TAJDID.ID~Medan || Dorongan untuk menetapkan banjir dan longsor di Sumatera sebagai Bencana Nasional semakin menguat. Menurut Founder Ethics of Care dan Anggota Komisi Yudisial 2015–2020, Farid Wajdi, perdebatan yang berlangsung di tingkat pusat sudah terlalu lama tersandera oleh persoalan prosedural, sementara situasi di lapangan kian memburuk.
“Rumah hilang, jembatan putus, warga terisolasi, dan layanan publik berhenti. Keputusan seharusnya ditentukan oleh nurani, bukan kalkulasi administratif,” tegas Farid dalam pernyataannya di Medan, Kamis (4/12).
Ia menilai respons pemerintah pusat belum sejalan dengan kondisi faktual di daerah. Saat beberapa kepala daerah menyatakan kewalahan, sebagian pejabat di tingkat pusat justru masih menggunakan narasi teknis dan menyebut situasi “cukup terkendali”.
“Warga sudah hidup hampir dua pekan di genangan berlumpur dengan logistik menipis, tetapi narasi elite masih tidak sinkron dengan realitas. Ini menunjukkan betapa jauhnya menara kekuasaan dari denyut derita rakyat,” ujarnya.
Farid menjelaskan bahwa kapasitas pemerintahan daerah sudah kolaps. Akses darat terputus, fasilitas kesehatan tidak beroperasi, distribusi pangan tersendat, dan ribuan warga bertahan hanya dengan sisa-sisa yang ada. Dalam kondisi tersebut, menurutnya, pemerintah pusat tidak perlu menunggu indikator administratif tambahan untuk mengambil alih kendali operasi penyelamatan.
“Status bencana nasional bukan hadiah dan bukan pula pengakuan kegagalan daerah. Status itu adalah instrumen konstitusional untuk menyelamatkan nyawa. Penundaan justru memperluas luka,” lanjutnya.
Farid juga menyoroti penurunan anggaran penanggulangan bencana yang disebutnya mencapai titik minimal dalam beberapa tahun terakhir. Di tengah meningkatnya intensitas cuaca ekstrem, menurutnya, langkah tersebut tidak dapat dijelaskan secara rasional.
“Kekosongan penjelasan anggaran membuka ruang spekulasi: apakah keselamatan rakyat sedang tersingkir oleh prioritas fiskal yang lebih politis?” katanya.
Ia kemudian membandingkan mekanisme penanganan bencana di berbagai negara Asia. Filipina, Thailand, Sri Lanka, hingga Jepang, menurutnya, menerapkan sistem otomatis yang langsung mengalihkan kendali ke tingkat nasional ketika daerah tumbang—tanpa tarik-uluran politik.
“Keselamatan warga di negara-negara itu lebih penting daripada citra politik. Di Indonesia justru sebaliknya, respons bencana sering menjadi panggung pencitraan,” kritik Farid.
Ia menilai Presiden, DPR, dan MPR sebenarnya memiliki kewenangan penuh untuk memotong hambatan birokrasi demi mempercepat operasi kemanusiaan. Karena itu, langkah cepat berupa penetapan status bencana nasional diperlukan segera.
“Tidak ada pasal yang lebih tinggi dari hak hidup rakyat. Tidak ada ayat dalam birokrasi yang lebih luhur dari kewajiban negara melindungi warganya saat mereka berada di tepi kehancuran,” tegasnya.
Di akhir pernyataan, Farid menegaskan bahwa Sumatera tidak membutuhkan perdebatan prosedural, melainkan kehadiran penuh negara.
“Pilihan saat ini sudah sangat jelas: bergerak cepat atau membiarkan rakyat menghadapi bencana sendirian,” pungkasnya. (*)

