Oleh: Satriansyah Den Retno Wardana, Mahasiswa Fakultas Hukum UMSU
Pembuka Diskursus
Pada era ini, terlebih lagi dalam hangatnya kontestasi politik dunia, khususnya di Indonesia. Perbincangan tentang agama dan negara menjadi diskursus yang strategis. Mungkin saja hal ini disebabkan karna, diskursus agama dan negara secara konkret akan menghasilkan keuntungan elektoral tertentu bagi salah satu kubu petarung politik.
Dalam diskursus tersebut, pembahasan seakan menghasilkan paradigma bahwa agama adalah ‘ibu kandung’ negara yang dapat dimaknai bahwa agama adalah sumber dari tuntunan kehidupan politik. Disisi lain, agama juga cenderung di arahkan menjadi ‘anak tiri’ yang dapat dimaknai bahwa agama sama sekali tidak boleh menyatukan diri dengan politik.
Persoalan semacam ini tak hanya melanda Indonesia, negara-negara di Eropa juga pernah merasakan iklim pertarungan eksistensi agama dengan negara. Peristiwa inila yang menjadi asbabun nuzul nya ideologi sekulerisme. Yang pada masa itu diawali denga revolusi rakyat Eropa yang menentang pihak agama dan gereja yang bermula dengan pimpinan Martin Luther, Rossieu dan Sinoza. Yang akhirnya Prancis menjadi negara pertama yang dibangun dengan sistem pemerintahan tanpa intervensi agama pada tahun 1789 M. Dan peristiwa yang amat kental terkait munculnya sekulerisme adalah disebabkan mosi tidak percaya masyrakat Eropa kepada agama Kristen pada abad 15, yang beberapa abad lamanya membawa masyarakat Eropa tenggelam kedalam ‘The Dark Age’.
Dalam dunia Islam, ideologi sekularisme juga pernah menerpa. Pada kurun ke-20, Turki menjadi negara pertama yang mengamalkan ideologi ini dibawah kepemimpinan Mustafa Kamal Artatruk. Yang selanjutnya menular ke negara islam yang lain, seperti Mesir, Algeria, Tunisia dan lainya. Dan pada dewasa ini, Indonesia seperti kembali merasakan hawa sekulerisme yang mulai muncul di tengah-tengah perpolitikan Indonesia. Yang pada hakikatnya, menunjukan sikap alergi terhadap agama.
Hal ini harus menjadi diskursus penting dalam peta pemikiran aktivis islam, dikarenakan masa depan aktivis islam adalah negara yang non-sekularisme. Hal ini sangat kentara diprediksi, sebab segala khazanah pengetahuan islam yang di pelajari aktivis islam akan menjadi landasan berfikir seorang stake holder pada masanya nanti. Jika bangsa dan negara ini sudah menjadi negara sekuler, jelas saja segala ilmu dan pengetahuan islam akan berubah menjadi benda arkeologis yang tertimbun pemikiran barat sekuler. Padahal sesungguhnya, islam sudah sangat banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran tentang ilmu poltik dan pemerintahan (syiasah), yang digunakan di negara-negara di dunia. Pertarungan ini dapat saja di menangkan oleh sekulerisme, jika aktivis islam tak mampu menuangkan konsep islam kedalam gelas pemikiran masyarakat. Maka dari itu, makalah ini akan memberikan pemaparan diskursus pemikiran tentang kekayaan budaya islam tentang pemerintahan yang harus tetap di pertahankan di tengah badai sekularisme ini.
Pada tulisan ini, digambarkan tentang bagaimana kondisi hubungan antara islam dan negara (politik) dari berbagai sumber yang berasal dari penjuru negri, digambarkan dengan cara mengulas sejarah islam sampai kemasa pra-modern, kemudian memaparkan tentang esnsi dari ajaran islam tentang politik yang meskipun disajikan melalui pemikiran beberapa tokoh asing dan nasionalis-agamis Indonesia, kemudian di bagian akhir di paparkan sejumlah rekomendasi posistif-konstruktif bagi pemikiran politik islam untuk kelangsungan hidup politik islam.
