Site icon TAJDID.ID

Akademisi: Gerakan Sosial Tuntut “Tutup TPL” Menanti Sensitivitas Politik Bobby Nasution, Berpotensi Eskalasi Jika Diabaikan

Foto ilustratif by AI

TAJDID.ID~Medan || Kekecewaan ribuan warga yang berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) karena tidak bertemu dengan Bobby Nasution dinilai oleh akademisi sebagai momen krusial yang menuntut kepekaan politik.

Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, menekankan bahwa harapan warga untuk bertemu dan mendapatkan dukungan politik dari gubernur merupakan hal yang sangat normatif mengingat aspirasi yang mereka bawa terkait penderitaan yang merongrong martabat dan kemanusiaan.

Menurut Shohibul, harapan warga tersebut sama sekali tidak berlebihan. Mereka telah memberikan “undangan” jauh hari sebelumnya, berharap gubernur yang baru mereka pilih berkenan mendengar keluhan, bahkan membersamai mereka menuntut pemerintah pusat menegakkan keadilan.

Kekhawatiran Kekecewaan dan Risiko Geopolitik

Ketiadaan Bobby Nasution saat unjuk rasa tersebut berlangsung menimbulkan kekecewaan mendalam di kalangan warga, yang menilai gubernur mereka tidak sensitif terhadap penderitaan berkepanjangan yang mereka alami.

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik  (LHKP) PW Muhammadiyah Sumut ini menyoroti risiko geopolitik dari pendiaman aspirasi rakyat.

“Secara geopolitik Bobby kurang memahami risiko pendiaman aspirasi rakyat. Akhir Agustus lalu gerakan sosial hampir merata di berbagai kota besar Indonesia. Bersamaan dengan itu Nepal mengalami kontraksi besar akibat faktor yang sama, yakni sensitivitas yang hilang dari pemerintahan di tengah penderitaan ekonomi dan sosial yang terus bertambah buruk sebagai andil dari ketidakbecusan rezim lama dalam bekerja untuk rakyat,” ujar Shohibul.

Potensi Perubahan Menjadi Gerakan Perlawanan Keras

Pengamat menilai, para pemikir di balik gerakan ini tidak akan berhenti melahirkan inisiatif baru. Mereka akan meningkatkan intensitas mobilisasi melalui sistem adat yang mereka miliki, serta menggunakan berbagai platform media sosial untuk memelihara keteguhan sikap bersama dan membawa isu ini menjadi pembicaraan internasional.

Unjuk rasa yang selama ini berlangsung sedemikian tertib dan santun dengan mengedepankan nilai-nilai adat Batak yang dijunjung tinggi, memiliki potensi untuk berubah menjadi gerakan perlawanan yang semakin keras di masa depan jika aspirasi mereka terus diabaikan.

Pulas: Deklarasi Perang Adat Batak

Lebih kanjut Shohibul mengingatkan tentang sejarah Batak, di mana apa yang disebut pulas (deklarasi perang) bukanlah peristiwa biasa. Pulas hanya dimungkinkan oleh akumulasi kerumitan dan kekecewaan yang diwadahkan ke dalam bahasa perang demi mempertahankan jati diri. “Dalam sejarah Batak, apa yang disebut pulas (deklarasi perang) bukanlah peristiwa biasa, karena ia hanya dimungkinkan akumulasi kerumitan dan kekecewaan yang diwadahkan ke dalam bahasa perang mempertahankan jati diri,” tegasnya.

Terakhir Shohibul menekankan pentingnya respons politik yang sensitif dan segera dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk merangkul dan mencari solusi atas penderitaan warga sebelum gerakan sosial ini mencapai titik eskalasi yang lebih sulit dikendalikan. (*)

Exit mobile version