Site icon TAJDID.ID

Candu Kekuasaan dan Monopoli Kebenaran

Foto ilustrasi by AI.

Oleh: M. Risfan Sihaloho

 

Pernahkah Anda memperhatikan betapa sering para calon pemimpin tampil dengan wajah teduh, tutur lembut, dan janji penuh kerendahan hati? Mereka bicara tentang pentingnya perubahan, pro rakyat kecil, dan berjanji akan selalu amanah. Tapi beberapa tahun setelah kekuasaan berhasil diraih, wajah yang sama itu tiba-tiba berubah. Senyum yang dulu sederhana kini menyeringai penuh kuasa.

Itulah sifat alami kekuasaan: ia candu yang memabukkan, bahkan bagi mereka yang semula berniat tulus. Setelah merasakan manisnya kekuasaan, muncul rasa takut baru . Bukan takut gagal melayani rakyat, tapi takut kehilangan kekuasaan itu sendiri. Dan dari sinilah penyakit klasik penguasa dimulai: mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, bahkan yang paling licik sekalipun.

* * *

Dalam teori, kekuasaan di tangan penguasa adalah amanah. Tapi dalam praktik, ia sering berubah menjadi alat pembela diri. Begitu kursi empuk kekuasaan digenggam, logika pengabdian perlahan tergantikan oleh logika pertahanan diri.

Setiap kritik dianggap ancaman. Setiap perbedaan pandangan dicurigai sebagai makar. Dan setiap upaya koreksi dituding ingin menjatuhkan pemerintah. Maka demi “stabilitas”, penguasa mulai mengatur siapa yang boleh bicara dan sejauh mana rakyat boleh berpikir.

Kekuasaan, sebagaimana kata filsuf Italia Niccolò Machiavelli, memang tidak pernah berjalan seiring dengan moral. Dalam “The Prince”, ia menulis bahwa penguasa yang ingin langgeng harus siap mengabaikan moral, bahkan menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan negara. Bagi Machiavelli, keberlangsungan kekuasaan adalah keutamaan tertinggi.

Lantas kemudian banyak yang mencemooh ajarannya sebagai sesat. Tapi sejarah membuktikan: justru para penguasa yang menolak Machiavelli di depan publik sering diam-diam mempraktikkannya dengan tekun. Mungkin karena di dunia politik, kejujuran adalah kemewahan yang jarang bisa dibeli.

 

Dari Monopoli Kebenaran ke Industri Pembenaran

Albert Einstein pernah berkata, “Mencari kebenaran lebih berharga daripada menguasainya.” Tapi bagi dunia politik, prinsip itu dianggap lugu. Bagi penguasa, yang penting bukan menemukan kebenaran, melainkan menguasai siapa yang berhak menafsirkannya.

Kebenaran pun berubah menjadi proyek. Ia diproduksi di ruang-ruang kekuasaan, dikemas oleh para juru bicara, dan disebarkan lewat media resmi. Maka terbentuklah apa yang disebut “industri pembenaran”—sebuah sistem yang menjustifikasi apa pun yang dilakukan penguasa, meski sesat sekalipun, asal terlihat sah.

Kita pernah mengalaminya di masa Orde Baru. Selama puluhan tahun, hanya ada satu versi kebenaran: versi pemerintah. Siapa pun yang berbeda dianggap subversif. Media dikontrol, oposisi dibungkam, dan rakyat disuruh patuh atas nama “keamanan nasional”. Dan tragisnya, banyak yang benar-benar percaya bahwa itu semua demi kebaikan bangsa.

Kini, bentuknya lebih halus. Tak lagi lewat senjata, tapi lewat algoritma dan narasi digital. Kritik bisa dikaburkan dengan pencitraan. Fakta bisa ditenggelamkan oleh buzzer. Kebenaran bisa dikalahkan oleh tren.

 

Ketakutan yang Melahirkan Kezaliman

Ironinya, semakin besar kekuasaan, semakin besar pula rasa takut yang menyertainya. Penguasa mulai takut kehilangan legitimasi, takut dikritik, takut digulingkan. Ketakutan itu lalu melahirkan kebijakan represif, aturan yang membatasi kebebasan, dan pembungkaman atas nama ketertiban.

Dalam logika penguasa, semua tindakan itu sah — karena katanya, “demi rakyat.” Padahal, yang sebenarnya dijaga bukan rakyat, tapi kekuasaannya sendiri.

Dari sinilah muncul paradoks terbesar dalam sejarah politik: penguasa yang takut kehilangan kekuasaan akhirnya kehilangan kemanusiaannya sendiri.

 

Epilog

Kekuasaan selalu tampak indah dari luar. Ia menjanjikan kehormatan, pengaruh, dan kemampuan mengubah nasib orang banyak. Tapi bagi mereka yang pernah merasakannya, kekuasaan adalah candu yang tak pernah membuat kenyang. Begitu diraih, ia menuntut lebih: lebih kuasa, lebih kontrol, lebih pujian.

Dan pada titik itu, sesungguhnya penguasa tak lagi memimpin, justru ia dikuasai oleh kekuasaannya sendiri.

Jika kekuasaan benar-benar ujian, maka sejarah sudah mencatat: terlalu sedikit pemimpin yang lulus. Sisanya hanya mengulang kisah lama, berganti nama, berganti partai, berganti era — namun dengan pola yang sama: dari rakyat, untuk rakyat, tapi berakhir untuk diri sendiri. (*)

Exit mobile version