Site icon TAJDID.ID

Ambisi, Amanah, dan Watak Kekuasaan

Gambar ilustratif.

Oleh: Jufri

Pemerhati sosial dan politik

 

Dulu ada seorang politisi yang dengan yakin mengatakan bahwa ia hanya bersedia sekali saja menjadi anggota dewan. Pernyataan itu terdengar ideal, bahkan etis. Namun waktu berjalan, dan kenyataan berbicara sebaliknya: ia terus maju, terus bertahan, dan terus mengulang alasan. Ada pula yang dahulu lantang membanggakan kaderisasi dan regenerasi, tetapi puluhan tahun kemudian masih tetap menjadi wakil rakyat.

Fenomena serupa tidak hanya terjadi di partai politik. Di banyak organisasi, termasuk organisasi sosial dan keagamaan, jabatan kerap disebut sebagai amanah. Ironisnya, untuk memperoleh dan mempertahankan “amanah” itu, tak jarang segala cara justru ditempuh. Bahasa moral dipakai, simbol agama dikedepankan, tetapi praktiknya sering kali jauh dari nilai yang diucapkan.

Sejarah kekuasaan menunjukkan satu pelajaran klasik: bila seorang presiden tidak dibatasi masa jabatannya, hampir dapat dipastikan ia akan terus ingin berkuasa. Yang lebih menggelisahkan, bukan hanya jabatan besar yang diperebutkan dengan ambisi luar biasa. Jabatan kecil, remeh-temeh, bahkan yang dampak publiknya nyaris tak terasa, bisa membuat manusia saling sikut, saling menjatuhkan, bahkan merusak persaudaraan.

Rupanya, hasrat untuk berkuasa memang bagian dari watak dasar manusia. Keinginan untuk dihargai, dihormati, dan tampak hebat sering kali dibungkus dengan alasan “diminta”, “dibutuhkan”, atau “demi menyelamatkan organisasi”. Dalam banyak kasus, narasi pengabdian justru menjadi selimut paling rapi bagi ambisi personal.

Siapa pun yang pernah bersentuhan dengan dunia politik atau organisasi, baik yang bersifat umum maupun religius, pasti pernah melihat dan merasakan pola yang sama. Pada titik tertentu, setiap orang diuji: mampukah ia menata hati dan mengendalikan emosi agar tidak terjebak pada ambisi berlebihan? Sebab ambisi untuk mendapatkan jabatan saja sudah berbahaya, apalagi ambisi untuk mempertahankannya.

Dalam dunia kepentingan, orang belajar membaca arah waktu dan arah angin. Di sana, istilah sahabat, kawan, dan perjuangan bersama sering kali hanya bertahan selama kepentingan masih sejalan. Ketika kepentingan berbelok, relasi pun mudah berubah. Di atas segala idealisme, kepentingan kerap menjadi panglima tertinggi.

Karena itu, barangkali yang paling beruntung bukanlah mereka yang berhasil menduduki jabatan demi jabatan, melainkan mereka yang mampu menjaga jarak dari ambisi yang berlebihan. Sebab ambisi yang tak terkelola hanya akan melahirkan kekecewaan. Dan dari kekecewaan itu, manusia cenderung mencari kambing hitam, menyalahkan orang lain, sistem, bahkan keadaan, tanpa pernah sungguh-sungguh bercermin pada dirinya sendiri, serta situasi yang sedang berlangsung. Politik memang kadang kejam,tapi lebih kejam lagi orang – orang yang tersiksa karena ambisinya sendiri.

Dalam perspektif etika keumatan, amanah sejatinya bukan tentang seberapa lama seseorang bertahan di kursi kekuasaan, melainkan seberapa ringan ia bersedia meletakkannya ketika waktunya tiba. Di situlah ukuran kedewasaan moral seseorang diuji, bukan saat ia berhasil meraih jabatan, tetapi saat ia ikhlas melepaskannya. (*)

Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni

Exit mobile version