Oleh: M. Risfan Sihaloho
“Musa datang untuk membenahi kerusakan akhlak ini. Dan Musa mesti berkali-kali tersungkur sebab dia coba mempersembahkan cahaya kebenaran yang serbaasing bagi kaum yang terlanjur mengakrabi kegelapan”
Nukilan yang ditulis Hendri Teja dalam bukunya Iblis-Iblis Capres itu seperti cermin besar yang kita pasang di hadapan zaman kita sendiri. Zaman ketika kebenaran dianggap barang antik yang tidak lagi laku dijual, dan keadilan jadi komoditas mewah yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang bermodal kuasa.
Memperjuangkan kebenaran dan keadilan memang kerja yang mulia. Tapi marilah jujur barang sejenak: siapa yang benar-benar mau menanggung konsekuensinya? Berapa banyak orang yang siap menukar kenyamanan dengan risiko, popularitas dengan cemooh, kedudukan dengan ancaman?
Baca juga:
Di negeri di mana keberpihakan pada kekuasaan sering lebih dihargai ketimbang integritas, menjadi pejuang kebenaran adalah profesi tak bergaji, bahkan lebih sering justru rugi secara materi duniawi. Orang-orang waras pun bisa dibuat tampak bodoh hanya karena memilih untuk tidak menunduk.
Karena itu jumlah pejuang kebenaran selalu sedikit. Justru yang ramai adalah penonton, komentator, atau mereka yang memilih diam sembaril menghibur diri dengan fatalisme murahan: “begitulah dunia,” “kita kan rakyat kecil,” “yang penting hidup aman.”
Padahal dunia hanya berubah oleh mereka yang berani tidak aman.
Dan perjuangan itu, seperti diingatkan Mochtar Lubis dalam bukunya Jalan Tak Ada Ujung, bukanlah perjalanan pendek yang bisa ditempuh dalam waktu yang singkat. “Saya sudah tahu—semenjak semula—bahwa jalan yang kutempuh ini adalah tidak ada ujung,” tulisnya. Sungguh sebuah pengakuan jujur bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak pernah mengenal garis finis.
Habis satu tirani tumbang, tirani lain tumbuh dari reruntuhannya. Satu kebohongan runtuh, kebohongan berikutnya sedang antre naik panggung. Manusia selalu diuji: mana yang ia pilih: cahaya yang menyilaukan atau kegelapan yang menenangkan?
Mereka yang memilih jalan panjang tanpa ujung itu sebenarnya bukan orang-orang yang tidak takut. Mereka takut—justru karena itu mereka melangkah. Sebab di titik tertentu hidup hanya menawarkan dua pilihan: menjadi bagian dari masalah atau berdiri, walau sendirian, menjadi bagian dari solusi.
Baca juga:
Pejuang kebenaran mungkin tidak selalu menang. Tapi mereka selalu meninggalkan jejak-jejak yang membuat dunia tahu bahwa tidak semua manusia bisa dibeli, disogok, atau ditundukkan.
Dan jika Anda, aku, kita semua, akhirnya memilih jalan itu, maka bersiaplah: ini bukan jalan yang nyaman, bukan jalan yang riuh oleh tepuk-tangan, dan bukan jalan yang singkat.
Ini jalan tanpa ujung. Jalan tak mulus dan dipenuhi lobang dan duri. Jalan yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang percaya bahwa kebenaran mungkin kalah hari ini, tapi takkan pernah punah.
Dan di setiap zaman, selalu ada—meski sedikit—manusia yang memilih untuk terus berjalan. (*)

