Site icon TAJDID.ID

Tangis Mualem: Air Mata yang Mengajarkan Kita tentang Kemanusiaan

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem).

Oleh: Jufri

Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi

 

Tangis itu hadir pelan, nyaris tertahan, sebelum akhirnya pecah di hadapan kamera ketika diwawancarai Najwa Shihab sang wartawan kawakan . Muzakir Manaf atau Mualem, sosok yang selama ini dikenal tegar, keras, dan tak gentar menghadapi apa pun, tak mampu lagi menyembunyikan luka batin ketika Najwa Shihab menanyakan tentang kondisi rakyat Aceh yang sedang dirundung bencana. Dan pada detik itu, Aceh melihat sesuatu yang jarang: pemimpinnya menangis bukan karena politik, tetapi karena cinta.

Ada cerita panjang di balik air mata itu. Bukan sekadar banjir, bukan sekadar longsor. Tetapi perjumpaan seorang pemimpin dengan kesedihan rakyat yang begitu dekat, begitu nyata, dan begitu mengoyak hati. Mualem baru saja mengunjungi daerah-daerah yang hancur, kampung yang hilang, keluarga yang terpisah. Ia melihat anak-anak basah kuyup di tenda pengungsian, orang tua yang kehilangan rumah, dan warga yang ketakutan menghadapi masa depan yang tak lagi mereka kenal. Beban itu terlalu berat untuk dipikul dengan wajah datar. Maka air matanya jatuh sebagai manusia yang sedang diberi amanah dan ujian berat menjadi pemimpin rakyatnya.

Kita sering menuntut pemimpin untuk kuat, tegar, tanpa celah, namun, justru dalam ketidakmampuan menahan emosi itulah manusia menemui sisi paling tulusnya. Tangis Mualem bukan simbol kelemahan, melainkan keberanian. Keberanian untuk jujur bahwa bencana ini menyisakan luka yang dalam. Keberanian untuk menunjukkan bahwa di balik jabatan gubernur, masih ada seorang ayah, seorang anak, seorang saudara, yang terpukul melihat rakyatnya menderita.

Dan Aceh mengerti itu. Banyak orang yang justru merasa dekat dengan Mualem karena air mata itu. Di tengah politik yang sering kaku dan penuh kepura-puraan, tangis tersebut terasa seperti pintu kecil yang membuka kembali kemanusiaan kita yang sering hilang ditelan rutinitas berita buruk. Rakyat Aceh melihat bahwa pemimpinnya bukan hanya memberi perintah dan konferensi pers, ia juga peduli, benar-benar peduli.

Di hadapan Najwa Shihab, kita menyaksikan dua hal sekaligus: kepedihan dan empati. Pertanyaan sederhana dari seorang jurnalis mampu menyentuh titik paling rapuh dari seorang pemimpin. Dan dari sana, kita belajar bahwa kemanusiaan itu tidak perlu disembunyikan. Ketika ditanya soal tidak ditetapkannya bencana ini sebagai bencana Nasional, Mualem hanya berharap banyak bantuan datang ke Aceh. Dia lalu melanjutkan: “Kita hanya berharap kepada Allah, tidak berharap kepada manusia, berharap kepada manusia sering kecewa, berharap kepada Allah kita tidak akan kecewa,” katanya melanjutkan.

Ungkapan itu menyiratkan rasa kecewa Beliau soal status bencana tersebut, namun beliau memilih narasi religi untuk mengobati hati rakyat Aceh dan menghindari konfrontasi dengan kebijakan pemerintah pusat, tapi disana tersirat protes keras beliau kepada pemerintah pusat yang tidak menetapkan bencana di tiga provinsi itu sebagai bencana Nasional. Tangisan Mualem sekaligus menunjukkan rasa kecewa beliau kepada pemerintah pusat sebagai pemimpin rakyat dan ayah dari anak-anak Aceh.

Dalam air mata itu, ada pesan lembut bahwa bencana bukan sekadar persoalan teknis: bukan hanya soal logistik, evakuasi, atau tumpukan data. Bencana adalah tentang hati yang terluka. Tentang keluarga yang hilang sandaran. Tentang warga yang menunggu pelukan negara. Dan ketika pemimpin menangis bersama mereka, itu adalah bentuk paling tulus dari solidaritas.

Kita tentu berharap setelah tangis itu datang tindakan yang kuat, kebijakan yang berpihak, dan keberanian untuk memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Namun untuk saat ini, mari kita hargai momen tersebut sebagai tanda bahwa Aceh masih memiliki pemimpin yang hatinya ikut bergetar ketika rakyatnya kesakitan.

Karena kadang, air mata seorang pemimpin lebih lantang daripada pidato mana pun. Dan tangis Mualem adalah salah satu momen langka ketika politik kembali menjadi manusiawi, dan kekuatan seorang pemimpin kadang berada dalam tangisan. (*)

Silaturahmi Kolaborasi Sinergi Harmoni

Exit mobile version