Oleh: Mujahiddin
Associate Professor Pada Bidang Studi Pembangunan di FISIP UMSU
Dalam beberapa pekan ini kita sedang dalam kondisi duka yang mendalam. Banyak saudara kita sedang mengalami musibah Bencana banjir dan longsor di wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Perhatian publik saat ini tertuju di tiga provinsi tersebut, beragam bentuk sumbangan telah diberikan di wilayah-wilayah yang terdampak bencana. Tidak hanya dalam bentuk uang, barang seperti sembako dan kebutuhan pokok lainnya, tetapi juga diikuti dengan beragam aksi pelayanan kemanusiaan.
Jika kita melihat situasi pascabencana saat ini, ada sesuatu yang miris di hati kita. Beberapa relawan yang berkunjung langsung bahkan tidak bisa menahan tangisnya dengan melihat dan merasakan situasi langsung di lapangan. Ada banyak tuntutan agar pemerintah dapat bekerja lebih cepat dan lebih baik dalam menyalurkan kebutuhan pokok korban bencana, membuka akses jalan menuju lokasi bencana yang terisolir, dan mempercepat pencarian terhadap korban-korban yang hilang dan tewas. Ujung dari tuntutan ini, pemerintah pusat diminta untuk menetapkan bencana di tiga provinsi di Sumatera ini sebagai Bencana Nasional.
Namun sayangnya, hingga saat ini status tersebut belum juga ditetapkan dengan alasan bahwa bencana ini belum memenuhi kriteria sebagai bencana nasional. Pemerintahan hanya mengatakan akan memberikan atensi khusus terhadap penanganan bencana di Sumatera. Pemerintah pusat berjanji akan mobilisasi penuh unsur pemerintah untuk penanganan bencana, melakukan pemantauan intensif, Komitmen untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak termasuk sarana komunikasi, penyaluran bantuan bahan makanan, obat-obatan dan kebutuhan dasar lainnya. Ya standar itu yang dijanjikan akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Dan itu bukan perkara mudah, karena akan memakan waktu yang panjang khususnya dalam memperbaiki infrastruktur yang telah rusak. Belum lagi jika kita bertanya, bagaimana cara membangun kembali rumah-rumah korban yang kebanyakan sudah rubuh, atau hampir rata dengan tanah, dan bahkan lenyap terbawa arus banjir.
Pemulihan pascabencana akan menyita waktu panjang; tidak hanya dalam konteks fisik-infrastruktur tetapi juga menyangkut psikososial manusia yang menjadi korban. Lalu apakah cara kita menghadapi bencana akan terus seperti ini? akan kah kita kembali mengulang hal yang sama?
Dalam situasi perubahan iklim (climate change) saat ini, mitigasi terhadap bencana menjadi penting dilakukan oleh pemerintah. Bahkan kebijakan publik harus dibuat seresponsif mungkin dalam pencegahan kebencanaan. Dalam beberapa pemberitaan di media masa dikatakan, BMKG telah mengingatkan akan terjadinya pembentukan Siklon Tropis Senyar. Peringatan tersebut Bahkan sudah diberikan 8 hari sebelum terbentuknya Siklon Tropis Senyar ini.
Climate Change memang menjadi tantangan kita saat ini. Kita harus belajar dari pengalaman Siklon Tropis Senyar ini; satu hal yang dahulu tidak mungkin terjadi di negara tropis seperti Indonesia, namun kini terjadi. Anomali Atmosfer. Dan akibatnya bencana besar terjadi di utara Sumatera.
Namun banjir dan longsor yang terjadi akibat curah hujan yang tinggi tidak sertamerta dapat dikatagorikan sebagai “murni” bencana alam. Ada juga tabiat dan perilaku manusia di dalamnya yang mengundang hal tersebut menjadi bencana alam. Deforestasi hutan misalnya, kini mendapat banyak sorotan yang tajam dari berbagai kalangan.
Dan itu masih menjadi polemik yang harus segera diselesaikan. Pemerintah pusat dan daerah harus serius dalam menangani masalah deforestasi hutan ini. Jika tidak ingin hal yang sama akan terulang kembali. Sebab secara alami hutan memiliki kemampuan besar untuk menahan air hujan. Bahkan dalam kondisi ideal, hingga sepertiga air dapat tertahan di tajuk dan lebih dari separuh meresap ke dalam tanah sebelum mencapai permukaan.
Itu sebabnya ada pernyataan yang menarik dari seorang sosiolog dan ekonom terkemuka yang berama Daniel W. Bromley. Dalam pandangannya; banjir dapat dibaca sebagai bencana yang diproduksi oleh “aturan main”. Institusi membantuk aturan main tersebut dalam aspek perundang-udangan, perizinan, norma sosial, kebijakan tata ruang, dan struktur hak kepemilikan atas lahan. Semua aspek tersebut bukan sesuatu latar belakang yang netral namun terdapat bias kekuasaan.
Dalam pandangan ini, kerentanan terhadap banjir meningkat bukan hanya karena curah hujan tinggi, tetapi karena keputusan manusia yang dibentuk oleh aturan-aturan tersebut. Misalnya, jika aturan main mengizinkan penebangan hutan di hulu atau pembangunan di sepanjang bantaran sungai demi keuntungan ekonomi jangka pendek, risiko bencana banjir bagi masyarakat di hilir menjadi lebih tinggi. Singkatnya, Bromley menekankan bahwa bencana banjir adalah “diproduksi” secara sosial melalui pilihan institusional dan kebijakan manusia, bukan sekadar takdir alam.
Lalu apakah kita akan terus mengulangi ini? bukankah suara politik kita “harusnya” lebih berharga dari suara gergaji mesin yang menebangi pohon-pohon hutan? Ayolah, pasca bencana nanti, kita harus kawal kebijakan publik pemerintah, jangan ada lagi deforestasi hutan yang berlebihan. (*)

