Oleh: M. Risfan Sihaloho
Sering kali kita mengukur kesalehan hanya dari seberapa rajin seseorang beribadah di masjid, seberapa fasih ia membaca Al-Qur’an, atau seberapa khusyuk doanya. Padahal, ada satu bentuk kesalehan lain yang kerap luput dari perhatian kita: yakni kesalehan dalam menjaga bumi.
Lingkungan hidup bukan sekadar latar tempat manusia menjalani kehidupan, melainkan amanah langsung dari Allah SWT. Alam dengan segala keindahan dan keteraturannya adalah karunia yang tak ternilai. Hutan yang hijau, air yang mengalir, udara yang kita hirup—semuanya bukan hasil kebetulan, melainkan tanda kasih sayang dan kebesaran-Nya.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
Ayat ini bukan hanya ajakan untuk mengagumi ciptaan-Nya, tetapi juga peringatan agar kita tidak merusaknya. Merenungi alam seharusnya melahirkan rasa syukur, dan rasa syukur sejati selalu diwujudkan dalam sikap menjaga.
Manusia: Khalifah, Bukan Perusak
Dalam Islam, manusia diberi kedudukan mulia sebagai khalifah di bumi. Artinya, kita bukan pemilik mutlak alam, melainkan pengelola yang diberi mandat. Allah SWT menegaskan:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61)
Memakmurkan bumi bukan berarti mengeruknya tanpa batas, apalagi merusaknya demi keuntungan sesaat. Memakmurkan berarti mengelola dengan bijak, adil, dan penuh tanggung jawab, agar alam tetap lestari dan dapat dinikmati oleh generasi berikutnya.
Namun realitas hari ini justru menyedihkan. Polusi semakin pekat, hutan semakin gundul, sungai kehilangan kejernihannya, dan iklim kian tak menentu. Ironisnya, semua itu sebagian besar adalah ulah manusia sendiri.
Dari Kesadaran ke Tindakan Nyata
Kesalehan ekologis tidak selalu menuntut tindakan besar. Ia justru lahir dari kesadaran kecil yang dilakukan secara konsisten. Mengurangi plastik sekali pakai, menghemat air dan listrik, menanam pohon, memilah sampah, atau ikut menjaga kebersihan lingkungan—semuanya adalah bentuk ibadah jika diniatkan karena Allah.
Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa menanam pohon adalah amal jariyah. Setiap makhluk yang memanfaatkan pohon tersebut—bertengger, berteduh, atau memakan buahnya—akan menjadi pahala yang terus mengalir bagi penanamnya.
Merawat Bumi, Mendekatkan Diri kepada Allah
Menjaga lingkungan bukan sekadar kewajiban sosial atau tren gaya hidup modern. Dalam Islam, ia adalah wujud keimanan. Ia adalah cara lain untuk menunjukkan cinta kepada Sang Pencipta melalui penjagaan terhadap ciptaan-Nya.
Ketika kita merawat bumi, sejatinya kita sedang merawat masa depan. Kita sedang menunaikan amanah sebagai khalifah, sekaligus mewariskan kehidupan yang lebih baik bagi anak cucu kita.
Mari kita niatkan setiap langkah kecil—menghemat air, menanam pohon, mengurangi sampah—sebagai ibadah. Sebab bumi ini bukan milik kita sepenuhnya. Ia adalah titipan Allah SWT. Dan kelak, kita akan dimintai pertanggungjawaban atas bagaimana kita menjaganya.
Kesalehan ekologis adalah ibadah yang hidup, nyata, dan terus mengalir pahalanya.
Kesalehan Ekologis dan Tanggung Jawab Para Pemimpin
Namun, kesalehan ekologis tidak cukup berhenti pada kesadaran individu semata. Ia harus hidup dan berakar kuat dalam diri para pemimpin dan pemangku kekuasaan. Sebab, keputusan politik dan kebijakan publik memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap kelestarian alam dibandingkan tindakan perorangan.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Maka, ketika seorang pemimpin menandatangani izin tambang yang merusak hutan, membuka lahan tanpa kendali, atau mengabaikan daya dukung lingkungan, sesungguhnya ia bukan hanya mengambil keputusan administratif—tetapi juga memikul dosa ekologis yang dampaknya bisa menjalar lintas generasi.
Kebijakan yang abai terhadap lingkungan pada akhirnya akan kembali menghantam rakyat dalam bentuk banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan krisis pangan. Bencana-bencana itu sering kali bukan semata takdir alam, melainkan akumulasi dari keputusan manusia yang kehilangan kesalehan ekologisnya.
Seorang pemimpin yang beriman seharusnya melihat alam bukan sekadar objek eksploitasi ekonomi, melainkan “ayat-ayat Allah” yang wajib dijaga. Kesalehan ekologis dalam kepemimpinan berarti berani menolak kebijakan yang merusak meski menggiurkan secara finansial, serta berani berpihak pada keberlanjutan meski tidak selalu populer secara politik.
Jika para pemimpin menanamkan nilai iman dalam setiap kebijakan lingkungan, maka pembangunan tidak akan berhadap-hadapan dengan kelestarian alam. Justru sebaliknya, pembangunan akan berjalan selaras dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin—membawa kebaikan bagi manusia, alam, dan seluruh makhluk ciptaan Allah SWT.
Kesalehan ekologis, dengan demikian, bukan hanya urusan pribadi, tetapi fondasi moral bagi tata kelola negara. Tanpa itu, kekuasaan mudah tergelincir menjadi alat perusakan. Dengan itu, kekuasaan dapat berubah menjadi jalan ibadah yang menghadirkan keberkahan, bukan keserakahan yang berujung bencana. (*)

