TAJDID.ID~Medan || Di tengah derasnya arus digitalisasi yang kerap membuat generasi muda tenggelam dalam hiburan tanpa akhir, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed., menyuarakan pesan kuat, kebiasaan membaca adalah pondasi peradaban. Seruan ini bukan sekadar retorika, tetapi peringatan sekaligus ajakan untuk membangun kembali budaya literasi sebagai kunci kemajuan bangsa.
Menurut Abdul Mu’ti, teknologi seharusnya tidak hanya menjadi panggung hiburan, tetapi ruang belajar tak terbatas, sebuah perpustakaan virtual yang menyediakan jendela pengetahuan kapan pun dan di mana pun. “Membaca adalah bagian dari tujuh kebiasaan anak Indonesia hebat,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa membaca bukanlah aktivitas terikat tempat, melainkan kebiasaan yang bisa tumbuh dari kesadaran pribadi, baik melalui buku cetak maupun gawai pintar.
Dalam pandangan Menteri Dikdasmen itu, tidak ada peradaban besar yang lahir tanpa budaya literasi. Perilaku sederhana seperti membuka buku, mencatat ide, atau membaca artikel digital, adalah langkah kecil yang menjadi jalan menuju masa depan bangsa yang cerdas dan berdaya saing global.
Abdul Mu’ti juga menyoroti nilai moral dalam buku bertema etika berlalu lintas yang ia bahas. Buku tersebut, lebih dari sekadar kumpulan aturan jalan raya, dipandangnya sebagai contoh bagaimana literasi dapat membentuk karakter. Ia menilai bacaan yang sarat pesan etis selaras dengan pendekatan deep learning, yakni pembelajaran yang menanamkan nilai, bukan sekadar pengetahuan teknis. Hasilnya, menurutnya, adalah masyarakat yang bukan hanya terampil, tetapi juga beradab.
Mendukung penuh gagasan tersebut, Robie Fanreza, akademisi UMSU (Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara) sekaligus pendamping gerakan literasi, menekankan pentingnya sekolah sebagai ruang pertama pembudayaan membaca. Baginya, revitalisasi perpustakaan, agar tampil lebih modern, nyaman, dan relevan, adalah langkah awal menghidupkan minat baca siswa.
Namun di era digital ini, perpustakaan bukan satu-satunya jawaban. Robie memandang gawai bukan musuh, melainkan peluang. Dengan strategi yang tepat, gawai dapat menjadi media pembelajaran efektif, tugas membaca ringan, eksplorasi digital, hingga aktivitas literasi berbasis aplikasi.
“Kuncinya adalah mengubah pola pikir. Bahwa belajar bisa dilakukan di mana saja, termasuk lewat teknologi. Keduanya seirama dalam visi, membaca bukan sekadar kewajiban sekolah, tetapi kunci membentuk generasi kritis, berkarakter, dan unggul menghadapi tantangan zaman. Gerakan literasi, jika digarap serius, bukan hanya melahirkan siswa yang pintar, tetapi warga bangsa yang mampu memaknai kemajuan teknologi tanpa kehilangan nilai-nilai fundamental pendidikan,” tutupnya. (*)

