Site icon TAJDID.ID

Dari Klasik hingga Kontemporer: Sejarah Perkembangan Munasabah Al-Qur’an

Foto ilustrasi Munasabah Al~Qur'an. (by AI).

Oleh: Abdul Haris

Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

 

Ketika kita membaca Al-Qur’an, kita mungkin bertanya-tanya, “Kenapa ayat ini ada di sini?” Alternatifnya, “Apa hubungannya ayat ini dengan ayat sebelumnya?” Sebenarnya, rasa ingin tahu seperti itu membawa kita ke dunia munasabah ilmu yang menyelidiki bagaimana ayat dan surah berhubungan satu sama lain. Ilmu ini tidak muncul secara kebetulan. Ia berkembang dari para ulama klasik hingga cendekiawan modern yang memasukkan aspek baru. Dalam artikel ini, kita akan melihat bagaimana munasabah berkembang, berubah, dan tetap relevan, membantu kita memahami Al-Qur’an dengan lebih konsisten dan menyenangkan.

Namun, dari mana ilmu ini sebenarnya berasal? Bagaimana ia berkembang dari era klasik ke era kontemporer? Kita akan memeriksanya dengan tenang.

Kalau kita mundur ke masa Rasulullah Saw, kita akan menemukan bahwa konsep munasabah keterkaitan antar ayat dan antar surah sebenarnya sudah hidup sejak awal turunnya Al-Qur’an. Hanya saja, waktu itu ia belum disebut sebagai “ilmu munasabah” seperti yang dikenal di buku-buku ulama zaman sekarang. Ia lebih berupa cara memahami Al-Qur’an yang tumbuh secara natural melalui penjelasan Nabi dan pengalaman para sahabat. Walaupun Rasulullah tidak menulis teori munasabah, beliau sering menjelaskan ayat dengan menyebutkan konteksnya atau alasan mengapa ayat itu muncul. Namun Al-Qur’an turun secara bertahap, bukan sekaligus. Sebab turunnya untuk menjawab pertanyaan, menegakkan hukum, menghibur Nabi, mendukung kaum Muslim, atau mengkritik keyakinan kaum musyrik. Ayat-ayat yang baru diturunkan sering memiliki hubungan langsung satu sama lain karena proses turun ini berlanjut.

Sebagai contoh: Nabi menjelaskan bahwa ayat tentang “perubahan kiblat” (QS. Al-Baqarah 144) mengacu pada “doa panjangnya untuk menghadap Ka’bah”. Nabi juga menjelaskan ayat-ayat tentang “perang Badar” (Qs. Ali ‘Imran 123-125) atau “perang Uhud” (Qs. Ali ‘Imran 155 dan 165) sebagai kumpulan peristiwa, bukan satu ayat. Nabi menunjukkan kepada sahabat bahwa mereka harus melihat ayat lain untuk memahami cerita sepenuhnya. Tidak menyingkirkan ayat dari konteksnya adalah inti dari munasabah.

Selain itu, sahabat menyadari bahwa setiap wahyu tidak datang secara kebetulan; mereka memiliki sejarah dan tema yang jelas. Dengan kata lain, munasabah adalah bagian alami dari proses turunnya Al-Qur’an, bukan ciptaan ulama belakangan.

Konsep munasabah belum disebut sebagai “ilmu” tersendiri, pada zaman sahabat dan tabi’in. Meskipun demikian, praktiknya sudah ada. Banyak interpretasi mereka menunjukkan hubungan antar ayat. Misalnya, mereka dapat menjelaskan mengapa ayat tentang ketakwaan diikuti oleh ayat tentang rezeki atau mengapa perintah tertentu muncul setelah kisah suatu kaum. Mereka membaca Al-Qur’an sebagai gabungan, bukan secara terpisah. Nama seperti: Abbas, Muhammad, Qatadah, sering memberikan penjelasan yang menunjukkan bagaimana alur ayat dan temanya berhubungan satu sama lain. Ini menjadi fondasi awal bagi ilmu munasabah. Banyak riwayat menyebut bahwa para sahabat mempelajari Al-Qur’an sepuluh ayat demi sepuluh ayat. Mereka tidak lanjut ke ayat berikutnya sebelum memahami makna, hukum, dan hubungan ayat-ayat tersebut.

