Oleh: M. Risfan Sihaloho
Sebagian besar sungai di dalam al~Quran dikaitkan dengan keindahan surga. Mengapa sekarang sungai justeru menjadi sumber malapetaka? ~ Abdul Mu’ti
Dalam Al-Qur’an, sungai hampir selalu hadir sebagai metafora keindahan dan kenikmatan surga. Ia mengalir tenang, jernih, dan memberi kehidupan tanpa syarat. Surga digambarkan sebagai taman-taman yang dialiri sungai-sungai—sebuah imaji tentang harmoni, keteraturan, dan keberlimpahan. Namun ironi zaman modern memperlihatkan wajah yang berlawanan: sungai kini lebih sering hadir sebagai kabar duka. Ia meluap, membawa lumpur dan kemarahan, menenggelamkan rumah, ladang, bahkan harapan. Seperti yang disinggung Abdul Mu’ti di atas, mengapa sungai yang dahulu menjadi simbol rahmat kini justru menjadi sumber malapetaka?
Sejak awal peradaban, sungai adalah jantung kehidupan manusia. Di tepi Nil, Mesir kuno tumbuh dan bertahan ribuan tahun. Di antara Tigris dan Efrat, Mesopotamia mengenal hukum, tulisan, dan tata kota. Sungai Kuning di Tiongkok dan Indus di anak benua India menjadi rahim bagi kebudayaan besar dunia. Di Nusantara, sungai-sungai seperti Mahakam, Musi, Batanghari, dan Brantas bukan sekadar aliran air, melainkan urat nadi ekonomi, politik, dan budaya. Kerajaan-kerajaan lahir, perdagangan berkembang, dan identitas masyarakat dibentuk di sepanjang alirannya.
Sungai tidak hanya membawa air; ia membawa kehidupan. Ia menyediakan air minum dan sanitasi, menyuburkan tanah pertanian melalui endapan lumpur, serta menjadi jalur transportasi yang menghubungkan pedalaman dan pesisir. Di bantaran sungai, manusia membangun rumah, pasar, dan ruang sosial. Tradisi, cerita rakyat, bahkan kepercayaan spiritual tumbuh dari relasi intim manusia dengan sungai. Ia adalah ruang bersama yang membentuk watak kolektif suatu masyarakat.
Baca juga:
Namun relasi itu kini retak. Sungai yang dulu dipelihara sebagai sumber kehidupan diperlakukan sekadar sebagai saluran limbah. Pencemaran domestik, industri, dan pertanian mengubah sungai menjadi jalur racun yang mengalir pelan namun pasti. Hutan di hulu ditebang tanpa kendali, daerah resapan dikorbankan atas nama pembangunan, dan bantaran sungai disempitkan oleh beton dan keserakahan. Ketika hujan turun dengan intensitas yang semakin ekstrem akibat perubahan iklim, sungai tidak lagi mampu menampung beban. Ia meluap—bukan karena tabiat alaminya, melainkan karena manusia telah menghilangkan ruang bernapasnya.
Tragedi banjir bandang yang melanda berbagai wilayah di Sumatera belakangan ini adalah cermin telanjang dari krisis tersebut. Bencana itu sering disebut sebagai “musibah alam”, seolah-olah alam adalah satu-satunya pihak yang bersalah. Padahal, dalam banyak kasus, yang terjadi adalah akumulasi panjang dari kelalaian manusia. Sungai hanya menagih kembali keseimbangan yang telah kita rusak.
Penulis India, Amit Kalantri pernah berkata, “Jika bumi adalah seorang ibu, maka sungai adalah nadinya.” Nadi yang tersumbat akan menimbulkan penyakit serius. Begitu pula bumi kita hari ini. Sungai-sungai yang tercemar, dangkal, dan kehilangan alur alaminya adalah tanda bahwa tubuh peradaban sedang sakit. Kita mungkin masih mampu menunda kesadaran itu dengan teknologi dan uang, tetapi seperti peringatan yang kerap dikutip Eric Weiner, suatu saat manusia akan menyadari bahwa uang tidak bisa dimakan ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikeringkan dan ketika ikan terakhir ditangkap.
“Hidup ini tidak perlu dibuat rumit, kadangkala cukup dibiarkan saja mengalir seperti sungai. Bahkan saat bertemu bendungan yang tinggi sekali, air bisa terus bersabar, bersabar, dan bersabar, hingga terkumpul banyak dan bisa melampaui tinggi bendungan, lantas bisa melanjutkan alirannya”.
Refleksi Tere Liye di atas tentang sungai yang sabar menghadapi bendungan seharusnya tidak dibaca sekadar sebagai ajakan untuk pasrah. Kesabaran air justru menyimpan pelajaran tentang daya hidup dan ketekunan. Air tidak melawan dengan amarah, tetapi dengan konsistensi. Namun kesabaran alam bukanlah tanpa batas. Ketika bendungan keserakahan terlalu tinggi, air akan mencari jalannya sendiri—dan sering kali, jalur itu adalah bencana bagi manusia.
Tulisan ini bukan sekadar nostalgia tentang masa lalu sungai, melainkan ajakan untuk bercermin. Sungai adalah refleksi dari cara kita memperlakukan kehidupan. Jika kita memperlakukannya dengan hormat, ia akan mengalirkan berkah. Jika kita mengabaikannya, ia akan mengalirkan peringatan. Barangkali, tugas kita hari ini bukan menaklukkan sungai, melainkan kembali belajar hidup bersamanya—dengan rendah hati, dengan kesadaran ekologis, dan dengan tanggung jawab moral sebagai penghuni bumi. (*)