I. Kondisi Fluktuasi Hubungan Islam dan Negara di Tengah Ideologi Sekularisme.
Islam dan Negara
Konsep Ibn Taimiyah tentang konsep mengenai kebutuhan manusia akan negara didasarkan pada akal dan hadist. Argumen rasionalnya terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung, bekerjasama dan menikmati berbagai manfaat kepemimpinan tanpa peduli apakah mereka menganut agama atau tidak. Argumen rasional itu juga di perkuat dengan beberapa landasan hadist dan sunah nabi yang menekankan akan pentingnya kepemimpinan dan pemerintahan. Contohnya adalah sabda; “Bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka selayaknya salah satu diantara mereka menjadi pimpinan,” dan juga sabdanya “60 tahun dibawah tirani lebih baik dari pada satu malam tanpa pemerintahan” kemudian “ Sungguh, Allah pasti suka jika tiga hal berikut dapat terwujud; kamu menyembah dan tidak pernah menyekutukan-Nya, kamu mengikatkan diri erat-erat pada tali Allah dan kamu memberikan saran kepada siapapun yang ditunjuk Allah untuk memimpinmu”.[1] Kemudian Ibn Taimiyah menyimpulkan bahwa praktek pengukuhan pemerintahan adalah tugas agama yang mesti diatuhi setiap muslim disamping sebagai sarana agar manusia lebih berkesempatan mendekatkan diri kepada Allah.[2]
Memang, istilah negara (dawlah) tidak disinggung dalam Quran maupun Sunah, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat di temukan dalam kitab itu.[3] Namun Quran menjelaskan seperangkat prinsip dan fungsi yang dapat diterjemahkan dengan adanya tata tertib sosio-politik bagi tegaknya negara. Termasuk didalamnya keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan dan kehakiman. Dalam Quran juga bisa ditemukan hukum-hukum yang bersifat umum dan hukum yang mengatur langsung masalah pembagian harta rampasan perang atau upaya untuk menciptakan perdamaian. Lebih dari itu, berbagai tugas keagaman penting yang ditentukan Quran dan Sunnah seperti mengumpulkan zakat, menghukum tindakan kriminal, distribusi manfaat dikalangan yang berhak menerimanya dan organisasi jihad tidak dapat terlaksana dengan sempurna tanpa intervensi penguasa politik yang resmi. Aspek fungsional inilah yang sering ditekankan Ibn Taimiyah dalam berbagai pandanganya tentang negara. Ia mengatakan bahwa agama dan negara sungguh saling berkelindan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama dalam keadaan bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi tiranik.[4] Melihat tegaknya keadilan berarti melaksanakan perintah dan mempersiapkan bagi kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi Allah.
Adapun polarisasi dalam pemikiran politik dalam memandang islam dan politik atau agama dan negara. Pertama, pola pemisahan yang dilihat dari segi legitimasi kekuasaan, bahwa kekuasaan yang di absahkan dengan basis agama sudah tidak lagi sesuai pada etika politik negara modern. Yang menjadi kelemahan utama legitimasi jenis ini yang meletakan pemahaman inti tentang agama bahwa hakikat kekuasaan tersebut berasal dari alam gaib atau Ilahi.[5] Kedua, hubungan antara agama dan negara adalah hubungan yang komplementer. Konsepsi “nasionalisme islam” Soekarno yang mengkehendaki pemisahan antara agama dan negara dengan argument; (1) penyatuan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, (2) hal itu dimungkinkan oleh watak hokum Islam yang lentur, dan (3) tidak ada consensus ahli agama tentang bersatunya agama dan politik. Yang kemudian Soekarno memberikan peluang kepada umat islam untuk berjuang dijalur politik dengan berjuang dijalur parlemen. Ketiga, hubungan agama dan negara yang tergolong dalam pola hubungan yang bersifat integratif, yang terbagi lagi kedalam tiga konsep; (1) integrasi total dan ideologis (2) integrase dalam konsepsi negara dan Pancasila adalah negara islam (3) integrase non-idiologis dan non-formal, yang mirip dengan komplementer “nasionalisme Islam” Soekarno.
Dunia Tanpa Islam
Fuller, mantan Wakil Kepada Dewan Intelijen Nasional CIA yang kini mejadi guru besar ilmu politik di Simon Fraser University, Vancouver, Canada. Memberikan pandangan bahwa, absurd jika dunia tanpa islam. Yang dimana agama ini sudah menjadi realitas historis sejak abad ke-7 M, yang membuktikan bahwa kaum muslimin terhapus dari sejarah. Memang ketika Fuller menggunakan istilah “Islam”, ia mengacu kepada “Islam Timur Tengah”, dan tidak secara eksplisit merujuk kepada kaum Muslimin di Kawasan Nusantara Indonesia misalnya. Dengan begitu, ia memperlakukan islam secara monolitik. Dan juga tidak memerdulikan kesenjangan antara cita ideal islam dengan living islam di dunia Arab dan lainya. Dalam karyanya, Fuller membahas tentang hubungan yang terjadi sepanjang sejarah antara masyarakat-masyarakat Muslim Timur Tengah dengan komunitas agama lain di Eropa dan juga masa kontemporer di Amerika Serikat, jika dalam episode tertentu sejarah memburuk, maka menurut Fuller, Islam bukanlah penyebab utamanya dan bukan pula penyebab keduanya. Jika ada ketegangan antara komunitas-komunitas Kristiani Eropa dengan masyarakat Muslim, hal itu sudah mendapatkan preseden dalam ketengan dan konflik di antara Kristiani Ortodoks Timur (Bizantium) dengan Kristiani Katolik Roma.
