Site icon TAJDID.ID

Temanku

Oleh: Ibnu Fauzi

 

Tulisan ini penulis persembahkan bagi almarhum Lutfi Pratama Hibatullah. atau yang akrab kami sapa Upi serta untuk keluarga yang ditinggalkannya.

Upi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Arab UIN Saizu, lahir di Purbalingga pada 2 Februari 2002. Di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Ibrahim, Upi menjabat sebagai Bendahara Umum pada periode 2023–2024. PK IMM Ibrahim bernaung di lingkungan kampus UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto, dengan wilayah perkaderan pada Program Studi PAI, PBA, dan MPI. Sebagai IMM yang berada di luar Perguruan Tinggi Muhammadiyah, dinamika organisasi kerap muncul: dari penjaringan kader, kemandirian finansial, hingga upaya mempertahankan identitas gerakan.

Namun, di tengah segala kesulitannya, Upi selalu hadir sebagai sosok yang ramah, mudah didekati, dan ringan tangan. Saat berkuliah di Purwokerto, ia memilih tinggal di Masjid Nur Hidayah Pasirmuncang daripada di kos, dengan alasan sederhana namun bermakna: di masjid ia bisa lebih bermanfaat.

 

Bendum yang Menghadirkan Gagasan

Sebagai Bendahara Umum, Upi merupakan bagian dari Pimpinan Umum. Ia selalu menjadi pendengar kritik, penengah konflik, sekaligus penyejuk suasana. Penulis, sebagai Kabid Organisasi, sering menemani Upi dalam banyak urusan, dan sebaliknya, Upi pun selalu ada ketika penulis membutuhkan pertolongan.

Dari pemikirannya lahirlah program “Filantropi Ikatan”—upaya penggalangan dana tanpa penarikan kas wajib. Setiap pimpinan diberi kaleng tabungan, dan dengan sukarela mengisinya kapan pun mampu. Setiap pekan, Upi mengumpulkan uang itu, entah dengan didatangi, bertemu di sekretariat, atau diserahkan langsung. Konsep sederhana ini bukan hanya membantu organisasi mencari pemasukan, namun juga melatih kedermawanan para kader, sebuah nilai yang diwariskan K.H. Ahmad Dahlan. Program itu kini menjadi jejak abadi Upi di IMM Ibrahim.

 

Kebaikan yang Tak Putus

Penulis menyaksikan sendiri kebaikan Upi. Suatu ketika, jelang upgrading, penulis mengalami kecelakaan motor bersama pimpinan lain. Upi lah yang paling sigap menolong. Banyak pimpinan memiliki cerita serupa: Upi selalu hadir sebagai penengah, penenang, dan penunjuk jalan keluar.

Namun kebaikan itu menemukan titik akhirnya pada Sabtu, 23 Desember 2023—hari yang mengubah segalanya.

 

Hari Itu

Pagi hari, setelah menyelesaikan UAS, sekitar pukul 07.16, Upi menghubungi penulis untuk survei lokasi kegiatan camp kader, agenda yang direncanakan berlangsung Ahad, 24 Desember. Setelah membeli nasi rames di depan kampus sambil menunggu Dikki dan Icha, kami berangkat menuju Curug Gede Damar Payung, Kotayasa, Sumbang.

Usai negosiasi harga dengan petugas, Upi merasa kurang cocok. Kami menunaikan salat Zuhur, lalu melihat curug dari dekat. Awalnya penulis enggan bermain air. Namun karena ajakan teman, akhirnya ikut turun. Air tampak tenang, sampai penulis merasa pijakan perlahan hilang dan arus menyeret tubuh ke tengah. Panik mulai muncul.

Penulis meminta tolong. Upi dan Dikki dengan cepat berusaha menolong. Namun arus terlalu kuat. Penulis ingat detik-detik ketika kesadaran mulai menghilang, hanya disertai cahaya putih dan suara Upi yang berulang-ulang berkata: “Gantian! Gantian! Gantian!”—sembari mendorong penulis ke permukaan, bergantian mengambil napas.

Penulis mencoba mengucap “Laa ilaaha illallah”, tetapi setelah itu semuanya gelap.

Hingga samar-samar terdengar suara panik Dikki dan Icha:

“Ya Allah, Mas… astaghfirullah, sadar!”

“Ya Allah Upi, Ibnu… kalian kenapa?!”

Ketika akhirnya tersadar, penulis berada di dalam ambulans. Sirene meraung, dan ada suara relawan:
“Berjalan! Minggir! Darurat! Tolong jangan ada kamera!”

Penulis hanya bisa linglung. Banyak teman datang silih berganti—Zidan, Fata, Zahra, Mas Lukman, Alfa, Zulvan, dan hampir seluruh keluarga IMM, kelas, hingga pondok. Namun ada satu pertanyaan yang tidak berani penulis ucapkan: Di mana Upi?

Hingga akhirnya, ketika ponsel dibuka setelah lama tidak digenggam, yang pertama terlihat adalah foto keranda yang mengangkat tubuh sahabatku itu. Penulis langsung menutup ponsel: tak sanggup.

 

Kehidupan Kedua

Penulis sangat bersyukur atas kesempatan hidup yang Allah berikan kembali. Namun ada satu tanya yang terus bergema: “Kenapa harus Upi? Kenapa bukan aku?”

Kebaikan Upi seolah menjadi jalan terakhirnya. Allah memilih penulis untuk tetap hidup dan memilih Upi untuk pulang. Mungkin karena penulis-lah orang yang ditakdirkan menemani Upi pada detik-detik terakhirnya.

 

Warisan Kebaikan

Di masa Madrasah Aliyah, Upi dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an yang gigih. Maka sangat menyakitkan ketika ada yang menyebut tindakannya sebagai “kebodohan” karena menyelamatkan orang lain dengan risiko besar. Kita tidak pernah tahu bagaimana takdir bekerja. Kebaikan dibalas dengan kebaikan—entah oleh Allah langsung atau melalui perantara orang lain.

Penulis memohon maaf dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Upi dan keluarganya. Setiap gagasan, setiap langkah, setiap kebaikan Upi adalah murni untuk IMM Ibrahim.

Semoga perjuangannya tidak sia-sia, dan namanya tetap hidup dalam gerakan ini, seperti haynme IMM Abadi Perjuangan ! (*)

 

 

 

 

Exit mobile version