Oleh: Rizki Firmanda Dardin*
Judul Buku : Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi Revisi)
Penerbit : Penerbit Setara Press, Malang
Penulis : Farid Wajdi dan Diana Susanti
Jumlah Halaman : 422 halaman
Tahun Terbit dan Cetakan : Cetakan Pertama, Oktober 2025
Ukuran : 15 x 23 Cm
ISBN : 978-623-6716-47-2
Di tengah kehidupan yang makin dikendalikan algoritma, iklan, dan diskon digital, suara nalar sering kali tenggelam di antara deru transaksi. Di sinilah buku Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi Revisi, 2025) hadir sebagai pengingat bahwa hukum seharusnya bukan alat pelengkap pasar, melainkan pelindung manusia dari kerakusan sistem ekonomi.
Ditulis oleh Farid Wajdi dan Diana Susanti, akademisi dan alumni Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, buku ini bukan sekadar kajian hukum formal, tetapi refleksi mendalam tentang martabat konsumen di tengah dunia yang kian dikomodifikasi. Dalam 422 halaman yang padat namun komunikatif, penulis mengajak pembaca memahami setiap kita, dalam kedudukan sebagai pengguna barang dan jasa, memiliki hak, kewajiban, dan perlindungan hukum yang nyata.
Konsumen di Bawah Bayang Kapitalisme
Buku ini dibuka dengan pengantar yang memikat: potret masyarakat modern yang terjebak di antara dua kutub ekstrem, konsumtivisme versus konsumerisme. Yang pertama mendorong manusia membeli tanpa berpikir; yang kedua menuntut kesadaran etis atas apa yang dikonsumsi.
Dalam dunia yang dikuasai korporasi besar dan platform digital, konsumen tak ubahnya pion kecil dalam permainan raksasa. Pelaku usaha menggenggam sumber daya dan informasi, sementara konsumen hanya menjadi statistik di balik angka penjualan.
Wajdi menyebut fenomena ini sebagai bentuk ketimpangan struktural antara kekuatan ekonomi dan perlindungan hukum. Pemerintah yang seharusnya berperan sebagai invisible hand kerap absen dalam mengontrol pasar. Di sinilah hukum, katanya, harus turun tangan, bukan sekadar menertibkan, tetapi juga memberdayakan yang lemah.
Hukum yang Menyentuh Kehidupan Nyata
Keunggulan utama buku ini terletak pada cara penulis menyajikan konsep hukum dengan bahasa yang mudah dipahami. Ia menelusuri definisi hukum dan konsumen melalui pandangan klasik Utrecht, Kant, hingga Az. Nasution, lalu menautkannya dengan realitas kontemporer: transaksi daring, iklan manipulatif, hingga penyalahgunaan data pribadi. Dengan gaya mengalir, penulis menunjukkan hukum perlindungan konsumen bukanlah urusan pasal semata, melainkan upaya menegakkan keadilan sosial di tengah kompetisi ekonomi yang kerap tak beretika.
Edisi revisi 2025 ini menampilkan pembaruan penting: isu transaksi elektronik, produk halal, keamanan pangan, dan jasa pendidikan serta kesehatan kini mendapat porsi signifikan. Semua dibahas dengan cermat dan aktual, menjadikan buku ini bukan hanya rujukan akademik, tapi juga panduan praktis bagi siapa pun yang ingin memahami dunia konsumen modern.
Dari UUPK ke Kesadaran Publik
Bagian tengah buku mengulas dengan detail Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) sebagai landasan yuridis utama yang mengatur hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen. Bagi penulis, UUPK bukan sekadar teks hukum, melainkan “aturan main moral” dalam kehidupan ekonomi. Mereka menekankan pentingnya etika bisnis, kejujuran, dan tanggung jawab sosial perusahaan. Namun, penulis juga realistis: penegakan UUPK di lapangan masih tersendat, lembaga seperti BPSK dan BPKN sering kehilangan daya karena birokrasi yang lamban dan kurangnya sumber daya.