Jika Islam tidak menancapkan eksistensinya di kebanyakan wilayah Timur Tengah, besar kemungkinan wilayah ini masih dibawah wilayah kekuasaan greja ortodoks timur. Dan hubungan kedua ereja ini telah diwarnai kecurigaan timbal balik dan penuh racun selama dua millennium-meski sebenarnya mereka berbagi banyak tradisi yang sama. Bagaimanapun, kehadiran islam sebagai suatu kekuatan agama, sosial, budaya, dan politik menambah kompleksitas ketegangan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, tidak mungkin ada dunia tanpa islam.
Sekularisasi Politik Islam
Modernisasi didalam dunia Islam dimulai sejak abad ke 19. Berbagai program reformasi (Tanzimat) yang dilakukan untuk menandingi barat dimulai pertamakali oleh penguasa Ustmani dibawah pimpinan Sultan Mahmud II (1808-1939). Yang pada mulanya modernisasi tidak meluas keseluruh sendi kehidupan umat muslim. Modernisasi dilakukan terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Tetapi pada paruh abad ke 19, modernisasi merambat kepada bidang kehidupan lain. Dalam program Tanzimat, Lembaga-lembaga keislaman mendapat tantangan dari pedirian lembaga-lembaga serupa yang dikungkung oleh negara modern dan di ilhami gagasan dan konsep Eropa. Sekolah sekolah baru bersifat sekuler di dirikan untuk melatih kalangan militer dan korps birokrasi dengan mengorbankan madrasah-madrasah tradisional, ketentuan hukum dan pengadilan Eropa diberlakukan dan menggantikan Syariah. Dengan begitu, lembaga-lembaga tradisional dalan negara islam pelan-pelan dimatikan melalui proses sekularisasi bertahap; pemisahan agama dari lembaga dan fungsi kenegaraan.[6]
Proses modernisasi Islam yang dilakukan oleh pemeritah-pemerintah muslim pada abad ke 19 diikuti munculnya pergerakan modernis islam di dunia Arab dan Anak Benua India. Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan antara agama dari politik dikarenakan bagi mereka Islam hanya terbatas pada masalah moral dan pribadi. Mereka berpaling ke Barat untuk memperbarui segi sosiopolitik dalam kehidupan manusia.
Selama adab ke 19 dan 20, modernisasi diperkenalkan di berbagai belahan dunia Muslim, baik dibidang militer, birokrasi, politik, hukum, ekonomi dan pendidikan. Basis ideologis islam mengenai negara dan masyarakat secara cepat berubah sebagai dampak nasionalisme model Barat Sekuler. Dan, banyak kaum muslim terperangkap dalam dua perspektif: Pertama, kepercayaan kalangan tradisonalis bahwa agama seharusnya menentukan karakter oganisasi politik, dan bahwa hukum islam telah menyediakan standart dan petunjuk yang diperlukan masyrakat. Kedua, prefensi kalangan muslim sekuler pada konsep dan lembaga politik barat. Sedangkan kalangan modernis muslim seperti Al-Afgani, berusaha mencari posisi tengah antara kecendrungan penolakan yang di pegangi pemimpin agama dan kecendrungan akomodatif terlalu besar yang ditunjukan elit Muslim Westernis-Sekuler.
Citra Barat tentang Islam
Islam sejak kemunculanya di awal abad ke-7 M (Wahyu pertama turun pada 610) membuat barat (Eropa atau Kristendom, yakni wilayah kekuasaan politik kristianitas) serba tidak enak. Islam merupakan agama terbesar didunia yang lahir dari akar historisitas yang sama; Islam Bersama Yudaisme dan Kristianitas tergabung dalam rumpun agama Ibrahim (Arbrahamic religions,dalam Bahasa Al-Quran millah Ibrahim). Karna itu, tak aneh jika islam dipandang sebagai ancaman serius bagi Kristendom atau bahkan Kristianitas.
Selain tantangan ideologis teologis, Eropa segera dihadapkan dengan ekspansi pax-islamica. Menjelang adab ke 7, islam telah langsung menggedor pintu Kristendom. Pada periode ini hampir seluruh wilayah Laut Tengah-sejak dari Anatolia (Turki) hingga Selat Gibraltar dikuasai kaum muslim. Pada 711 Gibraltar sepenuhnya tunduk pada kekuasaan Darl al-Islam, dan pada beberapa tahun berikutnya, setelah menganeksasi Semenanjung Iberia, kaum muslim siap melintasi Kawasan Pyreia. Kekalahan kaum muslim pada 732 dalam pertempuran Poitiers di tangan Charles Martel terbukti menjadi batas penetrasi Islam di Eropa Barat dalam sejarah kekuasaan Muslim di kawasan ini selama enam abad.
