam tahap ini ada empat pendekatan yang dapat digunakan :
  2. Membangun kompetensi dengan membuat struktur pelatihan dan pembelajaran organisasi sehingga anggota memperoleh keterampilan baru.
  3. Modelling yaitu menciptakan kondisi yang kondusif agar anggota dapat mengobservasi anggota lain yang melakukan pekerjaannya dengan sukses.
  4. Pemberian semangat dan persuasi, melalui verbal feedbackdan teknik persuasi lainnya untuk memotivasi dan menguatkan keberhasilan kerja.
  5. Pemberian dukungan emosional bagi anggota dan meminimalkan tingkat gangguan emosional seperti kecemasan, stress, dan ketakutan ketika melakukan kesalahan, kesalahan hendaknya dilihat sebagai bagian dari proses belajar.

****

Langkah 2 dan 3 diatas untuk menghilang kondisi yang teridentifikasi pada tahap 1 untuk mengembangkan perasaan positif atas keyakinan efikasi dalam diri anggota. Untuk meningkatkan konsistensi Psycholgical Empowerment demi mewujudkan ikatan berkemajuan, kader IMM harus bisa mengikuti langkah-langkah yang sudah dijelaskan. Sehingga kader IMM memiliki kualitas SDM yang unggul dan memiliki konsitensi dalam berikatan.

Langkah 4

Menciptakan mental “can-do” dan memperdayakan pengalaman bagi anggota. Ketika tahap 2 dan 3 berjalan sukses, bawahan akan meningkatkan usaha dalam pencapaian perfomansi kerja. Sesuai teori expatancy, bawahan akan mengerti dan akan melakukan usaha – usaha peningkatan kerja karena kondisi dan harapan yang diinginkan bawahan dipenuhi oleh pimpinan.

Hambatan pada Epowerment

Dalam menerapkan suatu hal yang kita inginkan pastinya ada hambatan, termasuk dalam hambatan dalam menerapkan empowerment. Ada beberapa hambatan dalam mendelegasikan power dalam organisasi. Tannebon (1968) dikutip dari Hollander dalam organisasi terbatas, tetapi masih bisa dikembangkan lewat pedelegasian dan penggunaan power dalam organisasi. Namun dengan memperdayakan seseorang berarti pimpinan akan kehilangan power itu sendiri. Hal ini biasanya terajdi pada pemimpin yang menginginkan power untuk mencegah dirinya untuk tidak kehilangan power. Selain itu pemimpin masih enggan untuk mendelegasikan pekerjaannya apabila berhubungan dengan kualitas pengambilan keputusan, karena mereka tidak percaya bahwa bawahan mereka dapat memperoleh kualitas keputusan seperti yang mereka lakukan.

Yulk (1998) juga menjelaskan bahwa kegagalan memperdayakan dapat mengakibatkan tugas-tugas terganggu karena sejumlah pimpinan hanya melakukan pekerjaan atau tugas-ugas yang mengenakan diri mereka sendiri dan hanya mendelegasikan dan hanya membosankan kepada bawahan.

Kesimpulan

Empowerment dapat dianggap sebagai prosedur keputusan yang terdiri atas beberapa tahap. Empowerment melibatkan tanggungjawab terhadap bawahan. Kesuksesan Empowerment sebagai alat produksivitas banyak bergantung pada bagaimana menjalankannya.

Sehubungan dengan Empowerment anggota perlu dilatih (coaching) agar dapat belajar mengembangkan power dan potensi (selft – efficacy) yang ada pada dirinya. Dalam hal ini, dukungan khusus di perlukan buat anggota agar lebih nyaman dalam mengembangkan power.

Walaupun terdapat beberapa hambatan atau batasan dalam Empowerment, namun seseorang atasan hendaknya tetap sensitive dan peduli akan keadaan organisasinya khususnya bawahannya sebab aksi negative akan muncul sebagai bentuk protes jika bawahan merasa tidak puas.

Adapun yang perlu mendapatkan perhatian dari atasan adalah sejauh mana organisasi kehilangan kemampuan untuk mengontrol perilaku bawahan. Jika bawahan gagal mengenali legtiminasi power dimana sanksi tidak dapat dilakukan ketika pelanggaran terjadi, khususnya dalam pemerintahan, maka perfomasi kinerja yang diinginkan tidak akan tercapai.

Untuk itu, perhatian yang perlu ditunjukan disini adalah sejauh mana atasan mampu mengontrol power yang telah didelegasikan pada bawahannya agar sesuai dengan tujuan organisasi. (*)


Penulis adalah Sekretaris Bidang Kesehatan PC IMM Kota Medan.

Exit mobile version