Site icon TAJDID.ID

Fatwa Pajak Berkeadilan, Ethics of Care: Cermin Retak Sistem Fiskal Indonesia

Farid Wajdi, Founder Ethics of Care.

TAJDID.ID~Medan || Terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai Pajak Berkeadilan memantik diskusi nasional terkait arah kebijakan fiskal. Dalam fatwa tersebut, MUI menyoroti pungutan atas hunian pribadi nonkomersial serta batas penghasilan kena pajak yang dinilai tidak sejalan dengan kemampuan riil masyarakat.

Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai fatwa itu menjadi “alarm korektif” atas praktik fiskal yang selama ini dianggap menormalisasi beban pada kebutuhan primer warga.

“Hunian pribadi adalah kebutuhan dasar. Ketika dipajaki berulang, negara memindahkan risiko fiskal kepada warga, bukan menghadirkan keadilan,” ujar Farid dalam keterangannya, Senin (24/11).

PBB dan Paradoks Keadilan

Farid menjelaskan, pajak bumi dan bangunan (PBB) atas rumah tinggal menimbulkan paradoks karena objek pajak mengikuti kenaikan nilai tanah akibat kebijakan tata kota, sementara pendapatan warga kerap stagnan.

“Kenaikan PBB sering menjadi tekanan administratif. Ia tidak lagi berfungsi sebagai instrumen keadilan, melainkan beban yang memperlebar jurang antara penerimaan negara dan kemaslahatan publik,” jelas Anggota Komisi Yudisial 2015-2020 ini.

Menurut Farid, pungutan berulang terhadap hunian pada akhirnya membuat masyarakat menanggung risiko fiskal yang seharusnya dipikul negara.

Ambang Pajak Penghasilan Dinilai Tidak Realistis

Ethics of Care juga menyoroti batas penghasilan bebas pajak yang dinilai terlalu rendah. Hal itu, menurut Farid, berdampak pada kelompok masyarakat berpendapatan pas-pasan.

“Keadilan fiskal tidak boleh memaksa kelompok rentan membayar pajak untuk menutup defisit kepercayaan. Pajak progresif itu menghukum kelebihan, bukan menggerus kebutuhan dasar,” tegas Farid.

Ketua Majelis Hukum dsn HAM (MHH) PW Muhammadiyah Sumut ini mengatakan, praktik menarik pajak dari kelompok rentan hanya menghasilkan ilusi keberhasilan dalam statistik kepatuhan, namun mengikis legitimasi negara.

Respons Otoritas Pajak Belum Menyentuh Akar Masalah

Meski otoritas pajak mengklaim telah membuka ruang dialog, Farid menilai langkah tersebut belum menyelesaikan substansi masalah.

“Memindahkan tanggung jawab kepada pemerintah daerah tidak cukup. Desentralisasi tanpa standar keadilan hanya melahirkan disparitas kebijakan antarwilayah,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya rekonstruksi basis pajak, penghapusan pungutan atas kebutuhan primer, serta penguatan mekanisme subsidi silang dari sektor berdaya tinggi.

Defisit Akuntabilitas dan Runtuhnya Kepercayaan Publik

Farid menyampaikan bahwa persoalan fiskal tidak hanya berkaitan dengan tarif pajak, tetapi juga akuntabilitas penggunaan anggaran.

“Ketika laporan penggunaan dana tidak terasa dalam kehidupan sehari-hari—jalan rusak, fasilitas kesehatan minim, sekolah kekurangan sarana—publik bertanya, ke mana uang pajak mereka? Ini bukan sikap anti-pajak, tetapi akibat defisit akuntabilitas,” ungkapnya.

Ia menilai pajak berpotensi dianggap sebagai “komoditas kekuasaan” jika transparansi tidak diperkuat.

Desakan Reformasi: Transparansi dan Etika Pengelolaan

Farid menegaskan bahwa reformasi fiskal harus menempatkan transparansi sebagai fondasi. Ia mendorong pelaporan berbasis hasil, audit independen, dan visibilitas publik atas relasi antara pajak yang dibayar dengan layanan yang diberikan negara.

Selain itu, pajak harus dipersepsi sebagai amanah sosial yang memuat hak warga atas manfaat konkret.

“Penegakan etik harus tegas. Pengadaan harus terbuka, transaksi harus berjejak digital, dan penyalahgunaan anggaran harus dikenai sanksi progresif. Pencegahan korupsi tidak boleh menjadi seremoni,” katanya.

Fatwa sebagai Batas Moral

Menurut Farid, fatwa MUI memberikan batas moral yang tegas bagi negara dalam memungut pajak.

“Pajak boleh dipungut, tetapi hanya pada ruang yang adil, proporsional, dan berdampak nyata. Jika diabaikan, negara justru mengikis legitimasi dirinya sendiri,” tegasnya.

Ia menambahkan, merespons fatwa tersebut dengan serius merupakan peluang untuk memperbaiki kontrak sosial antara warga dan negara.

Seperti diketahui, baru-baru ini MUI mengeluarkan fatwa tentang Pajak Berkeadilan. Dalam fatwa itu, tertulis jika bumi dan bangunan yang dihuni tak boleh kena pajak berulang. Karena itu direkomendasikan agar pemerintah mengevaluasi pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga pajak pertambahan nilai (PPn).

Dikutip dari detikHikmah, Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan fatwa ini dikeluarkan merespons keluhan akibat kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.

“Fatwa ini ditetapkan sebagai respons hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil, sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Ni’am dalam keterangannya di Hotel Mercure Jakarta, Ahad (23/11/2025).

Ni’am menegaskan objek pajak hanya dikenakan terhadap harta potensial untuk diproduktifkan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). Sedangkan, bumi dan bangunan hunian yang tidak disewakan tidak termasuk dalam kriteria tersebut.

“Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” ujar Ni’am.

Ni’am menyebut pajak seharusnya hanya dikenakan kepada warga negara yang mampu secara finansial. Secara syariat, indikator yang digunakan ialah minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.

“Ini bisa jadi batas PTKP,” tegasnya.

Fatwa itu menegaskan agar pemungutan pajak dilakukan dengan adil. Fatwa juga minta pemerintah meninjau ulang beban pajak yang dinilai terlalu besar. (*)

 

Exit mobile version