Syahdan, bagi Kristendom abad pertengahan, persoalan benturan dengan kaum muslim terkonsentrasi apada dua tataran; teologis dan politis (sekaligus militer). Pada tataran teologis, islam pernah dipandang eropa sebagai kelompok murtad Kristianitas (Christrian heresy), sebagai skisma dalam Kristianitas, yang pada giliranya memunculkan agama baru yaitu Islam. Pada tataran politik dan militer, Kristendom memiliki dua alternatif; mengahadapi kaum muslim dengan militer atau hidup berdampingan dengan dalam suasana relatif damai. Lebih lanjut, hubungan Kristianitas dan Muslim menunjukan konfrontasi kontinu. Di wilayah Timur Tengah, Perang Salib berkobar sejak 1095-1921, tatkala laskar salib berhasil diusir selamanya (for good) dari Palestina. Dan pada kurun waktu 1396, sekitar 100.000 tentara kristianitas menyerbu Turki Ustmani untuk menemukan kelalahan dalam pertempuran Nicopolis. Ketika laskar Turki Ustmani menaklukan Konstantinopel pada 1453, untuk kemudian sampai berada pada gerbang Wina, sekali lagi Eropa pada posisi defensif. Meskipun di semenanjung Iberia, ‘Reconquista’ (penaklukan kembali) dilakukan kekuatan Kristendom berhasil denga jatuhnya Granada (1492), yang mengakibatkan interaksi dan koeksistensi canggung antara kaum Kristiani dan Muslimin.[7]
Lebih kentara lagi, Teolog besar Kristen, Thomas Aqinas (1226-1274), dalam karyanya Summa contra Gentiles mengabdikan bagian khusus untuk membantah Islam. Ia juga menulis karya yang lebih pendek berjudul De retionibus fidei contra Saeacenos, Grecos et Armenos, yang secara polemis menggugat kebenaran islam. Dan, dari pemikiran-pemikiran Aquinas itulah mucul “citra barat” tentang Islam, yang di kategorikan dalam empat citra barat/eropa tentang islam[8]; Pertama, Islam adalah agama yang keliru dan merupakan pemutar balikan yang sengaja terhdap kebenaran Kristen. Kedua, Islam adalah agama yang di sebarkan melalui kekerasan dan perang. Ketiga, Islam adalah agama hawa nafsu. Keempat, Muhammad adalah anti-Kristus.
II.Khazanah Konstruksi Pemikiran Politik Islam.
Proses Politik
Menurut Ibn Taimiyah, ciri utama pemerintahan islam yang ideal adaah penerapan Syariah melalui berbagai upaya kerjasama antara Umara dan Ulama, suatu Negara Islam tidak wajib mempunyai seorang khilafah sebagai pucuk kepemimpinan atau demi menandai ciri umum dalam rangka mewujudkan masyarakat yang “Islami”. Suatu bentuk pemerintahan yang meletakan Syariah sebagai penguasa tertinggi adaalah pemerintahan islam yang memenuhi syarat. Ibn Taimiyah juga melihat semua warga diberbagai negara islam sebagai suatu masyarakat yang disebut dengan Ummah. Dalam bagian ini, penulis akan menjelaskan tentang prinsip-prinsip teori Ibn Taimiyah dengan memfokuskan bahasan pada norma atau praktek politik tertentu yang mendasari suatu pemerintahan yang sah.
Ummah: Badan Politik, yang menjadi konsep penting dalam pemikiran politik Islam. Dalam surat-surat Makkiyah yang mula-mula, kata Ummah secara sinonim disamakan dengan istilah Qawm,Millah,Din, Tariqah, Jamaah dan Sha’ab. Menurut makna istilah, Ummah dalam dokumen “Konstitusi Madinah” digunakan dalam dua bagian dokumen: Pertama, pada bagian awal mistilah digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman, dan Kedua, kata itu diartikan sebagai masyarakat persekutuan secara umum atau suatu aliansi defensif. Dalam batasan-batasan negara islam, Ummah mempunyai peran penting dalam gelanggang politik. Ummah tidak hanya menyediakan diri dalam badan politik yang menjadi dasar negara islam, tetapi juga “dilimpahi karunia Allah dengan ciri khusus seperti tersurat dalam sabda nabi “masyarakat ku tak akan sepakat dalam melakukan kesalahan”. Yang pada ujungnya, Ummah sebagai penghasil pemikiran islam yang menyumbangkanya pada kehidupan bangsa dan negara.
Bai’ah:Bentuk Pemilihan, idealnya pemimpin negara islam yang juga memilih masyarakat adalah orang yang terpilih diantara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang melibatkan konsultasi pendahuluan, yang selanjutnya dilakukan Bai’ah sebagai sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyrakat. Konsep ini yang sekarang di terapkan dalam sistem demokrasi, dimana pemimpin dipilih berdasarkan suara rakyat yang di manifestsikan dalam pemilihan umum.
Syura: Bentuk Konsultasi, konklusi bai’ah mengandung suatu proses seleksi. Dan syura berperan sebagai pemeran penting untuk penjagaan penelitian dan perkiraan denga tujuan meraih cita-cita atau keputusan paling baik yang berkaitan dengan semua persoalan, termasuk masalah kepemimpinan.
