Oleh: M. Risfan Sihaloho
Ada satu pemandangan aneh yang belakangan ini terasa makin biasa di negeri ini: yakni negara dan rakyat seolah hidup di dua semesta yang berbeda. Mereka menyaksikan peristiwa yang sama, tetapi memaknainya dengan kacamata yang nyaris tak pernah bertemu.
Ambil contoh bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera. Bagi rakyat—terutama korban—bencana itu adalah tragedi besar: rumah hanyut, lebih seribu nyawa melayang, harta hilang, dan masa depan runtuh seketika.
Bagi negara? Tidak selalu demikian. Ada pejabat yang dengan enteng menyebut, “seramnya cuma di media sosial.” Kalimat yang terdengar sepele, tapi terasa kejam bagi mereka yang merasakan langsung bagaimana dahsyatnya bencana ini.
Perbedaan yang cukup sengit juga terlihat dari polemik penyebab bencana. Ramai publik mencurigai banjir bandang dan longsor ini adalah bentuk bencana ekologis yang disebabkan oleh maraknya perusakan hutan dan deforestasi. Kecurigaan ini diperkuat oleh fakta adanya ribuan gelondongan kayu yang turut hanyut bersama banjir bandang.
Lagi-lagi pemerintah berpendapat lain. Menurut mereka bencana ini murni disebabkan anomali cuaca ekstrim. Tidak lebih.
Kemudian soal dampak bencana, rakyat ramai-ramai menilai bencana itu statusnya pantas jadi Bencana Nasional. Namun pemerintah berkeras dengan berbagai argumentasi mengatakan belum perlu.
Begitu juga dengan prihal bantuan asing yang disuarakan banyak pihak, justru ditolak oleh pemerintah atas nama kedaulatan dan kemampuan internal.
Ironisnya, di lapangan, bantuan justru terasa lambat, logistik tersendat, dan koordinasi tampak gagap.
Di saat genting itu, yang paling gesit justru bukan negara, melainkan para influencer—yang dengan satu unggahan bisa menggerakkan solidaritas jutaan orang.
Anehnya lagi, ketika influencer itu bergerak cepat menggalang dana dan bantuan, yang muncul bukannya apresiasi, melainkan nyinyiran dari pejabat. Seolah empati harus punya izin birokrasi, dan solidaritas rakyat dianggap ancaman bagi wibawa negara.
Mengapa negara dan rakyat kerap tidak sepakat dalam membaca kenyataan yang sama?
Fenomena ini sesungguhnya bukan barang baru. Sejak rezim ke rezim, pola serupa terus berulang. Ketika rakyat mengernyitkan dahi, pemerintah justru melangkah mantap dengan dada dibusungkan. Proyek IKN, Kereta Cepat Jakarta–Bandung, dan sederet kebijakan kontroversial lainnya menjadi contoh betapa kritik publik sering dianggap gangguan, bukan masukan. Kendati resistensi menguat dan akal sehat bertanya-tanya, negara tetap melaju sambil merasa paling tahu arah.
Di titik ini, pertanyaan menjadi tak terelakkan: mengapa jurang pandangan ini terus melebar? Apakah semata karena perbedaan sudut pandang? Ataukah karena pemerintah terlalu lama hidup dalam ruang steril kekuasaan, hingga lupa bagaimana rasanya menjadi warga biasa? Atau jangan-jangan, ada anggapan diam-diam bahwa rakyat terlalu emosional, kurang data, dan tak cukup pintar untuk memahami “visi besar” negara?
Yang lebih mengkhawatirkan, ketidaksinkronan ini tak hanya terjadi antara rakyat dan eksekutif. Rakyat juga semakin asing dengan para wakilnya di parlemen. Legislator yang seharusnya menjadi corong dan jembatan aspirasi, justru sering terdengar lebih fasih membela kepentingan kekuasaan ketimbang jeritan konstituen. Parlemen yang mestinya riuh oleh suara rakyat, kerap sunyi ketika rakyat benar-benar membutuhkan keberpihakan.
Apakah perbedaan pandangan ini sesuatu yang wajar dalam demokrasi? Tentu, perbedaan adalah keniscayaan. Namun yang sedang kita saksikan bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan retaknya relasi. Ketika negara terus-menerus menyangkal pengalaman nyata rakyat, dan rakyat semakin kehilangan kepercayaan pada institusi, maka masalahnya bukan lagi soal perspektif, melainkan soal legitimasi.
Demokrasi sejatinya bukan tentang siapa yang paling keras bersuara atau paling tinggi jabatannya. Ia hidup dari kesediaan penguasa untuk mendengar, merasakan, dan mengakui realitas rakyatnya. Ketika empati dikalahkan oleh pencitraan, dan kritik diperlakukan sebagai musuh, maka negara sebenarnya sedang berjalan menjauh dari rakyatnya sendiri.
Dan barangkali, inilah tragedi yang lebih besar dari banjir dan longsor itu sendiri: ketika jarak antara negara dan rakyat semakin lebar, sesungguhnya yang hanyut bukan hanya rumah dan tanah, tetapi juga kepercayaan. (*)

