Site icon TAJDID.ID

Di Balik Banjir Sumatera dan Kepanikan Politik Nasional

TAJDID.ID~Medan || Saat lumpur menutup rumah-rumah warga, ratusan hektare sawah tenggelam, dan korban meninggal terus bertambah, satu pertanyaan menyembul ke permukaan: Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dengan diamnya negara?

Pengamat kebijakan publik dan dosen FISIP UMSU, Shohibul Anshor Siregar, menyebut bencana Sumatera bukan semata bencana alam. Ini bencana tata kelola negara yang gagal menghadapi oligarki industri ekstraktif selama satu dekade terakhir—dan kini berlanjut.

Jejak Industri: Data yang Tak Terbantahkan

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara (LHKP PWM Sumut) ini membeberkan hasil ivestigasi:

1. 62.000 hektare hutan Sumatera hilang hanya dalam 12 bulan terakhir

(KLHK 2023–2024)

2. 46% DAS kritis berada di wilayah dengan izin sawit, HTI, dan tambang

3. 7 dari 10 kabupaten paling terdampak banjir memiliki konsentrasi konsesi industri ekstraktif tertinggi

(Berdasarkan overlay peta KLHK – BIG – ATR/BPN)

4. Laporan WALHI 2024 menyebut 78 perusahaan “berisiko tinggi” dalam kerusakan lanskap Sumatera

5. 14 sungai besar mengalami pendangkalan ekstrem dalam 5 tahun terakhir

(BPS, RLPS)

Namun, kata Siregar, tidak satu pun dari perusahaan-perusahaan tersebut dihentikan operasinya.Tidak ada moratorium.Tidak ada audit. Tidak ada pencabutan izin. Dan tidak ada tuntutan pidana.

“Negara takut menghadapi penyebab sebenarnya. Itu sebabnya banjir ini tidak pernah berakhir,” tegasnya.

Warisan Kepemimpinan Citra Era 2014-2024

Koordinator Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (n’BASIS) ini mengungkapkan, investasi mereka menunjukkan bahwa pola komunikasi pemerintahan sebelumnya—yang sangat bergantung pada citra Presiden, blusukan, dan PR politik—membentuk budaya baru dalam birokrasi: krisis diselesaikan dengan kamera, bukan kebijakan.

Siregar menyebut model ini sebagai legacy paling berbahaya. “Model kepemimpinan citra dan political marketing populis harus ditinggalkan 100% setelah apa yang diderita bangsa ini selama 10 tahun dipimpin Joko Widodo.” ujarnya.

Dampaknya, kata Siregar terlihat jelas: kebijakan lingkungan diperlunak demi investasi,
luasan konsesi meningkat drastis, penegakan hukum lemah, konflik agraria meluas, dan keberanian struktural menghilang.

“Kepemimpinan menjadi pertunjukan, bukan penyelesaian masalah,” tegasnya.

Di Bawah Pemerintahan Baru: Harapan yang Gagal Tumbuh

Menurut Siregar, pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan kegamangan awal ketika berhadapan dengan persoalan struktural.

“Investigasi kami memperkuat klaim ini melalui serangkaian kasus nasional,” kata Siregar.

Pertama, pemiskinan nasional akibat judi online (judol). Siregar mengatakan, data Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan (PPATK): sebesar Rp 327 triliun perputaran dana judol 2023–2024. Lebih dari 3,2 juta warga terdampak langsung. Penindakan hanya menyentuh level operator kecil.Dantidak ada tindakan struktural terhadap jaringan besar.

“Ini bukan sekadar kejahatan digital. Ini pemiskinan massal,” kata Siregar.

Kedua, sengketa Lahan dan Kasus “Pagar Laut” Tangerang. Investigasi lapangan menemukan, bahwa pagar baja dibangun mengurung laut dalam radius lebih dari 1 km yang menghalangi akses nelayan.Dilakukan oleh konsorsium swasta berpengaruh. Sementara pemerintah daerah dan pusat saling lempar tangan.

“Ini puncak kemaharajaan oligarki,” ujar Siregar.

Ketiga, proyek gagal Whoosh. Siregar mengungkapkan, laporan auditor internal BUMN mengungkap: biaya bengkak lebih dari Rp 20 triliun, proyeksi penumpang meleset 70%, beban subsidi berpotensi permanen.

“Anehnya, tidak ada evaluasi kebijakan. Tidak ada investigasi publik,” kata Siregar.

Keempat, drama Morowali, bandara yang membingungkan Negara. Dalam kasus ini, investigasi menemukan, bandara dibangun perusahaan tambang tanpa kejelasan izin. Ketegangan muncul antara pusat dan daerah. Presiden melakukan kunjungan dadakan. Ada “show of force” sesaat. Tidak ada keputusan struktural sampai hari ini.

“Ini contoh nyata negara ragu terhadap modal besar,” tegas Siregar.

 

Banjir Sumatera: Mengapa Negara Takut Menetapkan Bencana Nasional?

Siregar heran mengapa pemerintah pusat menahan diri menetapkan status bencana nasional.

“Karena status nasional memaksa audit total. Dan audit total pasti menyentuh perusahaan besar,” ujar Siregar.

Menurutnya, ini sikap yang amat tak terpuji dan tak menunjukkan iktikad yang bermuara solusional.

 

Solusi Struktural: Moratorium dan Audit

Siregar mengajukan resep profesional:

1. Moratorium industri ekstraktif di wilayah terdampak (maksimal 1 tahun).

2. Audit nasional independen yang wajib menyentuh 3 sektor: sawit, tambang, HTI.

3. Cabut izin permanen bagi pelanggar.

4. Tindak pidana & perdata tanpa pengecualian.

“Jika negara terus-menerus takut pada oligarki, maka negara yang sudah kehilangan kedaulatan ini akan sesuai ramalan yang dulu disukai Prabowo, yakni hilang dari peta dunia.”

Prabowo Pasti Terpilih 2029 Jika Berani Putus dari Era 2014~2024

Menurut analisis Siregar, Prabowo tidak perlu takut kehilangan kekuasaan. Sebagai petahana,tegas Siregar, Prabowo hampir pasti terpilih kembali pada 2029—asal ia berani memutus total warisan model kepemimpinan citra dan menunjukkan keberanian struktural.

“Memang ia tak boleh memandang sebelah mata Gibran dan semua kekuatan di belakangnya termasuk fakta besar dari fenomena kecil seperti pembangkangan hukum yang ditegaskan oleh Silvester Matutina. Selain itu tentu akan menjadi batu sandungan yang keras baginya jika hasil komite reformasi kepolisian kelak hanya narasi tanpa makna.” bebernya.

“Namun, jika Prabowo tetap gamang dan terus mengikuti pola 2014–2024, maka rakyat akan menyimpulkan bahwa tidak ada perubahan apa pun.” ujar Siregar mengingatkan.

Terakhir Siregar menegaskan, bahwa banjir Sumatera bukan bencana alam, melainkan bencana keberanian politik. Sebab yang dirusak bukan hanya hutan, tetapi juga keputusan negara untuk melindungi rakyatnya.

“Di titik ini, pilihan Presiden Prabowo akan menentukan arah republik: melanjutkan kepemimpinan citra, atau memulai keberanian struktural,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version