Islam dan Nation States
Dampak besar penetrasi Barat ke dunia Islam adalah menyangkut konsep politik kenegaraan. Sebab itu, terjadi perdebatan sengit dikalangan ulama, pemikir dan penguasa Muslim tentang konsep Barat semacan Nation States, nasionalisme, souvereignity, dan semacamnya.[9] Sejak awal perkembangan islam sampai pada zaman premodern, masyrakat muslim mengenal dua konsep teritorial politik: dar al-islam, wilayah islam dan dar al harb, wilayah perang atau wilayah non-muslim. Konsep nation-satates, mengandung ketegangan historis-konseptual, yang menimbulkan ketegangan di dalam islam. Dan untuk menyelesaikan itu, para pemikir islam merekonstruksi pemikiran dengan berusaha mengembangkan konsep pluralisme bangsa dan teritorial. Yang menggunkan landasan dari Al-Quran yang menyatakan bahwa Tuhan mencipakan manusia dan membaginya ke dalam bangsa dan suku untuk saling mengenal (QS.al-Hujaraat 49:1-3), dan bahwa terdapat bermacam bahasa dan warna kulit merupakan tanda bagi orang-orang yang mengetahui (QS. Ar-Ruum 30:22). Sedangkan dalil pluralisme adalah, jika Allah mau, Ia dapat menciptakanmu sekalian sebagai satu umat (QS.asy-Syuura 42:8).
Kerangka Konstitusional
Sumber hukum dan perundan-undangan: Syariah, perpaduan antara islam dan negara memberikan konsekuensi bagi kondisi sine qua non akan adanya hukum sebagai dasar bertindak. Sebab, negara demokrasi senantiasa berkaitan dengan hukum sebagai alat legitimasi kekuasaan. Al-Quran, sebagai rujukan akhir hukum bagi umat islam tidak hanya berperan sebagai undang-undang keagamaan, tetapi lebih dari hukum dasar dan tertinggi yang dapat digolongkan kepada konstitusi negara Islam. Sumber hukum konstitusi islam yang kedua adalah sunah atau segala perkataan nabi. Yang pada tingkat ketiga terdapat Ijma’ atau konsensus. Dan yang keempat adalah Qiyas, yang merupakan metode logika untuk memcahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu dengan cara menetapkan suatu kaitan positif atau negatif antar perilaku itu dengan bentuk perilaku lain yang diatur dengan prinsip umum. Tidak adanya peranan pemimpin atau pemerintah Islam dalam merumuskan undang-undang juga merupakan cermin penolakan ideologi Ibn Taimiyah terhadap Syi’ah tentang peranan Imam.[10]
Struktur kekuasaan: Ulama dan Umara, Ulama dan Umara, kata Ibn Taimiyah adalah mereka yang diisyaratkan al-Quran sebagai Ulu al-Amr’ atau mereka yang memerintah, pihak yang mesti ditaati oleh umat islam.[11] Mereka juga mengemban tugas dalam penerapan Syariah, dalam jenjang kekuasaan ulama dipercayakan mengemban dwifungsi, menfasirkan undang-undang dan merumuskan administrasi keadilan. Sedangkan Umara mendapat tugas menunjang berlakunya hukum-hukum Allah dan mempertahankan negara Islam.
Bentuk negara, Ibn Taimiyah tidak menjelaskan tentang bentuk negara islam yang pasti. Hal ini di dukung oleh pendapat Abdullah al-Mufini, yang berkata bahwa “pendirian negara politik bukan menjadi satu-satunya tujuan”. Syariah tidak memberikan skema khusus tentang organisasi politik negara islam. Namun, Syariah telah mencakup garis-garis besar konstitusi Islam dalam bentuk prinsip-prinsip dasar umum yang mampu menjawab segala keadaan dan waktu”.[12] Jadi, Syariah dihargai karna kandungan dan isinya. Qomaruddin juga menambahkan bahwa, “Ibn Taimiyah menyerang Sunni dan Syiah, karna pada Quran dan Sumah tidak ada dasar tentang teori Khalifah Tradisonal maupun Imamah mutlak, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya meskipun menerima negara itu sebagai kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara islam yang di anggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada Syariah sebagai penguasa tertinggi.
Esensi Politik Islam dalam Pemikiran Intelektual Indonesia
Nurcholish Madjid mengungkapkan slogan “Islam Yes, Partai No”, sebagai gerakan pembaruan yang membela demokrasi. Nurcholish mencoba menggabungkan antara demokrasi dan Islam yang kemudian menghasilkan konsep demokrasi dalam paradigma Islam. Menurutnya, Islam memiliki konsep mengenai demokrasi yang disebut dengan syuro (musyawarah). Islam dan demokrasi yang dimaksudkan oleh Nurcholish adalah menjadikan Tuhan, sebagai sumber etika yang paling pokok dan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan politik. Nurcholish berpendapat bahwa tanpa Islam, demokrasi akan kekurangan landasan keyakinan, nafas, dan roh. Sebaliknya, tanpa demokrasi, Islam akan kesulitan untuk mewujudkan tujuan dasarnya sebagai sarana kebaikan untuk semua.
