“Negara bukan sekadar penegak aturan. Ia penyangga hidup warganya ketika bencana mengguncang. Kepemimpinan terlihat dari prioritasnya: mendahulukan manusia atau prosedur,”
TAJDID.ID~Medan || Penanganan bencana banjir di Sibolga kembali memantik kritik publik setelah 16 warga ditangkap karena menjarah minimarket saat pasokan makanan terputus. Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai penegakan hukum dalam situasi darurat tidak boleh dijalankan secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi kemanusiaan para penyintas.
Menurut Farid, laporan lapangan menunjukkan tindakan penjarahan tersebut bukan didorong motif kriminal, melainkan kelangkaan pangan akibat distribusi bantuan yang tersendat. Hal itu turut dipertegas oleh pernyataan Menteri Sosial yang menyebut situasi di Sibolga sebagai keadaan kemanusiaan ekstrem, serta Menteri Dalam Negeri yang menyatakan warga “lapar karena bantuan sulit masuk”. Mabes Polri juga mengakui penjarahan terjadi akibat suplai logistik terganggu.
“Hukum pidana tidak bekerja di ruang steril. Ia harus membaca realitas sosial yang rapuh, terutama ketika negara terlambat hadir pada jam-jam genting,” kata Farid, Selasa (2/12).
Anggota Komisi Yudisial 2015–2020 ini menilai mandat aparat untuk menjaga ketertiban tetap penting, namun langkah penindakan seharusnya mempertimbangkan pendekatan restorative justice. Dalam konteks ini, keadilan harus menimbang kemiskinan ekstrem, keterputusan akses pangan, dan ketidakpastian hidup warga terdampak.
“Norma hukum harus berjalan, tetapi tidak boleh mengabaikan nalar publik. Yang dibutuhkan adalah pemulihan sosial, bukan pemidanaan warga yang sedang bertahan hidup,” tegasnya.
Farid juga menyoroti kecurigaan publik terkait minimnya perhatian terhadap faktor-faktor struktural yang menyebabkan bencana berulang, seperti pembabatan hutan dan pelanggaran tata ruang. Ia menilai negara tidak boleh lebih cepat menindak warga kelaparan dibanding mengungkap kerusakan ekologis yang memperparah risiko banjir.
“Transparansi mutlak diperlukan untuk menelusuri penyebab ekologis bencana. Tidak adil bila warga yang kelaparan diproses cepat, sementara akar masalahnya tidak disentuh,” ujarnya.
Ketua Majelius Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini mengingatkan pemerintah pada pengalaman penanganan tsunami Aceh 26 Desember 2004. Saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla langsung terjun ke lokasi dan memerintahkan pembukaan paksa gudang Bulog, obat-obatan, serta pengumpulan kebutuhan pokok dari toko-toko. Langkah cepat itu membuat layanan makan melonjak dari 80 orang pada pagi hari menjadi 10.000 jiwa di malam hari.
“Ketika negara hadir cepat dan tegas, penjarahan berhenti bukan karena represi, tetapi karena kebutuhan dasar terpenuhi. Pelajaran itu sudah jelas: 72 jam pertama adalah hukum tertinggi dalam manajemen bencana,” kata Farid.
Ia menilai pola ini tidak terlihat di Sibolga. Logistik tersendat, dan pejabat masih terjebak prosedur, sehingga ruang keputusasaan warga melebar. Seharusnya, kata Farid, pelajaran dari Aceh telah menjadi protokol baku: menonaktifkan birokrasi pada fase awal bencana, membuka gudang logistik, menghadirkan pimpinan tertinggi di lokasi, serta memberi perlindungan hukum bagi pelaksana lapangan yang bertindak cepat.
“Negara bukan sekadar penegak aturan. Ia penyangga hidup warganya ketika bencana mengguncang. Kepemimpinan terlihat dari prioritasnya: mendahulukan manusia atau prosedur,” tandas Farid.
Ia menegaskan bahwa bila pemerintah ingin memulihkan kepercayaan publik, fokus utama bukan pemidanaan warga yang kelaparan, melainkan perbaikan tata kelola lingkungan, penguatan sistem logistik darurat, dan keberanian mengambil langkah cepat tanpa menunggu kerangka administratif.
“Dalam situasi bencana, yang utama adalah keselamatan manusia. Prosedur bisa menyusul kemudian,” tutupnya. (*)

