TAJDID.ID~Medan || Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia (Fordek FH & STIH PTM) menyatakan keprihatinan mendalam atas bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang telah menewaskan lebih dari 303 jiwa serta meninggalkan 279 orang hilang. Fordek menyebut tragedi tersebut bukan sekadar bencana alam, melainkan kejahatan lingkungan akibat aktivitas ekstraktif yang masif dan kebijakan negara yang abai terhadap kelestarian ekologi.
Ketua Fordek FH & STIH PTM se-Indonesia, Dr. Faisal, SH, M.Hum, menegaskan bahwa narasi yang menyebut banjir dan longsor terjadi hanya karena cuaca ekstrem tidak lagi relevan dengan fakta lapangan. Ia menilai kerusakan lingkungan yang parah, deforestasi besar-besaran, dan alih fungsi lahan untuk kepentingan industri telah memperburuk risiko bencana di Sumatera.
“Tidak ada bencana alam dalam arti murni ketika kerusakan lingkungan dihasilkan oleh kebijakan yang permisif dan praktik industri ekstraktif. Ini adalah bencana sosial-ekologis akibat kesalahan kebijakan manusia,” tegas Dr. Faisal, Senin (1/12).
Menurutnya, pelemahan pengawasan lingkungan, eksploitasi tambang dan perkebunan kelapa sawit, serta pemberian izin yang tidak memperhatikan keberlanjutan ekologis telah memperbesar risiko bencana. Ia juga mengkritik kebijakan pemerintah yang menurunkan Dana Tak Terduga (DTT) untuk penanggulangan bencana demi pembiayaan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang dianggap bertentangan dengan mandat negara untuk melindungi hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 28H UUD 1945.
Dalam pernyataan resminya, Fordek FH & STH PTM menyampaikan enam tuntutan kepada pemerintah dan aparat penegak hukum:
1. Penetapan Status Darurat Bencana Nasional
Fordek mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional atas bencana sosial-ekologis di Sumatera dan memastikan langkah tanggap darurat yang sesuai standar HAM.
2. Penghentian Aktivitas Industri Ekstraktif
Mereka meminta Presiden menghentikan seluruh aktivitas industri ekstraktif di kawasan ekologi genting, termasuk perkebunan sawit dan pertambangan, serta melakukan evaluasi total terhadap seluruh perizinan di daerah terdampak banjir.
3. Kebijakan Publik Berbasis Sains
Pemerintah diminta mengeluarkan kebijakan publik yang berbasis riset ilmiah, bukan retorika, dan berpihak pada kemanusiaan serta keadilan ekologis.
4. Reorientasi Anggaran PSN
Fordek mendesak agar anggaran PSN yang berisiko merusak lingkungan dialihkan untuk pemulihan dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
5. Penegakan Hukum Humanis bagi Korban Bencana
Fordek menyesalkan tindakan polisi menangkap warga Sibolga yang mengambil makanan dari minimarket saat akses terputus akibat banjir bandang pada 25 Oktober 2025. Menurut Dr. Faisal, penegakan hukum harus mempertimbangkan kondisi darurat kemanusiaan.
“Mereka sedang berjuang untuk bertahan hidup. Penangkapan seperti itu bukan hanya menambah trauma warga, tetapi menghilangkan empati negara,” ujarnya.
6. Proses Hukum atas Dugaan Korupsi dan Kejahatan Lingkungan
Fordek mendorong Kejaksaan RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses dugaan korupsi terkait perizinan deforestasi dan pelanggaran AMDAL yang diduga berkontribusi pada bencana.
Dr. Faisal menegaskan bahwa komunitas akademik berkewajiban mengawal tegaknya supremasi hukum dan konstitusi agar keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial terjamin di Indonesia.
“Ini bukan hanya musibah kemanusiaan, tetapi peringatan keras bahwa kita sedang berada di titik kritis kerusakan lingkungan nasional. Negara harus hadir untuk menyelamatkan manusia dan ekosistem, bukan melanggengkan keterancaman,” tutupnya. (*)

