Oleh: Jufri
Pemerhati Sosial dan Politik
Kita sering dengan mudah menyalahkan Belanda karena pernah menjajah Indonesia. Secara sejarah, itu sah dan tak perlu dibantah. Namun semakin ke sini, muncul ironi yang pahit: dalam banyak hal, cara kita mengelola negara justru terasa lebih aneh dibanding penjajah itu sendiri.
Belanda adalah negara kecil, sebagian wilayahnya bahkan berada di bawah permukaan laut. Tapi banjir bukan agenda tahunan. Mereka tidak menantang alam dengan slogan, melainkan menatanya dengan ilmu dan disiplin: irigasi yang rapi, bendungan yang terawat, kanal yang berfungsi, serta penghijauan yang konsisten. Air dipahami sebagai realitas yang harus dikelola, bukan musuh musiman yang hanya disesali setelah bencana.
Tak mengherankan jika bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Indonesia masih berdiri kokoh hingga hari ini. Mereka membangun dengan logika kemanfaatan jangka panjang, bukan sekadar memenuhi target proyek tahunan. Dinding tebal, ventilasi silang, langit-langit tinggi, dan drainase matang dirancang untuk iklim tropis. Bagi mereka, bangunan cepat rusak adalah kegagalan perencanaan, bukan peluang anggaran berikutnya.
Di Belanda, kesederhanaan adalah praktik, bukan pencitraan. Pejabat bersepeda ke kantor, tanpa iring-iringan berlebihan. Jabatan dipahami sebagai fungsi administratif, bukan status sosial. Korupsi rendah bukan semata karena hukuman berat, tetapi karena budaya malu dan sistem transparan yang mempersempit ruang abu-abu. Teknologi tinggi pun diarahkan untuk efisiensi dan keberlanjutan, bukan proyek mercusuar demi potret peresmian.
Anak-anak tumbuh di kota yang ramah manusia: sekolah dekat, jalur sepeda aman, taman tersedia, udara relatif bersih. Negara hadir sejak awal kehidupan, bukan baru muncul saat krisis. Masa depan dipersiapkan, bukan dipertaruhkan.
Lalu kita bertanya: kenapa Indonesia tidak bisa seperti itu?
Padahal kita tidak kekurangan sumber daya, tidak kekurangan kecerdasan, bahkan tidak kekurangan pengalaman pahit akibat banjir, longsor, dan bangunan publik yang cepat rusak. Yang sering kurang adalah keberanian berpikir lintas generasi. Anggaran diperlakukan sebagai kewajiban untuk dihabiskan, bukan investasi yang harus diwariskan. Proyek diukur dari serapan dan kecepatan peresmian, bukan dari daya tahan dan manfaatnya.
Belanda dulu menjajah dengan kepentingan, itu fakta. Tetapi ironisnya, mereka membangun sistem dengan asumsi negara akan bertahan lama dan harus melayani manusia. Kita, setelah merdeka, sering membangun dengan asumsi jabatan akan segera berganti. Yang satu merencanakan jauh ke depan, yang lain bereaksi dari satu masalah ke masalah berikutnya. Yang satu mengawasi dengan ketat, yang lain memaafkan kesalahan yang sama berulang kali.
Ini bukan pembelaan terhadap Belanda, dan bukan pula penghinaan terhadap bangsa sendiri. Ini cermin. Bangsa besar bukan hanya berani melawan penjajah, tetapi juga berani mengoreksi diri. Ironinya, kita mengutuk penjajahan masa lalu, tetapi menoleransi praktik hari ini yang justru menyusahkan rakyat sendiri.
Belajar dari Belanda bukan berarti kehilangan jati diri. Justru itu bentuk cinta paling jujur pada negeri: menghormati aturan, memuliakan kerja, membatasi kekuasaan, dan menempatkan manusia serta lingkungan sebagai pusat kebijakan.
Di titik inilah kita perlu malu. Malu karena negara yang pernah kita lawan secara sejarah, hari ini “menang” tanpa tentara,cukup dengan ketertiban, disiplin, dan keseriusan. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah, tetapi bebas dari kebiasaan buruk kita sendiri. Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni (*)

