Site icon TAJDID.ID

Absurditas Jurnalisme Bencana

Oleh: M. Risfan Sihaloho

Di tengah bencana banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantahkan sejumlah daerah di Sumatera, kita menyaksikan sebuah drama besar: bukan hanya air yang meluap, tetapi juga absurditas jurnalisme kita. Alam mengamuk, tapi sebagian media justru sibuk mengamati siapa yang tersenyum paling rapi saat menyerahkan bantuan untuk difoto.

Di awal bencana, muncul pejabat yang entah sedang bercanda atau memang tidak membaca situasi: “Bencana ini hanya seram di media sosial.” ujarnya dengan enteng.

Luar biasa. Mungkin maksudnya warga korban banjir itu terlalu dramatis, karena mereka lebih dulu mengunggah foto dan video rumah hanyut berbaur dengan ribuan kayu glondongan daripada menunggu media arus utama datang mengambil gambar dengan tripod profesional. Bisa jadi ini bukan hanya masalah empati, tapi masalah gengsi: jurnalisme warga kalah cepat? Ya tentu, sebab wargalah yang kakinya duluan terendam.

Sementara itu, muncul cerita tentang intervensi terhadap jurnalis yang memberitakan pejabat yang disinyalir tak becus menangani bencana banjir. Lucunya, pihak yang coba intervensi itu justru kawan seprofesi yang sudah nyaman ngepos di kantor pemerintahan dan selalu nempel kemana pejabat melangkah. Kadang sulit membedakan, mereka itu jurnalis atau  Humasnya pejabat.

Sepertinya ada ketakutan besar: rakyat boleh tenggelam, tapi citra penguasa jangan sampai basah. Wartawan ditelepon, diingatkan, “dinasihati”— semua demi keselamatan nama baik, bukan keselamatan manusia. Ironi tingkat dewa.

Lalu maraklah berita-berita kemanusiaan yang sebenarnya hanya kemasan pencitraan. Ada pejabat yang terjun ke lokasi bencana dengan style busana taktikal yang dilengkapi rompi anti peluru. Untuk apa coba? Memangnya lagi terjun ke daerah konflik?. Sungguh adegan di luar nurul.

Kemudian, ada juga sepenggal cerita tentang pejabat yang memanggul karung beras. Sebuah potret yang begitu dramatis, heroik, dan sangat Instagramable. Padahal bisik-bisik hutan yang gundul itu menyebut nama mereka juga.

Begitulah, para “penjahat” perusak hutan kini menjadi “pahlawan” bantuan sosial. Sialnya, aksi pencitraan menjijikkan itu sebenarnya juga tidak terlepas bantuan media.

Yang paling menyedihkan, banyak media seakan lupa fungsi mulianya. Banjir dan longsor adalah peristiwa ekologis yang memiliki sebab. Ada kebijakan salah, pembiaran kejahatan lingkungan, pengabaian nalar. Tapi suara kritis itu justru tenggelam, kalah oleh liputan receh: “Pejabat A meninjau lokasi bencana,” “Pejabat B bagikan mie instan,” “Pejabat C menyapa korban banjir dengan penuh haru.”

Seolah-olah jurnalisme bencana hanyalah kegiatan mendokumentasikan siapa paling layak dipuji di tengah tragedi.

Padahal fungsi utama jurnalisme bencana bukan sekadar menghitung jumlah bantuan, apalagi menghitung jumlah foto pejabat. Jurnalisme bencana seharusnya — dan wajib — mengawal keadilan ekologis: menyuarakan penyebab bencana, mengungkap siapa yang menebang pohon, siapa yang mengeluarkan izin, siapa yang kaya dari penambangan dan pembabatan hutan. Sebab bencana tidak jatuh dari langit; ia datang dari kerakusan manusia.

Tragisnya, keadilan lingkungan terlalu sering dikalahkan oleh keadilan publikasi.

Maka wajar muncul sinisme dari warga: “Kalau media hanya menjadi panggung, apa bedanya berita dengan iklan?” Kita sedang berada pada titik di mana pemberitaan bencana bisa membuat kita ingin bertanya — apakah media datang untuk menolong atau untuk melapak konten?

Bencana ekologis membutuhkan jurnalisme keberpihakan — bukan kepada kekuasaan, tetapi kepada korban. Bukan kepada pencitraan, tapi kepada kebenaran.

Tugas jurnalis bukan mengikuti pejabat yang mengangkat karung beras, tapi membongkar siapa yang menumbangkan pohon; bukan mewartakan air mata kamera, tapi air mata warga yang kehilangan rumah; bukan mengejar liputan bantuan, tapi mengejar pertanggungjawaban atas kehancuran.

Kalau jurnalisme juga ikut tenggelam bersama banjir, maka sesungguhnya kita sedang hidup pada masa bencana yang lebih besar, yakni bencana informasi. Dan untuk bencana yang satu ini, tak ada posko pengungsian. Yang ada hanya keberanian… atau diam.

Dan sejarah selalu mencatat: mereka yang memilih diam, akhirnya tenggelam. (*)

Exit mobile version