Site icon TAJDID.ID

Kepedulian Tanpa Pencitraan: Watak Muhammadiyah di Tengah Bencana

Oleh: Jufri

Ketua PD Muhammadiyah Kota Tebing Tinggi

 

Di tengah bencana, selalu ada dua wajah yang muncul ke ruang publik. Pertama, wajah kepedulian yang tulus—lahir dari nurani kemanusiaan dan panggilan iman. Kedua, wajah pencitraan yang menjadikan penderitaan orang lain sebagai panggung tampil sosial, politik, atau digital. Pada titik inilah penting ditegaskan: kepedulian dan pencitraan di tengah bencana bukanlah watak Muhammadiyah.

Sejak kelahirannya lebih dari satu abad lalu, Muhammadiyah dibangun di atas etos amal nyata, bukan simbolik. Menolong yang lemah, merawat yang sakit, menyelamatkan yang terdampak bencana, semua itu bukan sekadar aktivitas sosial, melainkan manifestasi dari tauhid yang hidup. Dalam watak Muhammadiyah, amal tidak membutuhkan sorotan kamera untuk menjadi bermakna.

 

Bencana sebagai Ruang Ibadah Sosial

Dalam perspektif Muhammadiyah, bencana bukan hanya peristiwa alam, melainkan ruang ibadah sosial. Menolong korban bukan sekadar respons kemanusiaan, tetapi juga wujud pengamalan ajaran Islam tentang tolong-menolong dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri wat taqwa). Maka, yang bergerak bukan sekadar relawan, melainkan juga kesadaran keagamaan yang hidup di tengah masyarakat.

Inilah yang membedakan antara kepedulian yang tulus dan kepedulian yang dipertontonkan. Kepedulian yang tulus lahir dari nurani, bekerja dalam senyap, dan berpihak sepenuhnya kepada korban. Sementara pencitraan membutuhkan panggung, membutuhkan penonton, dan sering kali menjadikan penderitaan sebagai komoditas visual.

Muhammadiyah memilih jalan pertama: bekerja dalam diam, tetapi berdampak luas.

 

MDMC, Kerja Kemanusiaan yang Sunyi tetapi Sistematis

Melalui Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), rumah sakit, amal usaha pendidikan, Lazismu, dan jejaring ortom, Muhammadiyah hadir di hampir setiap bencana besar di Indonesia: gempa, banjir, tsunami, letusan gunung api, hingga pandemi COVID-19. Namun kehadiran itu jarang disertai hiruk-pikuk publikasi berlebihan.

Relawan Muhammadiyah datang dengan satu tujuan: menyelamatkan, melayani, dan memulihkan. Bukan untuk membangun citra personal, apalagi mengkapitalisasi penderitaan. Mereka bekerja dengan sistem, disiplin, dan orientasi jangka panjang—tidak hanya pada fase tanggap darurat, tetapi juga pemulihan psikososial, pendidikan, dan ekonomi masyarakat terdampak.

Di sinilah terlihat dengan jelas bahwa bagi Muhammadiyah, bencana bukan panggung, melainkan amanah. Dokumentasi sekedar untuk pertanggung jawaban, bukan konten ditengah bencana dan penderitaan.

 

Antara Publikasi dan Pencitraan

Muhammadiyah tidak anti publikasi. Informasi tentang bantuan, laporan penggunaan dana, dan aktivitas kemanusiaan tetap disampaikan sebagai bentuk transparansi dan edukasi publik. Namun publikasi dakwah sangat berbeda dengan pencitraan murahan.Karena publikasi dakwah bertujuan untuk memberikan informasi dan cara mengetuk hati bagi orang – orang yang ingin berbagi.

Publikasi dakwah bertujuan menumbuhkan kesadaran kolektif, mengajak masyarakat untuk peduli, serta memperluas partisipasi. Sementara pencitraan bertujuan membangun popularitas, mempertebal citra personal atau kelompok, bahkan tak jarang beririsan dengan kepentingan politik.

Perbedaannya terletak pada niat, cara, dan dampak. Muhammadiyah menjaga batas etis itu dengan ketat: korban tidak dijadikan konten, air mata tidak dikomodifikasi, dan derita tidak dieksploitasi. Bencana dan penderitaan adalah ladang kita untuk berbakti memberi bukti , bukan ajang unjuk kemampuan diri .

 

Krisis Etika Kemanusiaan di Era Media Sosial

Hari ini kita hidup di era ketika empati sering dikemas dalam bentuk konten. Kamera lebih cepat menyala daripada tangan yang menolong. Banjir, gempa, dan kemiskinan menjadi latar visual untuk membangun citra digital. Fenomena ini secara perlahan melahirkan krisis etika kemanusiaan.

Di sinilah posisi Muhammadiyah menjadi sangat relevan. Dengan memilih tidak larut dalam budaya pencitraan, Muhammadiyah sesungguhnya sedang menjaga martabat korban dan sekaligus menjaga marwah dakwah. Sebab dakwah tidak akan pernah tumbuh dari eksploitasi penderitaan.

Islam Berkemajuan yang diperjuangkan Muhammadiyah memandang bencana sebagai momentum memperkuat kemanusiaan, bukan meningkatkan keterkenalan.

 

Kerja Sunyi yang Menyelamatkan Marwah Umat

Muhammadiyah telah lama membuktikan bahwa kerja sunyi justru menghadirkan dampak paling nyata. Sekolah berdiri tanpa banyak sorotan. Rumah sakit melayani tanpa hiruk-pikuk simbol. Relawan bergerak tanpa menunggu sorak-sorai.

Dalam dunia yang semakin bising oleh klaim, narasi, dan sensasi, Muhammadiyah tetap memilih jalan yang sunyi: bekerja, bukan berisik.

Kepedulian adalah fitrah manusia, tetapi menjaga kepedulian agar tidak berubah menjadi pencitraan adalah ujian moral. Muhammadiyah telah memilih berdiri pada sisi itu: peduli tanpa panggung, menolong tanpa kamera, dan melayani tanpa syarat popularitas.

Di tengah bencana, yang paling dibutuhkan korban bukanlah simbol, melainkan tangan yang bekerja. Bukanlah sorotan, melainkan ketulusan. Dan itulah watak yang terus dijaga Muhammadiyah: kepedulian yang tidak mencari panggung, karena yang dicari bukan pujian manusia, melainkan ridha Tuhan. (*)

Silaturahmi-Kolaborasi-Sinergi-Harmoni

Exit mobile version