Cara belajar seperti ini membuat mereka otomatis peka terhadap: alur gagasan, perubahan topik, hubungan antara cerita dan hukum, hingga kesatuan satu surah. Contohnya pada Surah Al-Baqarah: sahabat memahami bahwa ayat-ayat tentang kisah Bani Israil, hukum puasa, qishash, dan kisah Nabi Ibrahim saling terkait dalam satu bingkai besar tentang “umat pilihan dan tanggung jawab moral”. Jadi, sejak masa Nabi, sahabat sudah membaca Al-Qur’an sebagai satu pola yang terangkai, bukan kumpulan ayat terpisah.

Perkembangan ilmu munasabah mulai terlihat pada era para ulama klasik setelah masa Rasulullah dan para sahabat. Selanjutnya, mulai abad ke-3 H, Abu Ja’far Ahmad ibn Ibrâhîm ibn az-Zubair al-Andalusî (w. 708 H) adalah orang pertama yang menulis kitab yang hanya membahas ilmu ini secara mendalam, yaitu al-Burhan fi Munâsabah Tartib Suwar al-Qur’ân. Ulama lain kemudian mengikutinya.

Menurut al-Zarkasyi ulama yang pertama kali memfokuskan perhatiannya (memiliki akses) kepada masalah munasabah Al-Qur’an, adalah Abû Bakr an-Naisâbûrî (w. 324 H) di Baghdad. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau adalah “Bapak Ilmu Munasabah al-Suyuti menceritakan bahwa ketika al-Naisaburi dibacakan (al-Qur’an), beliau berkata, “Mengapa ayat ini diletakkan di sini dan apa hikmah diletakkannya surat ini disini?” Beliau mengeritik ulama Baghdad karena mereka tidak mengetahui persoalan munasabah, hikmah atau makna yang terkandung dari penempatan susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an.

As-Suyûthî (w. 911 H) dan Az-Zamakhsyarî (w. 538 H) juga dikenal sebagai ulama yang punya perhatian terhadap ilmu ini, sebagaimana dapat dijumpai dalam banyak penafsirannya.

Abû al-Hasan al-Harâlî adalah ulama berikutnya yang hidup pada tahun 637 H dan menulis kitab tafsir yang banyak membahas masalah munasabah dalam al-Qur’an. Sebagian ulama mengatakan bahwa penafsiran al-Harâlî inilah yang mendorong al-Biqa’i untuk menulis Nazhm ad-Durar karena cakupannya yang luas dalam membahas masalah munasabah dalam al-Qur’an. Badruddîn az-Zarkasyî (w. 794 H) adalah salah satu dari orang-orang yang banyak berbicara tentang munâsabah. Di dalam bagian pembahasan khusus al-Burhan fi Ulûm al-Qur’ân, ia memberikan penjelasan mendalam tentang ilmu ini, mulai dari pengertiannya, evolusi, dan sumbernya, serta kitab-kitab yang secara khusus membahasnya.

Singkatnya, ilmu munasabah berasal dari pemahaman Nabi dan para sahabat tentang Al-Qur’an, yaitu dengan mempertimbangkan ayat-ayat secara keseluruhan, bukan secara terpisah. Jika dulu para ulama melihat munasabah sebagai seni merangkai hubungan antar ayat atau surah, sekarang ilmu ini berkembang menjadi cara pandang baru dalam memahami struktur dan pesan Al-Qur’an. Dari zaman sahabat, ulama klasik, masa perkembangan, hingga era kontemporer, munasabah selalu mendapatkan tempat sebagai “jembatan” untuk melihat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang indah dan padu. Dan menariknya lagi, semakin berkembang ilmu dan metode, semakin terlihat betapa rapi, harmonis, dan dalamnya susunan Al-Qur’an. (*)

Exit mobile version