Alih-alih menyerah, penulis menawarkan gagasan segar: menumbuhkan literasi hukum konsumen sebagai gerakan sosial baru. Perlindungan konsumen, kata mereka, tak akan efektif tanpa kesadaran masyarakat. Dalam hal ini, hukum bukan sekadar pelindung, tapi juga sarana pendidikan moral publik.
Belajar dari Dunia, Kembali ke Indonesia
Salah satu bagian paling menarik adalah ulasan sejarah global gerakan konsumen—dari The National Consumers League di Amerika Serikat hingga Consumers International di London. Wajdi menelusuri bagaimana pidato John F. Kennedy pada 1962 melahirkan empat hak dasar konsumen: hak atas keamanan, informasi, pilihan, dan suara. Refleksi sejarah ini bukan tempelan akademik, tetapi bahan renungan bagi Indonesia: mengapa di negara lain perlindungan konsumen menjadi bagian dari demokrasi, sedangkan di sini masih dianggap urusan pinggiran?
Dengan gaya argumentatif yang elegan, penulis menegaskan hak konsumen adalah hak warga negara, bagian dari keadilan sosial sebagaimana dijanjikan konstitusi. Membela konsumen berarti membela rakyat, dan membela rakyat berarti memperkuat legitimasi negara hukum.
Dari Klausula Baku hingga Pembuktian Terbalik
Bab-bab berikutnya menggali detail hukum yang sering diabaikan publik. Salah satunya tentang klausula baku, atau perjanjian sepihak yang sering ditemukan di toko dan platform daring. Kalimat seperti “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” dijadikan contoh betapa mudahnya pelaku usaha meniadakan hak konsumen tanpa dasar hukum.
Wajdi menunjukkan praktik semacam itu tidak sah secara hukum karena melanggar prinsip keadilan kontraktual.
Tak kalah penting, pembahasan tentang sistem pembuktian terbalik menjadi sorotan utama. Mekanisme ini memungkinkan konsumen tidak lagi menanggung beban pembuktian sendirian, sebuah paradigma hukum progresif yang memberi ruang keadilan bagi pihak yang lemah.
Walau bersandar pada teori dan rujukan ilmiah, bahasa buku ini tidak kaku. Narasinya mengalir, diselingi refleksi sosial dan contoh nyata, membuat pembaca awam tetap bisa menikmatinya. Farid Wajdi dan Diana Susanti menulis dengan semangat literasi, bukan sekadar pengajaran. Mereka percaya, hukum yang hanya dibaca oleh ahli hukum akan kehilangan makna sosialnya. Karena itu, buku ini terasa lebih hidup, -seperti dialog antara akademisi dan masyarakat.
Dari Pasar ke Nurani
Buku ini ditutup dengan pesan moral yang kuat: “Memantapkan ideologi gerakan konsumerisme sebagai upaya membatasi konsumtivisme.” Pesan ini menohok di tengah budaya konsumsi yang serba instan. Menjadi konsumen bukan berarti menjadi korban pasar, melainkan warga negara yang sadar hak dan tanggung jawabnya. Dengan kesadaran itu, hukum bukan lagi ancaman, tetapi alat pembebasan.
Penutup: Membaca untuk Berdaya
Hukum Perlindungan Konsumen (Edisi Revisi, 2025) adalah lebih dari sekadar buku hukum. Ia adalah manifesto kecil tentang keadilan sosial di ranah ekonomi, ditulis dengan bahasa yang jernih dan semangat yang menggugah.
Buku ini layak dibaca bukan hanya oleh mahasiswa hukum atau praktisi, tetapi oleh siapa pun yang ingin memahami bagaimana melindungi diri dan orang lain dari ketimpangan pasar yang tak mengenal belas kasihan. Membacanya seperti menyaksikan hukum turun dari menara gading, berjalan di pasar, dan berbicara langsung kepada kita: konsumen yang cerdas adalah fondasi bagi bangsa yang berdaulat. (*)
* Peresensi adalah Dosen FH UMMAS Asahan, Kisaran dan Alumnus S3/Doktoral Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana UMSU

