TAJDID.ID~Medan || Serangkaian insiden terkait Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali memicu kegelisahan publik. Mulai dari temuan cacing hidup dalam makanan hingga kasus keracunan massal siswa, rangkaian peristiwa tersebut dinilai mencerminkan lemahnya tata kelola program yang seharusnya menjadi ujung tombak perbaikan gizi nasional.
Founder Ethics of Care, Farid Wajdi, menilai deretan insiden itu tidak lagi dapat dianggap sebagai kesalahan teknis semata. “Yang terjadi bukan hanya memalukan, tetapi juga memilukan. Fondasi pengelolaan program ini kini dipertanyakan publik,” ujarnya kepada TAJDID.ID, Ahad (16/11).
Cacing Hidup dalam Menu MBG di Medan
Kasus yang paling menyedot perhatian terjadi di Medan, ketika sebuah video memperlihatkan seekor cacing tanah masih bergerak di samping sajian telur orak-arik MBG. Pejabat setempat menyebut kejadian itu hanya muncul pada satu porsi, namun pernyataan tersebut dinilai tidak cukup meredakan kecurigaan publik.
Menurut Anggota Komisi Yudisial RI 2015–2020 ini, keberadaan cacing hidup menunjukkan lemahnya sanitasi dan proses pengecekan akhir. “Ini bukan sekadar kelalaian kecil. Tidak mungkin program pangan bergizi mengabaikan kebersihan bahan baku dan higienitas dapur,” tegasnya.
Keracunan Massal di Bogor
Di Bogor, puluhan siswa mengalami mual, muntah, dan diare setelah mengonsumsi menu MBG. Investigasi menemukan bahwa dapur SPPG yang memproduksi makanan tersebut belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi.
“Program ini dipaksakan berjalan tanpa kesiapan infrastruktur. Jika dapur saja belum memenuhi standar, keracunan bukan kejadian sporadis — itu konsekuensi langsung,” kata Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini.
Belatung dalam Sajian MBG di Bulukumba
Insiden lain muncul di Bulukumba, tempat belatung ditemukan dalam tempe dan pisang menu MBG. Bagi Farid, temuan tersebut mengindikasikan masalah serius dalam penyimpanan dan pengelolaan bahan baku.
“Belatung tidak muncul begitu saja. Ia hadir karena bahan busuk atau penyimpanan yang tak memenuhi standar. Bagaimana mungkin makanan seperti itu diberikan kepada anak sekolah?” ujarnya.
Pola Kegagalan Tata Kelola
Deretan kasus tersebut, kata Farid, menunjukkan pola yang terlalu konsisten untuk disebut kebetulan: lemahnya kontrol kualitas, sanitasi dapur yang tidak memadai, SOP yang tidak dijalankan, serta minimnya pengawasan.
“Masyarakat diberi slogan MBG sebagai solusi gizi nasional. Faktanya, yang terlihat justru makanan yang jauh dari kategori layak konsumsi,” terangnya.
Korban: Anak-anak Paling Rentan
Farid menegaskan, sisi paling tragis dari rangkaian insiden ini adalah kenyataan bahwa korbannya adalah anak-anak. “Mereka dijanjikan makanan sehat, tetapi yang datang adalah pengalaman traumatis. Orang tua punya hak untuk marah, dan negara wajib bertanggung jawab,” ujarnya.
Desakan Perbaikan Menyeluruh
Farid menyerukan agar keamanan pangan menjadi prioritas absolut dalam pelaksanaan MBG.
“Setiap dapur wajib tersertifikasi. Setiap proses wajib diawasi. Dan setiap pelanggaran harus diberikan sanksi tegas. Jika ruang kelalaian terus dibiarkan, program ini hanya akan melahirkan ironi — makanan yang seharusnya menyehatkan justru menjadi sumber bahaya,” pungkasnya. (*)