Dalam analisis Pemikiran Nurcholish Madjid tentang konsep Demokrasi Indonesia: Perbandingan dengan Abdurrahman Wahid[13], Menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi hanya bisa dibangun di atas landasan pendidikan yang kuat, dengan ditopang oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang memadai. Abdurrahman Wahid menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi. Mengenai hubungan demokrasi dan Islam, Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa Islam dan pola implementasinya dalam konteks negara dan bangsa, sangat memperhatikan konteks politik dan sosiologis suatu bangsa dan masyarakat. karena ia lebih menekankan substansi ajaran Islam dari pada simbol-simbol formalnya. Adapun menurut Nurcholish Madjid, demokrasi identik dengan demokratisasi, yang penting adalah dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terusmenerus, secara dinamis dalam perkembangan dan pertumbuhan ke-arah yang lebih baik. Menurut Nurcholish Madjid demokrasi harus dipandang sebagai suatu cara untuk mencapai tujuan dan bukan tujuan itu sendiri. Demokrasi adalah pro ke-arah yang lebih maju dan baik, demokrasi identik dengan demokratisasi yang penting adalah dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus menerus secara dinamis dalam perkembangan dan pertumbuhan ke-arah yang lebih baik. Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam sendiri sebenarnya memiliki konsep tetang demokrasi, yaitu lewat ajaran yang dalam Islam disebut dengan syuro (musyawarah). Kendati demikian, keduanya sepakat bahwa demokrasi adalah pilihan yang tepat bagi bangsa Indonesia, dan keduanya juga berpendapat bahwa demokrasi tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam analisis Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Negara Islam: Perbandingan dengan Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, dan Hamka[14]. Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan Islam dan ideologi Pancasila sebagai bukti konkrit integrasi keislaman dan keindonesiaan. Ia berpendapat bahwa kaum muslim Indonesia menerima Pancasila dan UUD NRI 1945 dengan pertimbangan yang jelas. Kedudukan Pancasila dan UUD 45 menurutnya, memiliki kedudukan dan fungsi yang sama dengan dokumen politik pertama dalam sejarah Islam, yaitu Piagam Madinah. Umat Islam pada masa Rasullah menerima Konstitusi Madinah dan menyetujui kesepakatan dalam membangun masyarakat politik bersama.[15] Oleh karena itu, bagi Nurcholish Madjid, meskipun tidak ada kewajiban membentuk negara Islam, namun sebagai masyarakat yang bernegara hendaknya dapat membentuk masyarakat yang Islamis. Karena itu, masyarakat Islam adalah masyarakat yang mengikuti perkembangan zaman di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan Hankam. Termasuk lebih banyak menyangkut soal dunia daripada soal keagamaan. Harun Nasution menegaskan bahwa tidak ada satupun dalil yang menyatakan tentang mendirikan negara islam. Abdurahman Wahid mengemukakan bahwa dalam Islam sama sekali tidak memiliki bentuk negara. Yang penting bagi Islam adalah etik kemasyarakatan. Hamka menganut paham penyatuan agama dan negara. Paham ini berimplikasi kepada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk membentuk negara berdasarkan pertimbangan akal atau penalaran rasional manusia dan bukan berdasarkan nash syariah yang tegas, baik di dalam Alquran maupun Hadis Nabi. Dengan demikian, pemikiran Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan Harun Nasution memiliki pandangan yang sama, bahwa negara Islam tidak diperlukan, meskipun dengan argumen yang berbeda-beda. Sedangkan Hamka berpendapat bahwa negara Islam diperlukan sebagai sebuah perlengkapan agama.
III.Sederet Rekomendasi untuk Masa Depan Politik Islam.
Rekomendasi Fuller
Dibalik ketegangan politik antara Eropa dan Islam, Fuller mengajukan sederet rekomendasi untuk mengurangi ketegangan politik islam kepada dunia sekuler khususnya Amerika Serikat. Pertama, barat harus menghentikan intervensi politik dan militer dikawasan muslim. Kedua, upaya mengidentifikasi para pelaku aksi terror harus dilakukan oleh intelijen dan polisi, yang dilakukan oleh badan internasional atau negara yang bersangkutan. Ketiga, Amerika Serikat harus menarik dukungan kepada diktator-diktator di sejumlah negara muslim. Keempat, demokrasi harus dibiarkan tumbuh didunia islam, tetapi Amerika Serikat harus tidak menjadi alat implementasinya. Kelima, Amerika harus menerima partai-partai islam yang menang dalam proses politik demokratis. Keenam, Amerika harus segera menyelesaikan konflik Palestina. Ketujuh, hanya kaum muslim sendiri yang memecahkan masalah radikalisme dan karna itu Amerika serikat harus tidak campur tangan.
