Site icon TAJDID.ID

Kebakaran Rumah Hakim, Ethics of Care: Alarm Serius bagi Perlindungan dan Independensi Peradilan

Farid Wajdi, Founder Ethics of Care.

TAJDID.ID~Medan || Peristiwa terbakarnya rumah seorang hakim yang sebelumnya memerintahkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghadirkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dalam sidang kasus korupsi proyek jalan Dinas PUPR Sumut, menimbulkan kegelisahan publik. Insiden ini dinilai bukan sekadar musibah kebakaran, melainkan alarm serius bagi integritas sistem peradilan dan keamanan bagi para penegak hukum.

“Ini bukan hanya soal rumah yang terbakar. Ini soal api yang membakar jaminan keamanan dan independensi peradilan kita,” ujar Farid Wajdi, Founder Ethics of Care, kepada wartawan, Rabu (5/11/2025).

Menurutnya, kebebasan hakim dalam memutus perkara tidak akan bermakna jika negara gagal memberikan perlindungan yang efektif terhadap mereka. “Independensi hakim adalah jantung rule of law. Tapi jantung itu tidak akan berdetak sehat jika terus diselimuti rasa takut,” tegas Anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2015–2020 ini.

Ia menilai, peristiwa kebakaran yang terjadi pasca perintah pemanggilan tokoh politik ternama secara wajar menimbulkan pertanyaan publik. “Apakah ini murni kebetulan, atau sinyal adanya tekanan terhadap lembaga peradilan? Dalam konteks hukum kita yang masih rentan intervensi politik, ini jadi pertanyaan serius,” katanya.

Ketua Majelis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Sumut ini menyoroti bahwa sistem perlindungan terhadap hakim di Indonesia masih sangat rapuh. Menurutnya, perhatian negara selama ini lebih banyak tertuju pada aspek etik dan disiplin hakim, sementara aspek keselamatan pribadi kerap diabaikan.

“Ancaman terhadap hakim tidak selalu berbentuk suap atau gratifikasi. Bisa dalam bentuk intimidasi, teror, bahkan kekerasan terhadap kehidupan pribadi,” ujarnya.

Farid mendorong Komisi Yudisial untuk mengambil peran lebih proaktif dalam memberikan perlindungan moral dan institusional kepada hakim, sesuai mandat konstitusionalnya.
“KY harus menjadi buffer institution, lembaga penyangga antara hakim dan potensi tekanan dari pihak eksternal. Jangan hanya reaktif setelah ada pelanggaran etik, tapi juga harus punya sistem deteksi dini terhadap ancaman,” jelasnya.

Ia mengusulkan agar KY berkoordinasi dengan Mahkamah Agung, Polri, dan lembaga keamanan untuk merumuskan “protokol perlindungan yudisial”, seperti pengamanan tempat tinggal bagi hakim yang menangani perkara berisiko tinggi, sistem pelaporan cepat, serta bantuan hukum dan psikologis bagi keluarga hakim yang terancam.

Lebih jauh, Farid menegaskan KY perlu berani bersuara di ruang publik ketika independensi hakim terancam. “Jika rumah hakim terbakar dalam konteks kasus sensitif, KY harus segera membentuk tim investigasi independen. Ketiadaan sikap tegas bisa ditafsirkan sebagai pembiaran,” ucapnya.

Menurut Farid, kejadian ini merupakan ujian bagi negara dalam menjamin tegaknya keadilan tanpa rasa takut. “Hakim tidak boleh dibiarkan menghadapi ancaman sendirian. Perlindungan terhadap hakim adalah bagian dari perlindungan terhadap keadilan itu sendiri,” tandasnya.

Farid berharap peristiwa ini menjadi momentum bagi reformasi kelembagaan KY agar bertransformasi dari sekadar pengawas etik menjadi pelindung integritas dan keamanan hakim secara menyeluruh.

“Api yang membakar rumah hakim seharusnya tidak membakar semangat penegakan hukum, tetapi menyalakan kesadaran bahwa keberanian moral harus dilindungi negara,” pungkasnya. (*)

Exit mobile version