Site icon TAJDID.ID

Ketika Mantra Pejabat Tak Cukup Sakti Jinakkan Ular Antrian Panjang di SPBU

Foto ilustratif antrian BBM di SPBU. (by AI)

Oleh M. Risfan Sihaloho

 

“Jangan panik, stok mencukupi!”

 

Begitulah mantra himbauan yang keluar dari bibir pejabat dengan nada seolah-olah rakyat ini sekumpulan anak TK yang mudah ditenangkan dengan permen ucapan.

Sayangnya, rakyat bukan balita. Dan antrian BBM yang mengular di hampir seluruh SPBU di tiga provinsi terdampak banjir bukan pula mainan ular-ularan. Sudah hampir seminggu fenomena panic buying berlangsung dan belum ada tanda-tanda akan berhenti.

Mantra pejabat tak cukup sakti. Sepertinya tidak satu pun rakyat yang berhasil tersihir. Atau mungkin manusianya saja yang bukan pandai “bersilat lidah”, tapi sebenarnya sekedar pandai “nyari aman”.

Tapi hebat juga kemampuan pejabat kita. BBM di lapangan habis, tapi stok di keterangan pers selalu tersedia.
Apa mungkin rakyat antre di SPBU yang salah? Atau mungkin BBM itu wujudnya gas astral, hanya bisa dirasakan pemerintah, tak bisa disentuh masyarakat?

Sebenarnya yang jadi masalah bukan stok BBM—katanya stok aman, cukup sampai berhari-hari. Kalau benar begitu, mengapa masyarakat sampai berkelahi di SPBU hanya untuk setetes bensin? Ini bukan soal stok, ini soal “distribusi”.

Dan lucunya lagi, kalau soal distribusi fee proyek, mereka amat sangat cekatan. Nggak ada cerita bahan telat, semuanya cair tepat waktu seperti debit air banjir. Tapi soal distribusi BBM ketika rakyat sedang kesusahan? Tiba-tiba mereka lupa cara bekerja. Tiba-tiba jadi amatir. Seakan-akan logistik hanya bisa berjalan kalau ada tender dan kick-back. Selebihnya? Langsung pasang pengumuman: “Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini.”

 

Ketika Kemanusiaan Tenggelam, Bisnis Mengapung

Dan yang lebih miris lagi, di tengah banjir muncul “wirausahawan dadakan”, oknum masyarakat yang insting dagangnya melonjak seperti harga Pertalit dalam botol eceran di pinggir jalan. Dengan penuh keahlian, mereka ikut antri berkali-kali untuk membeli BBM, lalu menjualnya secara eceran dengan harga naik tiga sampai lima kali lipat. Modal empati nol rupiah, margin keuntungan setinggi langit.

Sungguh miris. Di satu sisi, rakyat antre di SPBU sampai gelap. Di sisi lain, muncul pelaku ekonomi kreatif: penimbun berbasis bencana. Inovasinya luar biasa — dua jam antre, lima menit jual. Harganya? Naik seperti inflasi moral pejabat.

Hebat betul. Anehnya, para oknum ini bergerak jauh lebih cepat daripada bantuan pemerintah. Dan orang bisa bertanya: kok bisa? Kok ada ruang untuk itu?

Jawabannya sederhana: pemerintah lambat, pengawasan longgar, rakyat panik dan momen ideal untuk oportunis masuk.

Di titik ini, bencana bukan lagi sekadar banjir. Tetapi juga cermin betapa tipisnya selimut moral sosial—bahkan sebelum kering, sudah disobek jadi peluang. Ketika air naik, harga naik. Dan yang tenggelam justru kemanusiaan.

***

Kalau mau jujur, penyebabnya bukan sekadar bencana alam. Ini bencana sistemik yang disebabkan:

Pertama, koordinasi pemerintah berantakan. Semua jago konferensi pers, payah di lapangan.

Kedua, rantai distribusi kaku. Ketika situasi dinamis, sistem tetap birokratis.

Ketiga, data dan kewaspadaan rendah. Sudah tahu curah hujan ekstrem, tapi tetap santuy sampai pompa-pompa mati.

Keempat, pengawasan minim. Oportunis liar berkembang biak seperti bakteri di air keruh.

Kelima, komunikasi publik buruk. Menyuruh rakyat “jangan panik” sembari tak ada solusi konkret. Ya sama saja menyuruh “jangan lapar” tanpa memberi makan.

 

Apa Solusinya?

Solusinya bukan menambah suara himbauan. Mulut pejabat bukan truk tangki. Yang dibutuhkan rakyat:

 

Penutup

Selama negara masih lebih jago mengatur tender daripada mengatur distribusi bantuan.  Selama konferensi pers lebih gesit daripada mobil tangki. Dan selama suara pejabat lebih cepat sampai daripada BBM… maka panic buying akan terus terjadi. Karena rakyat hanya panik ketika negara gagap dan gagal hadir.

Dan ketika rakyat harus menyelamatkan diri sendiri, pejabat seharusnya berhenti menyuruh mereka “jangan panik.”. Sebab bukan rakyat yang bikin masalah. Justru yang bikin rakyat panik adalah pemerintah yang tak becus bekerja. (*)

Exit mobile version