Revitalisasi Islam dan Politik
Ada tiga faktor yang mendorong terjadinya Revitalisasi Islam. Pertama, memburuknya posisi negara-negara muslim dalam konflik Utara-Selatan, Kedua, perubahan sosial yang sangat cepat dengan akibat distrubtif dalam masyarakat muslim, Ketiga, krisis legitimasi dalam sistem politik beroreintasi sekuler. Islam dipercaya memiliki alternatif terbaik untuk mengatasi konflik pemikiran politik. Seperti yang dikemukakan Bassam Tibi, islam mempunyai ajaran atau simbol yang berfungsi ganda. Pertama, symbol-simbol kultural islam menawarkan kerangka indigineous bagi artikulasi arti kandungan politik dalam situasi dimana dunia non muslim dipandang sebagai ancaman terhadap indentitas kaum muslim. Kedua, kandungan politik yang diartikulasikan lebih mampu menjangkau lapisan massa lebih luas. Karena itu, islam politik mempunyai daya tarik ketimbang ideologi sekuler manapun yang dalam banyak kasus didukung terutama oleh lapisan elite.[16]
Belakangan ini muncul sebuah sistem bernama al-nizham al-islami yang pada esensinya adalah rapprochement antara poliik dan agama. Islam dan politik (al-Islam wa al-siyasah) kini dipandang sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Sistem politik sekuler (siyasat al-dunya) dipandang telah gagal mengangkat harkat dan martabat kaum muslim. Al-nizham al-iqtisadi wa al-siyasah al-Islami (sistem ekonomi dan politik islam) diyakini sebagai satu-satunya alternatif untuk menangkis penetrasi intelektual (al-ghawz al-fikr) Barat. Tetapi, sejauh menyangkut al-niaham al-siyasi, kaum revalisator justru memproyeksikan umat ke masa lampau dengan menjadikan al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Abu al-Hasan al-Mawardi sebagai refrensi utama. Gagasan ini nampaknya viable dibagian dunia muslim manapun, sejak dari Timur Tengah, Afrika sampai ke Asia Selatan dan Asia Tenggara. Kebangkitan FIS di Aljazair atau al-Ikhwan al-Muslimin (IM) di Mesir dan Yordania menjadi contoh yang paling tepat.[17]
Peran Kader HMI
Sebagai kaum intelektual muda, kader HMI dapat juga merangkap sebagai aktivis islam. Jelas saja, dalam perguluman intelektual, masa-masa menjadi mahasiswa adalah fase terbaik dalam eksplorasi, eksploitasi dan implementasi pemikiran. Sudah banyak risalah-risalah bahkan adagium-adagium yang memberikan gambaran peran strategis pemuda cq. mahasiswa dalam pembangunan suatu bangsa dan negara, bahkan agama. Selain itu, mahasiswa merupakan tokoh yang hari ini masih memiliki legitimasi moral terhadap tugasnya membangun peradaban dengan merangkul seluruh lapisan masyarakat.
Dalam kondisi pemikiran yang mengalami “sekterianisme” yang cukup kompleks. Pemuda islam tidak boleh lengah terhadap esensi ajaran islam, yang salah satunya adalah ajaran mengenai pemikiran politik, tata pemerintahan. Hal ini disebabkan, politik adalah hal strategis dalam kehidupan manusia. Politik menjadi akan kesejahteraan dan kehancuran suatu bangsa. Daron Achemoglu dan James A Robinson dalam karya fenomenalnya “Why Nation Fail” memaparkan argument-argument kritis tentang berhasil dan gagalnya negara, yang pada esensinya memberikan teori bahwa kesejahteraan dihasilkan oleh pemerintah yang inklusif dan kemunduran bahkan kehancuran suatu negara di hasilkan dari pemerintah yang ekstraktif.[18] Maka dari itu, Kader HMI sebagai aktivis dan intelektual Islam, harus memikul beban politik umat islam. Dengan dasar pemikiran dari semangat HmI yang tertuang dalam NDP (Nilai Dasar Perjuangan) yaitu Beriman, Berilmu dan Beramal. [19]Yang dimana kader HMI harus: Pertama, memiliki kemampuan untuk melakukan kajian historisitas politik umat islam untuk mendapatkan maqasid politik islam yang sebenar-benarnya, Kedua, melakukan rasionalitas pemikiran politik islam kepada tataran masyrakat, yang harus memformulasikan dan mengkonstruksikan kembali pemikiran politik islam agar dapat diterima ditengah-tengah masyarakat yang plural sekarang. Ketiga, mampu melakukan aktualisasi pemikiran politik islam, sebab banyak ahli siyasah yang mengatakan politik islam sudah using tanpa memberikan kontribusi positif-konstruktif dengan argumen yang membangun, maka dari itu kader memiliki tugas melakukan pembaharuan politik islam atau setidak-tidaknya melakukan kajian mendalam tetang penerapan “politik islam usang” kepada situasi modern hari ini.
Dengan demikian, tujuan politik islam yang esensial akan terwujud, dimana ideologi politik islam sudah terformulasi dengan baik dan aktor yang melakukan formulasi langsung menjadi stake holder politik islam, sehingga tidak terjadi rduksi pemikiran politik islam yang menjerumuskan islam kepada “The Dark Age of Islam Politic” yang di tandai dengan kemenangan ideologi sekuler melawan islam. Dan perlahan, kehidupan islam juga turut mengalami kemunduran. Hal ini sudah pernah digambarkan sejarah, dimana kemunduran umat islam dikarenakan penghancuran perpustakaan terbesar di dunia oleh barat di Turky, yang menyebabkan umat islam buta akan historisitas islam dan kehilangan kemampuan rasionalitas dan aktualitas pemikiran islam. Maka dari itu, dari pemaparan yang sudah penulis sampaikan di atas, gambaran mengenai rongrongan ideologi sekulerisme yang sudah nyata di depan pintu rumah umat islam, sewaktu-waktu dapat masuk dan memporakporandakan umat islam. Inilah wujud “Gawzl Fikr” dalam kontestasi pemikiran politik islam.
Akhir Kata
Pada dasarnya, pengalaman sejarah memberikan gambaran tentang pertarungan islam dan barat yang pada hakikatnya pertarungan ideologi islam dan sekularisme, yang dari pertarungan itu menghasilkan berbagai teori, konsep pemikiran dan “citra”. Hal ini sangatlah wajar, menimbang bahwa diskursus ini adalah hal yang sangat strategis. Di balik perdebatan-perdebatan yang ada dan banyaknya perbedaan alur berfikir para pemikir politik islam. Pada hakikatnya, mereka semua menyepakati bahwa khazanah pemikiran islam dan ajaran islam tentang politik dan kemasyarakatan telah menyumbangkan kontribusi yang besar bagi peradaban dunia. Dari panasnya pemabahasan tentang pemikiran politik islam diatas, rekomendasi untuk menyelesaikan pertikaian atau setidaknya memberikan gambaran bertahan bagi politik islam adalah salah satu sumbangsih posistif-konstruktif yang di tuangkan dalam beberapa bagian pembasahan. Dari seluruh paparan yang ada, sudah selayaknya kita melakukan purifikasi politik islam dengan jalan maqasid untuk mengetahui tujuan sebenar-benarnya politik islam.
Catatan Kaki
[1] Ibn Taimiyah, 1995,a-Siyasah al-Shar’iyyah (kairo: Dar al-Kitab al-Arabi,) hal.174.
[2] H.Siegman, 1964, The State and The Undividual in Islam, Muslim World 54 ; hal.21.
[3] Madjid Khaduri, 1994, The Nature of The Islamic State, Islamic Culture 21 ;hal. 327
[4] Khalid Ibrahim Jindan, 1994, The Islamic Theory of Government According to Ibn Taimiyah, (Jakarta: Rineka Cipta, hal.50
[5] Frans Magnis Suseno, 1988, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:Gramedia,)hal.34.
[6] Lebih lanjut akan dibahas secara komprehensif dalam N.Berkes, 1964, The Devlopment of Secularism in Turkey, Monteal.
[7] Untuk memperdalam sejarah Perang Salib dapat membaca
Malcom Billings, The Cross and Crescent: A History of The Crusades,(New York: 1988) ; Steveen Runciman, A History of The Crusades, (Harmonds Worth: 1965)
[8] W.M. Watt, 1991, Muslim-Christian Encounters: Perception dan Misperceptions, (London), 85-6. Yang juga di muat Watt dalam bukunya, The Influence of Islam an Medeval Europe, Edinburgh: 1972,72-80.
[9] A. Hourani, 1987, Arabic Thought in the Liberal Age 1789-1939,(Cambridge).
[10] Muhammad al-Mubarak, al-Daulah Ibn Taimiyah, dalam Usbu’ al-Fiqh, hal.858-59.
[11] Quran, 4:59
[12] Al-Mufini, The Islamic Constitusional Theory, hal 309.
[13] Sapto Wahyono, 2010, Demokratisasi Di Indonesia: Studi Komparatif Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid‟, Skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[14] La Ode Ismail Ahmad, Relasi Agama Dengan Negara Dalam Pemikiran Islam (Studi Atas Konteks Ke-Indonesia-an), Jurnal Millah Vol. X, No 2, Februari 2011 hal.272-284.
[15] Lihat Nurcholish Madjidm, 2009, Cita-cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina dan Dian Rakyat), h. 11
[16] Bassam Tibi, 1991, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change;122-6
[17] Azyumardi Azra, 2016, Transformasi Politik Islam: Radikalsime, Khilafatisme dan Demokrasi, (Jakarta: Prenadamedia). Hal.40
[18]Daron Achemoglu dan James A Robinson,2012, Why Nation Fail, (New York: Crown Bussines).
[19] Azhari Akmal Tarigan, 2007, Islam Mazhab HMI: Tafsir Tema Besar Nilai Dasar Perjuangan (NDP), (Ciputat:Kultura) , hal 11-17